Mongabay.co.id

Uji Tuntas Uni Eropa Dorong Tata Kelola Sawit, Bagaimana Penguatan Petani Mandiri?

 

 

 

 

 

Ketika negara lain berupaya membenahi diri mereka untuk memastikan produk-produk yang mereka pakai tak berelasi dengan kerusakan bumi, mesti jadi momentum juga bagi Indonesia, untuk memperbaiki dan memperkuat diri. Salah satu, yang tengah disusun Komisi Eropa soal rancangan aturan uji tuntas terhadap komoditas tertentu, salah satu sawit, guna memastikan produk-produk di pasar Uni Eropa itu tak terkait deforestasi dan degradasi hutan. Proposal yang dibahas sejak November 2020 ini dikenal dengan EU Due Diligence Regulation (EUDDR) ini rencana disahkan tahun ini.

Berbagai kalangan menilai, kebijakan ini bisa mendorong perbaikan tata kelola sawit di Indonesia. Pemerintah pun diminta lebih serius membenahi tata kelola, terlebih memberikan perhatian dan penguatan kepada petani sawit kecil atau petani sawit mandiri.

Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak mengatakan, petani sawit bisa terdampak regulasi uji tuntas Uni Eropa ini. Sebagian petani sudah menjalankan perkebunan sawit berkelanjutan, katanya, tetapi masih banyak belum memenuhi prasyarat ini.

Dengan begitu, katan Minang, sapaan akrabnya, kesejahteraan petani swadaya yang masuk dalam rantai pasok sawit ke Uni Eropa juga terancam. Terlebih, katanya, petani kecil mandiri kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Pemerintah, katanya, perlu memberikan perhatian serius dan penguatan bagi petani sawit mandiri.

Minang bilang, regulasi ini bisa jadi peluang bagi Indonesia jadi pelopor perbaikan tata kelola. Untuk itu, perlu ada keseriusan niat (political will) dari pemerintah. “Sebagai mesin pendorong utama mendorong perbaikan,” katanya.

Ada banyak pekerjaan rumah dalam membenahi tata kelola sawit, kata Minang, antara lain, moratorium dan evaluasi perizinan sawit, menyelesaikan sawit dalam kawasan hutan dan penegakan hukum, perbaikan prosedur dan kriteria ISPO dan pedoman pelaksaaan termasuk mekanisme penyelesaian keluhan. Juga, peremajaan sawit rakyat, percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat, penyelesaian konflik tenurial di perkebunan sawit, transparansi dan pelibatan seluruh stakeholder dalam proses perbaikan tata kelola sawit.

 

Petani sawit mandiri anggota Asosiasi Cahaya Putra Harapan (ACPH) sejak 2019. ACPH merupakan asosiasi petani sawit swadaya bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 2018. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, pembenahan tata kelola sawit bisa berjalan kalau pendataan subyek dan obyek selesai. Saat ini, data soal petani mandiri dan kebun sawit mandiri saja belum jelas. “Dengan ada data itu bisa mengetahui apa yang menjadi permasalahan dan kebutuhan petani,” katanya.

Sementara persoalan keberlanjutan dan produktivitas petani kecil, dia nilai, karena keberpihakan dan akses mereka rendah. Belum lagi, kata Rambo, persoalah hilir terkait harga tandan buah segar, kredit sampai minim peremajaan sawit.

“Penting ada keselarasan aktor produsen sawit dan kemandirian petani sawit,” katanya dalam webinar Tata Kelola Sawit Mandiri yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak, penghujung Agustus lalu.

Selaras dengan Minang, M. Windrawan Inantha Deputy Director of Market Transformation (Indonesia) RSPO, mengatakan, regulasi uji tuntas berpotensi memberikan dampak negatif kepada petani kecil buntut isu berkelanjutan.

Tantangan keberlanjutan petani kecil, katanya, karena beberapa hal seperti petani minim berkelompok, lahan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan minim good agriculture practices atau belum sesuai standar lingkungan. Juga, perlu dukungan terhadap peningkatan kapasitas petani dan keuangan.

Petani mandiri maupun plasma sudah ada yang memperoleh sertifikat RSPO. Untuk petani yang bersertifikat RSPO, katanya, data per Juni 2022, petani mandiri 24.778 dengan 74.351 hektar dan produksi buah sawit 1.430.540 ton. Kemudian, plasma 135.071 petani luas lahan 332.407 hektar atau produksi buah sawit 6.863. 241 ton.


RSPO, katanya, juga memberikan dukungan pembiayaan untuk sertifikasi pada petani melalui RSPO Smallholder Support Fund (RSSF). RSSF ini, merupakan inisiatif pendampingan kepada petani dalam mendapatkan sertifikasi RSPO. Terutama, terkait biaya yang mungkin keluar ketika mereka mengurus berbagai keperluan sertifikasi itu.

Untuk keanggota RSPO secara umum, sudah ada 5.312 anggota di dunia dan baru 19% volume sawit dunia bersertifikat RSPO atau sekitar 4,6 juta hektar.

Ardiansyah, dari Asosiasi Petani Berkah Mandah Lestari, Tanjung Jabung Barat, Jambi, berbagi cerita. Asosiasi ini punya 206 anggota tersebar di delapan desa dan sudah bersertifikasi RSPO.

“Kita merasakan banyak manfaat, karena bisa mengikuti pelatihan hingga dalam mengelola kebun tidak asal-asalan, misal, tau dosis untuk penggunaan pupuk,” katanya.

Ardiansyah bilang, dengan berkebun sesuai standar berkelanjutan, produksi pun meningkat. Rata-rata panen saat ini mencapai 800 kg sampai satu ton, sebelumnya 500-600 kg saja. “Ini juga meningkatkan pendapatan kita.”

Peningkatan kapasitas petani, sangat penting. Petani, katanya, wajib memperhatikan keselamatan kerja, lingkungan hidup, dan aspek sosial. Dia contohkan, dalam pembukaan lahan tanpa bakar, pengawasan penggunaan pupuk kimia, sampai pada ketentuan membuka lahan di sempadan sungai.

 

Petani mandiri Desa Mondi, panen sawit. Foto: Siti Salbiyah/ Mongabay Indonesia

********

 

Exit mobile version