- Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) baru pada 11 Januari 2022.
- Kawasan konservasi baru ini adalah Tanimbar, Pulau Damer, wilayah Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti, serta Kepulauan Romang.
- Di kawasan tersebut ditemukan beberapa macam habitat penting untuk spesies endangered, threatened, and protected (ETP) seperti habitat pantai Penyu Hijau, habitat Hiu Martil, dan habitat mamalia laut.
- Keempat kawasan menambah KKP lain di wilayah Provinsi Maluku seperti Kei Kecil dan Seram.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menetapkan 4 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) baru pada 11 Januari 2022. Yakni kawasan konservasi Tanimbar, Pulau Damer, wilayah Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti, serta Kepulauan Romang.
Kawasan Konservasi sebelumnya di Maluku adalah Kei Kecil, Koon, Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda, Seram Utara dan Seram Barat, Pulau Ay dan Rhun, Pulau Buano, dan Kepulauan Lease.
Kawasan konservasi perairan merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Kepulauan Tanimbar menyebutkan kawasan ini untuk melestarikan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
Luas keseluruhan 312.181,70 Hektare dengan pembagian zona inti dengan luas 15.195,24 Ha, zona pemanfaatan terbatas 296.982,87 Ha, dan zona lain sesuai peruntukan kawasan berupa zona pelabuhan/tambat labuh dengan luas 3,59 Ha.
baca : Kerjasama Indonesia-Amerika Serikat: Maluku Utara Punya Tiga Kawasan Konservasi Perairan Baru
Berikutnya Keputusan Menteri KP Nomor 4 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Damer Provinsi Maluku menyebutkan dalam rangka melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan keanekaragaman hayati laut seperti terumbu karang, padang lamun, habitat penyu hijau (Chelonia mydas), dan habitat hiu martil (Sphyrna lewini).
Perairan di wilayah Damer dinilai memiliki keunikan fenomena alam dan berdaya tarik tinggi serta berpeluang besar untuk menunjang pengembangan wisata perairan yang berkelanjutan, dikelola sebagai taman di perairan. Taman ini seluas 297.143,91 Hektare. Dibagi jadi dua yakni zona inti dengan luas 26.360,01 Hektare (Ha) dan zona pemanfaatan terbatas dengan luas 270.783,90 Ha.
Berikutnya Kepmen KP Nomor 5 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti. Kawasan ini disebut sebagai habitat pemijahan (spawning aggregations) ikan karang. Luasnya 371.722,43 Hektare, yang terdiri atas zona inti dengan luas 7.880,36 Ha dan zona pemanfaatan terbatas dengan luas 357.557,32 Ha. Zona lain sesuai peruntukan kawasan berupa zona sesuai karakteristik kawasan dengan luas 6.284,75 Ha.
Selanjutnya Kepmen-KP Nomor 6 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Wilayah Kepulauan Romang. Kawasan ini dinilai berpotensi terumbu karang, padang lamun, mangrove, ekosistem lembah bawah laut (underwater canyon), habitat hiu martil (Sphyrna lewini), dan habitat penting mamalia laut lain.
Taman di perairan ini luasnya 274.845,74 Ha. Terdiri dari zona inti dengan luas 26.347,06 Ha dan zona pemanfaatan terbatas 248.498,68 Ha.
baca juga : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir
Imam Musthofa selaku Kepala Program Kelautan dan Perikanan, Yayasan WWF Indonesia memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Maluku, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan atas tercapainya penetapan ini.
“Sebagai salah satu mitra yang ikut menginisiasi Kawasan Konservasi Tanimbar, Damer, Mdona Hiera, Lakor, Moa dan Letti, serta Romang sejak tahun 2015, kami turut bangga akhirnya di awal tahun 2022 ini keempatnya telah ditetapkan secara resmi oleh KKP,” katanya.
Dukungan WWF Indonesia dalam pengembangan kawasan konservasi tersebut meliputi informasi biofisik terumbu karang, lamun, mangrove, perikanan dan biota laut, serta sosial ekonomi masyarakat pesisir. Setelah ditetapkan, ia berharap kawasan ini bisa dikelola secara efektif, untuk kebaikan potensi sumberdaya alam yang ada maupun manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.
Muhammad Erdi Lazuardi, National Coordinator for Marine Science and Knowledge Management WWF Indonesia menambahkan empat kawasan ini memiliki potensi habitat kritis pesisir terumbu karang, lamun, mangrove serta habitat spesies yang terancam punah dan perlu dilindungi yang menyokong keanekaragaman hayati di Indonesia. Penetapan ini juga sesuai dengan target pemerintah dalam pengembangan kawasan konservasi seluas total 32.5 juta ha di tahun 2030.
Pencadangan ini juga dinilai akan memperkuat jejaring dan jarak antar kawasan konservasi yang sebelumnya belum dicadangkan. Penetapan kawasan konservasi perairan ini menurutnya mendukung komitmen Indonesia untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan setidaknya 10% dari perairan (32.5 juta hektare) dari perairan yuridiksi Indonesia dikelola secara efektif (PP RI No.32 Tahun 2019).
Dilihat dari prosesnya, kawasan tersebut diajukan oleh stakeholder di tingkat kabupaten dan diajukan usulan pencadangannya oleh DKP Provinsi ke Gubernur. Perencanaan pengelolaan dan zonasi dibantu oleh Pokja Penetapan Kawasan Konservasi di Provinsi Maluku.
baca juga : Lima Tahun Program USAID SEA Realisasikan 1,6 Juta Hektar Kawasan Konservasi Perairan
Erdi mengatakan identifikasi perencanaan zonasi dilakukan dengan melihat fitur target konservasi seperti potensi habitat yang akan dilindungi dan fitur cost pemanfaatan wilayah. Penentuan zona berasal dari referensi hasil survei lapangan yang digabungkan dengan pemetaan partisipatif tingkat desa/kecamatan, kabupaten, dan provinsi, melalui diskusi dan konsultasi publik.
Di kawasan tersebut ditemukan beberapa macam habitat penting untuk spesies endangered, threatened, and protected (ETP) seperti habitat pantai Penyu Hijau, habitat Hiu Martil, dan habitat mamalia laut. Serta juga ditemukan jalur migrasi mamalia laut dan penyu.
Ada sejumlah sistem yang dibuat untuk mengintegrasikan Kawasan Konservasi. Di antaranya Sistem Database Kawasan Konservasi (SIDAKO)
Ada juga instrumen Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi (EVIKA ), alat untuk menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Namun keduanya belum bisa diakses secara terbuka.
Sebelumnya penilaian ini disebut Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K). Tingkatan pengelolaan efektif sebuah kawasan konservasi perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil dibagi dalam 5 level, berurut dari level terendah pengelolaan yakni Level 1 (merah), Level 2 (kuning), Level 3 (hijau), Level 4 (Biru) dan Level 5 (emas).
Penentuan level ditentukan dengan 17 kriteria yang diuraikan dalam 74 pertanyaan. Sejumlah parameter yang digunakan dalam proses evaluasi efektivitas untuk menilai bagaimana status pencadangan kawasan adalah status kelembagaan, status rencana pengelolaan dan zonasi, dan ketersediaan infrastruktur kawasan. Substansi materi evaluasi mencakup aspek-aspek tata kelola, konservasi/sumberdaya dan sosial-ekonomi budaya yang relevan dengan pengelolaan kawasan konservasi.
baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal
Kepulauan Moa, Lakor, Letti
Saat berkunjung ke Kepulauan Moa, Lakor, Letti pada November 2021 lalu, ketiga pulau ini dikelilingi pesisir yang sunyi. Lokasi ibukota Maluku Barat Daya di Pulau Moa. Salah satu pantai di tengah kota, Pantai Tiakur adalah pusat perdagangan hasil laut untuk warga lokal.
Setiap pagi, Pantai Tiakur didatangi para nelayan atau pedagang yang membawa hasil tangkapan hari itu juga. Warga menyebutnya mati sekali, karena belum diawetkan dengan es.
Jenis ikan yang selalu ada adalah momar, sebutan lokal untuk ikan layang. Ini ikan yang paling banyak ditangkap. Selain itu ada jenis ikan-ikan karang, dan beragam boga bahari lain seperti gurita, lobster, dan lainnya. Aktivitas jual beli hasil tangkapan berlangsung beberapa jam sebelum matahari bersinar terik.
Tak hanya pertemuan nelayan dengan pembeli langsung, juga nelayan dengan pedagang kecil yang akan menjual kembali. Sebuah panorama pagi yang indah dan hidup, menunjukkan kekayaan laut di perairan kawasan ini.
Dari pantai ini juga terlihat gerombolan spinner dolphin pada sore hari yang melewati selat antara Pulau Moa dan Letti. Gerakan memuntir lumba-lumba ini yang memudahkan identifikasi. Namun, aktivitas lumba-lumba ini juga berada di kawasan penyeberangan penumpang dengan speedboat.
Di titik lain pulau ini, nampak juga pendaratan penyu hijau yang diperjualbelikan. Penawaran penyu dilakukan secara terbuka.
Pencadangan Kawasan Konservasi di Maluku Barat Daya ini bisa jadi titik awal bagaimana warga merespon, mengenal spesies dilindungi, dan di sisi lain memanfaatkan laut dengan lebih lestari.
Saat ini istilah penyebutannya hanya Kawasan Konservasi, dihilangkan Perairannya sesuai Permen-KP No. 31 2020
Ini levelnya dipersingkat menjadi 3 level aja: perunggu (pengelolaan minimum) 0 – 50%; perak 51 – 85% (pengelolaan optimum); Emas 86 – 100% (pengelolaan berkelanjutan).