- Tradisi di masyarakat Jawa menunjukkan, macan tutul jawa adalah simbol kemakmuran dan penjaga hutan yang menyediakan air dan udara segar bagi kehidupan masyarakat.
- Namun, spesies kucing besar ini sangat terancam punah dan terasing di petak-petak kecil hutan yang tersebar di Pulau Jawa, yang berpenduduk padat di Indonesia.
- Mongabay berdiskusi dengan ahli biologi Hariyo “Bibah” Wibisono tentang status macan tutul jawa dan strategi konservasi yang dapat dilakukan untuk pelestariannya, dengan dukungan pemerintah, masyarakat, dan pihak donor.
Hariyo “Bibah” Wibisono mempelajari macan tutul jawa, predator puncak tersisa di Pulau Jawa, yang dengan luas daratannya seukuran Alabama, juga merupakan rumah bagi 147 juta orang. Termasuk, ibu kota negara yang besar, Jakarta, ditambah daerah metropolitan lainnya.
Terlepas dari lanskap perkotaan yang padat, kantong-kantong hutan alam tetap ada di sekitar pulau, dan beberapa di antaranya masih menjadi wilayah jelajah Panthera pardus melas: dengan punahnya harimau jawa – terakhir terlihat di Taman Nasional Meru Betiri pada 1976 – macan tutul jawa yang terancam punah adalah satu-satunya kucing besar tersisa di pulau ini.
Mongabay mewawancarai Hariyo Wibisono melalui email, dan membagikan apa yang diketahuinya saat ini guna mendukung konservasi macan tutul: “Masyarakat yang tinggal di Jawa harus melestarikan macan tutul untuk memastikan bahwa ekosistem hutan yang tersisa sehat, untuk kehidupan manusia. Secara tradisional, beberapa suku di Jawa percaya bahwa macan tutul adalah simbol kemakmuran dan penjaga hutan, yang memberi mereka air dan udara segar yang sehat.”
Mongabay: Berapa perkiraan populasi macan tutul jawa liar saat ini?
Hariyo Wibisono: Perkiraan terbaru kami adalah 320 [antara 120 dan 570] individu dewasa berdasarkan perkiraan kepadatan spesifik lokasi terbaik tersedia yang diekstrapolasikan ke habitat hutan.
Mongabay: Habitat seperti apa yang mereka butuhkan dan berapa banyak habitat tersisa di Jawa?
Hariyo Wibisono: Meskipun bergantung pada hutan primer dan sekunder, macan tutul jawa juga sangat mudah beradaptasi dengan berbagai jenis lahan yang dimodifikasi manusia, termasuk lahan pertanian campuran, hutan produksi, dan perkebunan.
Sebelum tahun 2000, Pulau Jawa telah kehilangan sebagian besar hutan alamnya, hanya 23% dari pulau yang berhutan. Selanjutnya, antara 2000 dan 2017, Pulau Jawa kehilangan hampir 70% hutannya. Deforestasi tertinggi terjadi antara 2000 dan 2013 dengan angka kehilangan hutan 65% atau hampir 5% per tahun, terutama karena pembangunan infrastruktur dan pertanian. Setelah periode tersebut, tutupan hutan di Jawa relatif stabil dengan hanya 1% kehilangan hutan per tahun.
Mongabay: Apa mangsa utama mereka dan apakah populasinya naik atau turun?
Hariyo Wibisono: Seperti kebanyakan kucing besar, macan tutul jawa adalah generalis habitat yang bergantung pada berbagai spesies berukuran kecil hingga sedang, termasuk rusa jawa, kijang, babi hutan, merak hijau, berbagai spesies primata, dan lemur terbang.
Mongabay: Apa penyebab konflik macan tutul jawa dengan manusia?
Hariyo Wibisono: Habitat kecil dan terisolasi, serta batas kasar antara habitat dan manusia [permukiman, perkebunan, pertanian]. Sebagai generalis habitat, macan tutul jawa sangat tahan terhadap penggunaan lahan yang dimodifikasi manusia, yang menyediakan habitat produktif bagi mangsanya. Akibatnya, macan tutul sering mencari mangsa di luar hutan. Inilah yang menciptakan area tumpang tindih untuk aktivitas manusia dan macan tutul.
Ketika mencari mangsa liar, macan tutul sering bertemu dan menyerang ternak yang dipelihara masyarakat di tepi hutan. Dibandingkan harimau, macan tutul jawa lebih samar, sehingga jarang menyerang manusia. Oleh karena itu, konflik yang paling umum adalah ketakutan masyarakat setempat ketika menyaksikan macan tutul melintasi kebun mereka mencari mangsa. Dalam situasi itu, masyarakat setempat sering memasang jebakan untuk menangkap.
Mongabay: Berapa banyak macan tutul yang hilang dari habitatnya setiap tahun, apakah disebabkan perdagangan ilegal, atau hal lain?
Hariyo Wibisono: Sekitar masing-masing 3,2 dan 1,3 macan tutul per tahun karena konflik dengan manusia dan perdagangan ilegal selama 13 tahun terakhir. Namun, sebuah studi baru-baru ini menunjukkan perkiraan yang lebih tinggi dari enam macan tutul per tahun, selama 10 tahun terakhir hanya dari perdagangan ilegal saja. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bagian tubuh macan tutul jawa telah masuk jaringan perdagangan ilegal internasional.
Mongabay: Menurut Anda, masyarakat mengetahui status populasi macan tutul kian memburuk?
Hariyo Wibisono: Saya percaya kebanyakan orang yang tinggal di Jawa tidak menyadari status kritis macan tutul jawa, kecuali praktisi konservasi dan beberapa orang berpendidikan. Bahkan, lebih banyak orang yang masih percaya bahwa harimau jawa masih ada, sehingga mengabaikan macan tutul jawa.
Saya tahu hanya satu ritual di Jawa bernama Reog Ponorogo yang menggunakan kepala harimau dan bulu untuk ritualnya. Tetapi sekarang, ini juga menggunakan macan tutul jawa sebagai penggantinya, karena bagian tubuh harimau semakin sulit didapat.
Mongabay: Apa yang harus dilakukan pihak berwenang untuk membantu macan tutul jawa, dan apa yang bisa dilakukan masyarakat?
Hariyo Wibisono: Tentunya mengintensifkan kesadaran publik [misalnya kampanye media sosial] untuk menyebarluaskan status kritis macan tutul jawa, memperkuat kemitraan lintas sektor, dan mobilisasi sumber daya [misalnya pendanaan] baik dari sumber nasional maupun internasional harus menjadi strategi paling kritis bagi pemerintah.
Implementasi ketiga strategi ini sangat penting untuk mendukung tujuan utama berikut: a] memperkuat pengelolaan habitat kecil dan terisolasi; b] menerapkan protokol konflik antar manusia-macan tutul; c] evaluasi status macan tutul jawa di habitat yang tidak diketahui, identifikasi hutan kosong [hutan tanpa macan tutul atau dengan sedikit macan tutul] dan populasikan kembali hutan kosong tersebut; d] memperbarui rencana aksi macan tutul jawa yang ada untuk mengadopsi temuan-temuan kunci dari populasi terbaru dan penilaian kelangsungan hidup.
Mongabay: Kira-kira berapa banyak area tersisa yang mendukung kelangsungan hidup mereka, dan berapa banyak dari mereka yang mampu mendukung populasi jangka panjang?
Hariyo Wibisono: Saya dan rekan-rekan mengidentifikasi 29 lanskap yang cocok untuk macan tutul jawa, mencakup kurang dari 9% Pulau Jawa. Bukti langsung macan tutul jawa dikonfirmasi yaitu 22 dari 29 lanskap ini.
Hanya tiga taman nasional yang dapat mendukung kelangsungan hidup macan tutul jangka panjang, dengan tambahan dua taman nasional jika lanskap yang berdekatan cocok disertakan.
Indeks area inti dan median ukuran petak habitat macan tutul jawa adalah terendah di antara semua habitat macan tutul lain di seluruh rentang geografisnya, yang menunjukkan tidak banyak ruang bagi macan tutul jawa untuk hidup dan bertahan jangka panjang.
Mongabay: Apakah area ini terhubung satu sama lain, atau diperlukan upaya tambahan untuk membuat koridor?
Hariyo Wibisono: Sebagian besar habitat terputus dan sangat terisolasi. Membangun koridor fisik sangat tidak mungkin antara habitat ini karena mereka terlalu jauh satu sama lain, dan sebagian besar dipisahkan permukiman manusia dan infrastruktur yang mapan.
Pengelolaan macan tutul jawa harus mengikuti pendekatan pengelolaan meta-populasi yang meliputi repopulasi hutan kosong, pertukaran individu perkembangbiakan antar subpopulasi [terutama penangkaran betina] dan sedapat mungkin meningkatkan konektivitas fisik yang ada.
Mongabay: Selain kelangkaannya, apa yang membuat hewan ini istimewa dan patut dibanggakan masyarakat Jawa?
Hariyo Wibisono: Setelah harimau jawa punah, macan tutul jawa menjadi satu-satunya predator puncak di pulau ini, yang perannya sangat penting dalam menyeimbangkan ekosistem. Dengan demikian, dari sudut pandang ekologis, masyarakat yang tinggal di Jawa harus melestarikan macan tutul untuk memastikan bahwa ekosistem hutan yang tersisa sehat untuk kehidupan manusia.
Secara tradisional, beberapa suku Jawa percaya bahwa macan tutul jawa adalah simbol kemakmuran dan penjaga hutan yang memberi mereka air dan udara segar yang sehat. Kepunahan macan tutul jawa berpotensi menyebabkan semakin hilangnya hutan Jawa tersisa.
Terakhir, saya selalu percaya bahwa keanekaragaman hayati Indonesia adalah kekayaan hidup nasional. Sebagai spesies payung, macan tutul mewakili keanekaragaman hayati Jawa secara keseluruhan yang harus kita selamatkan untuk generasi mendatang.
Hariyo “Bibah” Wibisono adalah ahli biologi dan Direktur Yayasan Sintas Indonesia, peneliti di San Diego Zoo Wildlife Alliance.
Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Javan leopards, the dwindling ‘guardians’ of Java’s forests. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita