Mongabay.co.id

Buffer Zone, Jembatan Mitigasi Konflik Macan Tutul dengan Manusia

 

Konflik macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan manusia menjadi potret muram konservasi masa kini. Ditengah degradasi hutan, agaknya konflik bakal terus terjadi jika tidak ada perlindungan kawasan, edukasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di perbatasan.

Konflik di Desa Tegalmanggung, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menjadi kasus teranyar perebutan ruang hidup itu. Sebagaimana kasus di Jabar, macan tutul kerap menjadi pihak yang bernasib buruk dan disalahkan.

Narasi-narasi diserang, diterkam, bahkan berduel antara manusia dan macan tutul jawa menjadi konsumsi publik sejak Rabu (7/9/2022) lalu. Setelah enam hari pasca konflik, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar baru merilis laporan resmi.

Kepala Sub Humas BBKSDA Jabar Halu Oleo, mengatakan, hasil pengembangan kasus menyimpulkan kronologis pemicu konflik tidak sama dengan narasi-narasi yang beredar. Katanya, pertemuan tiga warga dengan macan tutul jawa betina itu merupakan kejadian spontanitas.

“Jadi tidak ada pertarungan. Yang jelas tindakan mereka hanya saling bantu ketika terjadi persinggungan macan tutul jawa dengan salah satu warga yang beraktivitas membetulkan saluran air di sekitar sungai,” kata Halu saat dihubungi via telepon pada Selasa (13/08/2022) lalu.

Hasil nekropsi pun membantah penyebab matinya macan tutul karena ditenggelamkan. Melainkan, akibat benda tumpul pada bagian kepala sehingga menyebabkan luka traumatik.

baca : Macan Tutul Jawa, Sang “Penjaga” Hutan yang Semakin Terdesak Hidupnya

 

Seekor macan tutul jawa yang mati di Desa Tegalmanggung, Cimanggung, Kabupaten Bandung, Jabar pada Rabu (7/9/2022). Foto : istimewa

 

Sehingga Halu menyesalkan narasi yang simpang siur itu. Dia khawatir, kekeliruan bisa menjadi preseden buruk bagi konservasi macan tutul jawa ke depan. Apalagi dampak dari narasi yang kurang bijak itu punya potensi memperuncing konflik manusia dan satwa liar.

Bisa saja perjumpaan warga dan top predator terakhir Jawa itu akan bertindak nekad. Tanpa pikir panjang akan langsung membunuh. Padahal, lanjutnya, berdasarkan pelbagai literasi jarang ditemukan kasus penyerangan terhadap manusia.

Kendati begitu, tindakan tiga warga lokal di Sumedang dalam upaya menyelamatkan diri menjadi catatan bagi BBKSDA Jabar. Halu mengklaim akan gencar mengedukasi masyarakat. Komitmen BBKSDA Jabar menjadi penjamin konflik tak terulang.

Sebenarnya kasus di Cimanggung ini berhubungan kejadian sebelumnya. Dimana ada ternak unggas milik warga yang lebih dulu di mangsa macan tutul. Hal itu cukup menegaskan keberadaan populasi macan tutul jawa di Taman Buru Masigit Kareumbi (TMBK) yang wilayah hutan konservasinya meliputi wilayah kabupaten Bandung, Garut dan Sumedang. Mengingat kawasan konservasi dengan pemukiman warga berjarak sekitar 2 kilometer.

Langkah taktis jangka pendek yang dicanangkan adalah invetarisasi kawasan. Halu mengatakan berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Polisi Hutan di Resort Wilayah III itu, diprediksi ada 11 individu di TMBK. Agaknya, matinya macan tutul betina berumur 2-3 tahun itu tentu mengurangi populasi di sana.

“Tapi data populasi itu baru sebatas dugaan sementara. Untuk itu kami akan mencoba melakukan kajian bersama mitra nantinya untuk mengetahui jumlah individu secara komprehensif. Mungkin akan dipasang camera trap (kamera jebak),” terang Halu.

baca juga : Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia

 

Proses nekropsi seekor macan tutul jawa yang mati di Desa Tegalmanggung, Cimanggung, Kabupaten Bandung, Jabar. Nekropsi dilakukan di Bandung Zoological Garden, Senin, 12 September 2022. Foto : istimewa/tempo.co

 

Tindakan berkeadilan

Barangkali terlalu dini sedianya alasan turunnya macan tutul jawa ke pemukiman warga disimpulkan akibat kurangnya pakan mangsa di habitat alaminya. Tanpa disertai data yang menyeluruh, informasi itu boleh jadi berpotensi menyesatkan. Imbasnya berlaku pada upaya penanganan konflik yang cenderung monoton dan minim solusi sejauh ini.

Agaknya, perlu juga berkaca pada kondisi kronologis saat konflik. Dimana posisi macan tutul jawa acapkali kurang menguntungkan. Bernasib buruk setelah dituduh mencuri maupun memangsa ternak peliharaan warga setempat.

Macan dianggap “melanggar” batas wilayah warga. Sehingga jika terjadi konflik, “hukumannya” hanya dua: ditangkap atau dibunuh. Padahal warga belum paham pentingnya pelestarian satwa dilindungi itu.

Paling mujur, nasib macan itu dititiprawatkan di kebun binatang. Meski banyak pihak menentang dengan pilihan tersebut. Salah satu alasannya, nasibnya malang sebagai satwa koleksi. Jarang sekali bisa dilepasliarkan kembali.

Taman Satwa Cikembulan Garut misalnya, menjadi salah satu tempat penampungan macan tutul yang kalah. Sedikitnya terdapat enam individu. Sekalipun sudah dititiprawatkan selama lebih dari 5 tahun, pihak pengelola menegaskan tak punya kewenangan untuk melepasliarkan. Karena satwa itu milik negara.

Padahal skema introduksi bisa menjadi opsi. Mengingat di Taman Nasional Gunung Ciremai telah mengalami kepunahan lokal. Disinyalir, macan tutul terakhir di kawasan konservasi dengan luas sekitar 14.000 hektare itu punah di tahun 2015.

perlu dibaca : Pernah Dihormati, Macan Tutul Jawa Kini Dimusuhi

 

Slamet Ramadhan, seekor macan tutul jawa [Panthera pardus melas] dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto: KLHK

 

Berdampingan

Agaknya, karena itu dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Dede Aulia Rahman mengaku belum memiliki formulasi yang pas jika ditanya skema mitigasi untuk memutus konflik berkepanjangan antara macan tutul jawa dan manusia. Minimnya penelitian ilmiah ihwal satwa endemik Jawa tersebut , khususnya yang terkait konflik diberbagai lokasi membuat langkah penanganan yang dilakukan, sedikit banyak belum mampu menyelesaikan permasalahan secara tepat.

“Sebetulnya butuh kajian menyeluruh sebelum menyimpulkan penyebab konflik. Tetapi, itu cukup sulit. Pendapat saya, sejauh ini upaya penanganan konflik akan sangat tergantung dengan kondisi lokasi dimana konflik itu terjadi. Penanganan akan menjadi ideal jika kita memiliki informasi dan data yang komprehensif, baik itu kondisi aktual populasi macan tutul jawa, habitatnya serta masyarakatnya,” kata Dede yang juga Ketua Forum Macan Tutul Jawa (Formata).

Lebih lanjut, Dede menyampaikan bahwa pengetahuan tentang macan tutul masih terbatas. Contoh sederhananya, sebagian besar masyarakat kita masih mengganggap macan kumbang dianggap berbeda dengan macan tutul. Padahal, merupakan spesies yang sama dan sama-sama memiliki pola rosette atau totol. Hanya saja macan kumbang rambutnya dominan berwarna hitam yang menutupi pola totolnya.

Macan tutul jawa merupakan satwa yang pandai beradaptasi. Berdasarkan ekologi perilaku, kata Dede, aktifitas mereka tidak selamanya nokturnal (aktif di malam hari). Dari berbagai hasil penelitian, habitat dengan vegetasi hutan yang rapat menyebabkan macan tutul jawa cenderung diurnal atau aktif ketika fajar hingga senja.

Sebaliknya, pada habitat dengan karakter savana seperti di Taman Nasional Baluran, mereka cenderung aktif di malam hari,” katanya. Maka, tak heran jika persinggungan dengan manusia sangat erat kaitannya dengan ritme aktif mereka.

Selama fokus meneliti spesies ungulata (hewan berkuku) yang merupakan salah satu mangsa utama macan tutul jawa, Dede menemukan bahwa macan tutul memiliki rezim makanannya yang luas, memangsa satwa berukuran kecil hingga besar.Macan tutul jawa adalah satwa yang oportunis. “Sehingga tidak aneh jika hewan ternak seperti kambing, domba atau satwa peliharaan manusia lainnya seperti anjing dan kucing menjadi bagian dari diet macan tutul jawa terlebih jika berada di pinggiran hutan,” katanya.

baca juga : Bisakah Manusia Berdamai dengan Macan Tutul Jawa?

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Dede mafhum, daya jelajah macan tutul ini tak mengenal batas administrasi. Insting mereka selalu mengikuti pergerakan buruannya. Namun demikian perlu dicacat bahwa fenomena bergeraknya macan tutul jawa ke pinggiran hutan yang dekat dengan pusat aktivitas manusia belum tentu karena kekurangan pakan mangsa. Bukan juga suatu anomali.

Oleh karena itu, keberadaan buffer zone atau zona penyangga bisa dijadikan solusi untuk berbagi ruang. Dimana aktivitas warga dalam beternak, misalnya, sebaiknya tak boleh lebih jauh melewati batas itu.

Semisal tidak ada zona penyangga. Warga disarankan untuk memodifikasi kandang dengan kawat besi agar tak mudah dijebol seperti yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Gunung Sawal yang bekerja sama dengan BBKSDA Jabar khususnya Bidang KSDA Wilayah III Ciamis.

“Mungkin warga juga mesti membiasakan untuk hidup berdampingan,” imbuh Dede. Karena itu, selain terus menyampaikan pengetahuan perlindungan satwa langka kepada warga, mitigasi diperlukan untuk meminimalkan risiko kematian macan tutul jawa.

Khusus untuk kasus konflik macan tutul jawa-manusia yang baru-baru ini terjadi di Sumedang, katanya, belum ada cukup bukti ilmiah yang menunjukan jika hal ini dipicu karena persaingan penggunaan ruang yang ada dihabitat macan tutul jawa dilokasi tersebut.

Jadi mungkin akan keliru jika dihubung-hubungkan bahwa macan tutul jawa yang merasa terdesak lalu menyerang warga menjadi agresif karena terusir dari habitatnya karena persaingan dengan individu macan tutul jawa lain. Justru yang perlu dimonitor dan dikontrol adalah tentang kondisi habitatnya.

Sebagai gambarannya adalah fenomena habitat loss atau kehilangan habitat. Hilang atau terpecahnya hutan sebagai ruang hidup bagi penguasa hutan-hutan alam di Pulau Jawa ini berpotensi mempercepat kepunahannya.

Dede sependapat dengan Halu, bahwa inventarisasi kawasan menjadi gerbang meminimalkan konflik. Dia menekankan bahwa studi populasi dan habitat penting mencegah penumpukan ruang hidup satwa yang suka menyendiri ini. Penumpukan beberapa individu macan tutul mungkin rentan menimbulkan perkelahian dan membuat macan yang kalah pergi dan bisa saja mendekati ke perkampungan warga.

Pengetahuan luas wilayah jelajah dan teritori satu individu macan tutul jawa jantan dewasa pada habitatnya merupakan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk menetapkan kebutuhan ruang minimal bagi macan tutul jawa disamping juga mempertimbangkan keterhubungan antar habitat yang ada bagi populasi-populasi macan tutul jawa. Hal ini sudah diberlakukan untuk menetapkan daerah perlindungan pada harimau di Sumatera.

baca juga : Hendra Gunawan, Penjaga Asa Keberadaan Macan Tutul Jawa

 

Devi, seekor macan tutul jawa di kandang karantina Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi yang didirikan tahun 2009, kerap menampung satwa hasil konflik dengan manusia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Fungsi perlindungan

Merujuk data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Jawa-Madura, luas hutan di Jawa hanya tersisa 24% dari luas pulau 129.600 kilometer persegi. Pada ruang tersisa itulah Save the Indonesian Nature and Threatened Species (SINTAS), lembaga non pemerintah, menemukan, macan tutul mendiami sekitar 22 blok hutan yang sudah terfragmentasi satu dengan lainnya.

Agaknya, kisah hidup si kucing besar terakhir di Jawa memang menyedihkan. Setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada awal tahun 1980, tinggal macan tutul jawa yang mencoba bertahan hidup di pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia ini.

Dede mengatakan, keberadaan macan tutul jawa terbilang unik ketimbang yang lain. Dalam waktu yang lama, ia mampu hidup terisolasi di Pulau Jawa yang luasnya tak seberapa.

Namun demikian, bukan berarti kemampuan adaptasi yang baik macan tutul jawa akan mampu menyelamatkan mereka dari bahaya kepunahan. Jika manusia tidak membantu menjaga mereka secara aktif, berbagai tekanan seperti kehilangan habitat, habitat yang semakin terpecah-pecah dan penurunan kualitas habitat akan menyebabkan kepunahan mereka terjadi lebih cepat.

Disamping itu, spesies macan tutul jawa adalah spesies dengan tingkat reproduksi yang cukup lambat dengan angka kelangsungan hidup (survival rate) yang rendah di alam. Dalam keadaan normal, harapan hidup macan tutul sudah sangat rendah. Meski bisa beranak 2-6 ekor setelah mengandung selama 110 hari, biasanya hanya 1-2 ekor yang sanggup hidup hingga dewasa.

Ibarat kisah klasik yang tak kunjung habis, nasib macan tutul jawa cukup berbeda dengan kucing besar lain. Perhatian dan kepedulian terhadap konservasi spesies ini tidak sebaik seperti kucing besar di Sumatera. “Misalnya saja, dari 2018-2022, terdapat kurang dari 10 jurnal ilmiah bereputasi yang diterbitkan dan mengangkat serta membahas mengenai macan tutul jawa,” papar Dede.

Padahal, kajian ilmiah sangat dibutuhkan agar kita punya cara lebih bijak bertindak khususnya dalam mensinergikan kepentingan manusia dan konservasi spesies macan tutul jawa.

Seharusnya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Pulau Jawa memiliki kebanggaan dengan keberadaan macan tutul jawa ini. Spesies berbobot maksimal 40-60 kilogram ini merupakan satu dari 24 jenis macan tutul di dunia. (**)

 

 

catatan redaksi : berita ini telah diperbaharui pada Senin (19/9/2022) pukul 15.12

 

Exit mobile version