Mongabay.co.id

Ini Permasalahan KKP di Maluku Utara: Minim Anggaran, Fasilitas hingga SDM

 

Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di provinsi Maluku Utara (Malut) banyak menghadapi masalah. Mulai dari destructive fishing, perlindungan zona inti maupun pemanfaatan kawasan yang bisa diakses nelayan. Tidak itu saja, penyiapan sarana pendukung, pengawasan dan pemantauan juga bermasalah.

Misalnya Taman Wisata Perairan (TWP ) Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan yang paling dekat dengan pusat pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, Kota Ternate dan Sofifi, ibukota Provinsi Maluku Utara, sejak ditetapkan hingga kini tidak nampak fasilitas yang memadai menjadi penanda bahwa kawasan laut ini sebuah KKP. Banyak terjadi aktivitas destructive fishing, namun sulit dikontrol.

Para pihak di Pulau Mare mempertanyakan langkah selanjutnya setelah penetapan status KKP, terutama ketersediaan fasilitas dan pengawasannya yang belum ada.

“Aksi perusakan masih terjadi tetapi pengawasan tidak ada. Jadi sama saja sebelum dan setelah ditetapkan menjadi TWP Pulau Mare,” keluh Hatta Hamzah, tokoh Pemuda Pulau Mare, baru baru ini.

Selain itu, TWP Mare juga sangat terancam dengan sampah plastik yang memenuhi kawasan laut Pulau Mare. “Sampah juga masalah serius di laut ini. Sampah kiriman dari beberapa pulau memenuhi kawasan laut Pulau Mare,” cecarnya.

baca : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

Beragam jenis ikan karang yang ditemukan bermain di terumbu karang di kawasan konservasi perairan Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Foto : Abdul Khalis

 

Hal serupa juga ada di kawasan Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan yang masuk dalam kawasan TWP Pulau Widi. Kawasan laut yang terbilang jauh akses dan pusat pemerintahan ini menghadapi persoalan serius. Terutama masalah destructive fishing. Tidak ada pengawasan di TWP ini, membuat mereka yang melakukan aktivitas destructive itu bergerak bebas.

“Hampir setiap saat terjadi aksi bom ikan di beberapa pulau kosong di Pulau Widi ini,” keluh Hi Jassim nelayan desa Gane Luar yang setiap hari menangkap ikan di Pulau Widi belum lama ini. Menurutnya, lemahnya pengawasan menjadi masalah yang perlu diperhatikan instansi terkait terutama DKP Maluku Utara.

Jassim tidak bisa berbuat banyak jika menemukan ada aktivitas illegal ini, pasalnya jika ditegur atau dihalangi bisa menimbulkan konflik di lapangan.

“Pulau Widi jauh dari akses. Jangankan ada petugas pengawasan, fasilitas atau papan nama yang menunjukan kawasan ini dilindungi juga tidak ada sama sekali. Kami hanya dengar bahwa sudah ditetapkan jadi daerah yang dilindungi. Tetapi bentuknya seperti apa juga tidak jelas ,” katanya.

baca juga : Kerjasama Indonesia-Amerika Serikat: Maluku Utara Punya Tiga Kawasan Konservasi Perairan Baru

 

Kondisi terumbu karang dan ikan karang di TWP Widi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Sumber : dokumenm RZP TWP Widi

 

Kasus yang terjadi di dua KKP ini nyaris sama. Dari enam KKP yang telah ditetapkan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), hanya dalam bentuk dokumen di atas kertas. Sementara pengawasan dan infrstrtruktur pendukungnya tidak ada.

Berdasarkan data DKP Maluku Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan telah menetapkan enam kawasan konservasi perairan (KKP).

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Daerah Syahrudin Turuy kepada Mongabay Indonesia, Senin (22/8/2022) menjelaskan, Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah menunjukkan komitmennya mendukung kelestarian sumberdaya dan keanekaragaman hayati laut dengan mengalokasikan 18 KKP ke dalam dokumen zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang ditetapkan melalui Perda No.2/2018.

Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.31/Permen-KP/2020, kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut sebagai kawasan konservasi perairan daerah (KKD). Hingga kini Menteri Kelautan dan Perikanan telah menetapkan enam kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) atau enam KKD dengan total luas 667.683 ha, yakni KKD Pulau Mare (No.66/KEPMEN-KP/2020), KKD Pulau Rao-Tanjung Dehegila (No.67/KEPMEN-KP/2020), KKD Kepulauan Sula (No.68/KEPMEN-KP/2020), KKD Kepulauan Widi (No.102/KEPMEN-KP/2020) KKD Kepulauan Guraici (No.103/KEPMEN-KP/2020) serta KKD Pulau Makian dan Pulau Moti (No.104/KEPMEN-KP/2020).

Secara keseluruhan kawasan konservasi di Maluku Utara dikelola oleh Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) yang bernama Balai KKPD.

“Badan ini dibentuk sesuai Peraturan Gubernur Maluku Utara Nomor 37 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pembentukan, Kedudukan dan Susunan Organisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara,” kata Syahrudin.

perlu dibaca : Maraknya Destructive Fishing di TWP Kepulauan Widi

 

Kawasan konservasi perairan (KKP) Gura Ici, kecamatan Kayoa, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang terancam oleh maraknya aktivitas destruktif fishing seperti pengeboman ikan. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Keenam KKPD yang telah ditetapkan itu telah dilakukan evaluasi untuk menilai capaian tujuan pengelolaan yang tertuang dalam dokumen rencana pengelolaan kawasan konservasi. Evaluasi kawasan konservasi dilakukan menggunakan perangkat ukur yang telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 28/KEP-DJPRL/2020 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi. Evaluasi dilakukan yang dikategorikan berdasarkan kriteria input, proses, output, dan outcome.

“Hasil akhir evaluasi dinyatakan dengan status dikelola minimum (nilai 50-85%; perak), dan dikelola berkelanjutan (>85%; emas). Hasil evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2022 terhadap 6 Kawasan Konservasi yang sudah ditetapkan KKD Pulau Mare bernilai 66,73% dikelola optimum,” ujarnya

KKD Pulau Rao-Tanjung Dehegila bernilai 52,80% dikelola optimum; KKD Kepulauan Sula dinilai 37% dikelola minimum; KKD Kepulauan Widi dinilai 40% dikelola minimum; KKD Kepulauan Guraici Nilai 46% dikelola minimum; dan KKD Pulau Makian dan Pulau Moti Nilai 43% dikelola minimum.

Hasil evaluasi itu menunjukan ada permasalahan yang dihadapi Balai Kawasan Konservasi Daerah. Secara garis besar hasil verifikasi rekomendasi pengelolaan kawasan konservasi di Maluku Utara yakni perlu melakukan tata batas kawasan konservasi pada peta laut nasional, meningkatkan ketersediaan anggaran baik melalui pemerintah maupun melalui program kemitraan dan sumber pendanaan lainnya.

baca juga : Perairan Taliabu Rawan Destructive Fishing

 

Kondisi terumbu karang di KKP Gura Ici, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang rusak akibat pengeboman ikan. Foto : Rahmi Husen

 

Rekomendasi selanjutnya yaitu membuat pemetaan fungsi dan penambahan jumlah pegawai; meningkatkan kompetensi pengelola sesuai dengan fungsi-fungsinya; Melengkapi SOP pengelolaan terdiri dari pengelolaan organisasi, penyadartahuan, pemberdayaan masyarakat; perizinan dan pemanfaatan serta SOP Penanganan pelanggaran.

Selain itu melengkapi sarana dan prasarana pengelolaan baik di tingkat tapak maupun di setiap wilayah pengelolaan; menyusun perencanaan dan kegiatan penjangkauan; meningkatkan frekuensi dan cakupan pengawasan serta mekanisme pelaporan oleh pengelola kawasan konservasi; mensosialisaikan pelayanan perizinan dan pemanfaatan kawasan konservasi kepada pihak terkait.

Selanjutnya mengembangkan program kemitraan dan jejaring dengan para pihak; melengkapi dokumen daya dukung kawasan konservasi; meningkatkan penyadartahuan dan pelibatan masyarakat untuk kegiatan pemanfaatan kawasan konservasi; melakukan pemutakhiran data informasi tata kelola untuk biofisik, sosial budaya dan ekonomi, serta melakukan evaluasi rencana pengelolaan sesuai dengan Permen KP No.31/2020 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi.

“Berbagai permasalahan di atas maka perlu ada tindaklanjut yang harus segera dilaksanakan,” tambah Syahrudin.

baca juga : Ikan di Laut Ternate Makin Sulit Didapat, Dampak Destructive Fishing?  

 

Kondisi terumbu karang di KKP Gura Ici, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang rusak akibat pengeboman ikan. Foto : Rahmi Husen

 

Soal kondisi kawasan konservasi perairan ini mendapat sorotan Walhi Maluku Utara.

Dalam FGD yang digelar LSM PakaTiva Maluku Utara bersama instansi terkait pada Pemprov Maluku Utara akhir Juli lalu, Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara mempertanyakan proses pembangunannya terutama menyangkut perlindungan kawasan pesisir dan pulau pulau kecil.

Faisal mendesak pemerintah agar memperketat pengawasan aktivitas destructive fishing di kawasan konservasi tetapi perlu juga memikirkan ruang laut yang bisa dieksploitasi rakyat. Pembagian ruang itu harus mengingat juga kepentingan masyarakat tempatan di dalam memanfaatkan ruang kelola lautnya. Pembagian zonasi yang sudah jelas diikuti pengawasan tetapi tidak mengabaikan hak masyarakat tempatan dalam mengakses sumber daya yang ada.

“Kawasan konservasi yang telah ditetapkan itu menjadi keharusan untuk dijaga keberlanjutannya. Tentu diiikuti penyiapan fasilitasnya. Tetapi yang wajib diingat juga adalah ruang laut yang jadi hak masyarakat,” jelasnya.

 

Exit mobile version