Mongabay.co.id

Ini Aksi Kolaborasi Selamatkan Mangrove Tanakeke

 

Pagi itu, suasana di Desa Tompotana, Kecamatan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, berbeda dengan hari biasanya. Puluhan orang berpakaian putih hitam mendatangi desa dan turun ke sebuah bekas tambak melakukan penanaman mangrove, tanpa peduli pakaian mereka kotor dengan air dan percikan lumpur.

Kegiatan hari itu adalah aksi kolaborasi penanaman mangrove yang diinisiasi oleh PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), sebuah perusahaan layanan keuangan inklusif bagi segmen ultra mikro (microfinance marketplace).

Sebanyak 4.000 bibit pohon mangrove pada lahan seluas dua hektar di wilayah Desa Tompotana, Kepulauan Tanakeke pada akhir Agustus 2022 itu.

Penanaman melibatkan puluhan sukarelawan dari karyawan internal Amartha, yang menggandeng Yayasan Hutan Biru (Blue Forests) sebagai mitra kerja sama, dan komunitas perempuan penggiat konservasi hutan bakau Womangrove, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan serta warga desa Tompotana.

baca : Tantangan dan Harapan Keberlanjutan Mangrove di Tanakeke

 

Amartha bersama Blue Forests menginisiasi penanaman 4.000 mangrove di Desa Tompotana, Kepulauan Tanakeke, melibatkan pemda, masyarakat dan komunitas Womangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Aria Widyanto, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha menyampaikan bahwa kegiatan konservasi hutan mangrove ini merupakan inisiatif Amartha untuk menjadi perusahaan swasta yang berorientasi pada sustainable business, dengan memastikan keberlangsungan usaha sembari mengurangi dampak kerusakan lingkungan, salah satunya melalui rencana menjadi carbon neutral company dalam waktu lima tahun ke depan.

“Pelestarian ekosistem mangrove juga merupakan langkah yang tepat untuk memitigasi bencana di wilayah pesisir, karena ekosistem mangrove dapat meningkatkan resiliensi dan merehabilitasi kawasan pesisir yang rawan terhadap abrasi dan mitigasi bencana tsunami, serta potensi alih lahan untuk kepentingan komersial seperti di Pulau Tanakeke,” katanya.

Bagi lingkungan, hutan mangrove terbukti efektif dalam menyerap dan menyimpan emisi karbon. “Hutan mangrove juga terbukti menyerap karbon lebih besar dibanding jenis tanaman lainnya, sehingga lebih efektif dalam membantu mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global,” lanjutnya.

Dijelaskan Aria, konservasi hutan mangrove memiliki dampak yang besar tidak hanya bagi lingkungan saja, tetapi juga dapat menciptakan dampak ekonomi turunan dan sosial bagi warga di sekitar wilayah konservasi.

Pada sisi ekonomi, hutan mangrove menjadi habitat bagi biota laut yang bernilai ekonomi tinggi, seperti udang, ikan, kepiting, kerang, dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan warga untuk meningkatkan pendapatan keluarga

Sedangkan pada dampak sosial, warga sekitar dapat memanfaatkan potensi hutan mangrove untuk pengembangan ekowisata.

baca juga : Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke

 

Kegiatan penanaman mangrove ini melibatkan komunitas Womangrove, yang nantinya juga akan melakukan monitoring secara berkala akan kondisi mangrove yang telah ditanam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Selain program penanaman mangrove, bersama dengan Blue Forests, Amartha juga memberikan pelatihan dan edukasi bagi warga sekitar dalam menjaga ekosistem hutan mangrove dan memanfaatkan hasil olahannya.

Menurut Aria, pemilihan wilayah Kepulauan Tanakeke didasari dari hasil riset Amartha yang melihat potensi kepulauan di Sulawesi untuk dikembangkan secara sustainable, salah satunya dengan melakukan konservasi hutan mangrove.

Sedangkan Rio Ahmad, Direktur Blue Forests menyampaikan bahwa lembaganya sangat mendukung program Amartha Lestari dan siap menjalankan kelanjutan dari program ini bersama Womangrove.

“Sangat penting untuk terus memberikan pelatihan, pendampingan dan edukasi bagi warga sekitar, supaya mereka dapat bergotong-royong merawat ekosistem hutan mangrove. Program ini memang seharusnya tidak berhenti pada penanamannya saja, tetapi terus berlanjut agar menciptakan dampak bagi warga sekitar,” katanya.

Rezki Warni, AVP Marketing and Public Relations Amartha, menyatakan bahwa melalui kegiatan ini Amartha ingin menunjukkan bukan sekedar memikirkan keuntungan saja, tetapi juga melihat kesejahteraan yang merata dan peduli pada sustainability.

Dijelaskan Rezki, Amartha memiliki tiga program sustainability. Pertama, Amartha Madani, yang fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat lewat pemberdayaan perempuan. Implementasinya berupa Amartha Local Heroes dan beasiswa Amartha Cendikia.

Pilar kedua adalah Amartha Bestari yang fokus pada penerapan ethical lending serta menjalin kolaborasi dengan pemerintahan untuk meningkatkan perlindungan bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Sementara pilar ketiga adalah Amartha Lestari, sebagai program keberlanjutan Amartha yang fokus pada pelestarian lingkungan dengan tujuan untuk mereduksi emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan usaha. Kegiatannya berupa konservasi hutan mangrove dan Amartha Green Office.

menarik dibaca : Murniati, Guru Honor Penyelamat Mangrove di Tanakeke

 

Lokasi tanam mangrove merupakan bekas tambak warga seluas 2 hektar yang kemudian dibeli dan menjadi aset pemerintah desa Tompotana. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Awaluddin Nompo, Kepala Desa Tompotana, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, menyatakan sangat berterima kasih kepada Amartha dan Blue Forests, atas kegiatan penanaman mangrove tersebut yang sejalan dengan program pengembangan desa. Kawasan mangrove merupakan aset Bumdes yang dulunya bekas tambak warga.

“Lokasi penanaman tersebut memang direncanakan akan dijadikan icon desa, yaitu sebagai lokasi wisata mangrove dan pemancingan, serta pembangunan penginapan bagi wisatawan yang berkunjung.”

 

Tantangan Pengelolaan Mangrove

Sayyid Zainal Abidin, Kepala Cabang Dinas Kelautan Mamminasata, menyambut baik kegiatan tersebut sebagai bentuk keterlibatan swasta dalam perlindungan mangrove. Apalagi kondisi mangrove di Tanakeke terus mengalami degradasi, baik karena aktivitas penebangan untuk kepentingan komersial maupun konversi menjadi tambak.

Di Kepulauan Tanakeke sendiri, menurut Sayyid, terdapat tiga hal yang menjadi tantangan bagi keberlanjutan mangrove. Pertama, degradasi mangrove yang disebabkan oleh aktivitas penebangan mangrove untuk industri arang. Kedua, tidak diterapkannya peraturan desa terkait pengelolaan mangrove, yang telah disepakati beberapa tahun silam. Ketiga, terkait sanksi bagi pelaku pengrusakan terlalu rendah. Jarang pelaku pengrusakan mangrove diberi sanksi.

baca juga : Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

 

Industri arang dari kayu mangrove berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan dari warung-warung makan di Makassar. Jika dulunya hanya terdapat 4 dapur arang kini jumlahnya sekitar 12 dapur arang, meningkatkan tekanan terhadap mangrove di Tanakeke, Takalar, Sulsel. Foto: Blue Forests

 

“Tantangan yang ketiga ini bukan hanya terjadi di Tanekeke, namun juga di beberapa wilayah lain seperti di Kabupaten Maros. Kalau di Maros, modusnya untuk pembukaan lahan tambak, di mana masyarakat menganggap tanaman mangrove di tanahnya juga miliknya, sehingga bebas dibabat,” jelasnya.

Menghadapi tantangan tersebut, lanjut Sayyid, pihaknya akan mengintensifkan kegiatan sosialisasi.

“Di anggaran perubahan ini kami telah ajukan akan melakukan kegiatan sosialisasi terkait larangan penebangan mangrove. Ada juga strategi lain untuk membatasi penebangan mangrove, yaitu dengan sosialisasi ke rumah makan di Makassar agar tidak lagi membeli bahan baku arang dari mangrove.”

 

Exit mobile version