Mongabay.co.id

KTP dan Kisah Perempuan Nelayan Pesisir Buton Timur

 

Siang hari itu, Desa Mopaano yang beraroma rempah kunyit terlihat lengang. Hanya terdengar ramai kicauan burung dan suara bocah-bocah bermain bergembira di pekarangan rumah.

Sedangkan para remaja terlihat sibuk mengiris-iris kunyit menjadi potongan tipis di teras rumah masing-masing, lalu dijemur di bawah terik panas matahari yang menyengat.

Juragan kunyit setempat baru saja melakukan panen berkala di kebun miliknya. Hasil panen didistribusikan ke tetangga terdekat untuk diolah, dengan sistem pengupahan bagi hasil.

Di Desa Mopaano, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, kunyit merupakan satu-satunya tanaman jangka pendek bernilai ekonomis. Olahan Kunyit kering dijual ke sampai ke beberapa kabupaten terdekat. Selain kunyit,  sebagian kecil warga berkebun tanaman jangka panjang jambu mete.

“Jadi meskipun di KTP (kartu tanda penduduk)-nya tercatat sebagai petani, tetapi (warga) sehari-hari pergi melaut,” kata Kepala Desa Mopa’ano, La Ode Amadi yang ditemui akhir Agustus kemarin.

Amadi memang sedang sibuk mengurus usulan puluhan perempuan warga desanya yang telah bersepakat dalam musyawarah desa untuk mengajukan perubahan status dalam KTP dari ibu rumah tangga menjadi nelayan.

Kebetulan pada awal Agustus kemarin, petugas dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) turun ke desa-desa setempat melakukan registrasi pengguna sumber daya sekaligus program kartu pelaku usaha kelautan dan perikanan (Kusuka).

“Jadi yang KTP-nya bukan nelayan, pengolah ikan atau pengepul ikan, boleh mengubah status dalam KTP-nya menjadi nelayan. Hanya perlu mengurus surat keterangan perubahan profesi di (kantor) desa,” ujar Wadu Marsidik, fasilitator pendamping program PAAP dari DKP Buton di Kecamatan Siontapina dan Kecamatan Lasalimu Selatan.

baca : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

 

Warga Desa Mopaano, Siotapina, Buton, Sulawesi Tenggara turun melakukan meti-meti atau mengais sumber daya pesisir ketika air laut sedang surut di malam hari. Meti-meti merupakan warisan kearifan lokal yang bermanfaat dikala nelayan paceklik di tengah cuaca buruk. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Dengan status nelayan dalam KTP-nya, warga yang berprofesi nelayan, penjual ikan, atau pengolah ikan berhak mendapat bantuan fasilitas nelayan dan jaminan sosial dari pemerintah melalui program Kusuka. Nelayan merupakan pekerjaan utama di sini, dengan tingkat risiko tinggi di tengah anomali cuaca yang semakin kerap terjadi setiap tahun.

Bagi perempuan pedesaan di pesisir timur Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, mengubah status pekerjaan pada KTP-nya dari ibu rumah tangga menjadi nelayan adalah bentuk perjuangan untuk meraih pengakuan pekerjaan yang layak oleh negara.

Hampir semua perempuan berumah tangga sibuk membagi waktu 24 jam untuk mengurus rumah tumah tangga, menopang ekonomi keluarga dengan membantu pekerjaan suaminya mengolah dan menjual hasil tangkapan ikan keliling kampung hingga ke pasar.

Salah satu perempuan yang berkeinginan mengubah status menjadi nelayan adalah Suriati, warga Desa Mopaano, Kecamatan Siotapina.

Selain mengolah kunyit, Suriati juga melakukan meti-meti, yaitu aktivitas menangkap ikan dan hewan laut di pesisir pantai saat saat air laut surut yang dilakukan hampir setiap sore.

Sore itu, Suriati melakukan meti-meti dengan berbekal panah ikan sepanjang satu meter, parang pendek, jerigen berkapasitas lima liter untuk menampung ikan dan senter kepala (headlamp).

Meski berusia 50 tahun, Suriati masih sanggup berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju pantai terdekat untuk melakukan meti-meti sampai tiga jam hingga air pasang kembali naik ke pantai. Biasanya dia mengumpulkan kerang-kerangan, cumi-cumi, gurita, pepiting, ikan karang, hingga aneka hewan mollusca layak konsumsi yang bersembunyi di balik karang atau di hamparan padang lamun.

Sebagian dari hasil tangkapannya dibawa pulang kerumah untuk dikonsumsi, dan sebagian lainnya dijual ke pasar dengan keuntungan bersih berkisar Rp100 ribu.

“Daripada kita duduk-duduk di rumah, lebih baik kita turun meti-meti,” ujar Suriati. Selain untuk menopang kebutuhan ekonomi rumah tangganya, mengais hewan laut menjadi hiburan menyenangkan di masa tua.

baca juga : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam

 

Wa Rusiati menggenggam panah ikan hendak turun ke pesisir menangkap hewan laut ketika air laut sedang surut, usai mengolah rempah kunyit di teras rumahnya Desa Mopaano, Siotapina, Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Literasi Pengelolaan Keuangan

Karena sudah tua, Suriati merasa kesulitan membagi waktu untuk mengelola keuangan keluarga. Untuk itu dia tertarik mengikuti pelatihan literasi keuangan dengan bergabung dalam Kelompok Simpan Pinjam (KSP) Penyu Lestari yang beranggotakan 12 rumah tangga.

KSP merupakan lembaga akar rumput yang terbentuk pada 2021 lalu, diinisiasi oleh pengurus program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Lasalimu Selatan–Siontapina (Lasinta) Lape-lape. Lape-lape bermakna ‘perbaiki’ dalam bahasa lokal setempat.

KSP dan kegiatan literasi keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program PAAP di Kecamatan Siotapina dan Kecamatan Lasalimu Selatan.

Program PAAP merupakan inisiatif pemerintah bekerja sama dengan LSM bernama Rare, sebagai salah satu bentuk pengelolaan perikanan skala kecil berkelanjutan. Program PAAP dilakukan dengan pemberian akses dan tanggung jawab pengelolaan di wilayah perairan tertentu kepada kelompok masyarakat setempat yang berbadan hukum dengan jangka waktu tertentu.

Sebelum membentuk KSP, Rare beserta pengurus Kelompok PAAP Lasinta Lape-Lape menggelar pelatihan literasi keuangan dengan melibatkan pasangan suami istri nelayan di enam desa yang lautnya masuk dalam wilayah PAAP.

Literasi keuangan menjadi cikal bakal pembentukan empat Kelompok Simpan Pinjam (KSP) yang tersebar di desa Mopaano, Desa Mega Bahari, dan Desa Ambuao Togo, dengan total anggota sebanyak 112 rumah tangga nelayan. Dana KSP bersumber dari, oleh dan untuk anggota.

Desa Mopaano merupakan desa paling awal membentuk dua KSP, dan telah melewati satu kali pembukuan dengan jumlah omset  tertinggi, mencapai nilai saldo puluhan juta rupiah.

Pelatihan literasi keuangan melibatkan pasangan suami istri yang sumber utama perekonomian rumah tangganya dari pengelolaan sumber daya alam laut dan pesisir. Dalam pertemuan-pertemuan literasi keuangan, anggota KSP berdiskusi hingga menyepakati keputusan mufakat mengenai rencana-rencana pengelolaan berkelanjutan KSP.

Literasi keuangan memberi solusi alternatif kepada keluarga nelayan untuk mengelola keuangan–penghasilan rumah tangga dalam mengatasi masa paceklik di masa angin timur–periode April hingga September.

perlu dibaca : Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak

 

Anggota KSP melakukan pencatatan saham yang ditabung perempuan nelayan. Setiap dua pekan anggota Koperasi berkumpul menggelar literasi keuangan dan membahas solusi permasalahan keuangan yang dihadapi. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Dana sosial

Jusriadi, 49 tahun, seorang papalele yang bertubuh kurus dan berkulit coklat gelap. Ia salah satu dari tiga kepala rumah tangga yang sejak awal bergabung bersama mamalele dalam KSP Baronang Lestari di Desa Mega Bahari, Kecamatan Lasalimu Selatan. Papalele merupakan sebutan lokal untuk laki-laki dan mamalele sebutan bagi perempuan yang berprofesi sebagai penampung dan penjual hasil tangkapan nelayan.

Literasi keuangan menyadarkan Jusriadi untuk mengurangi kebutuhan sekunder yaitu belanja harian rokok, dari dua bungkus menjadi satu bungkus.

Dari hasil menyisipkan setengah uang belanja rokok selama 7 bulan, dia berhasil membeli kendaraan motor bekas seharga enam juta rupiah secara tunai.

Motor digunakan sebagai kendaraan operasional harian untuk menjual ikan hasil tangkapannya ke kampung-kampung lain, dan ke pasar-pasar tradisional terdekat yang digelar berselang dua hari.

“Saya sekarang termotivasi kurangi rokok jadi setengah bungkus. Mau beli mobil pick up untuk usaha”, kata Jusriani terkekeh, lalu mengepulkan asap rokok jatah penghabisan di hari itu. Ia khawatir di masa tuanya nanti sakit-sakitan, tidak produktif terdampak bahaya buruk dari kebiasaan merokok.

Sedangkan Wa Munisa seorang mamalele usia paruh baya anggota KSP Baronang Lestari mengaku mengalami banyak perubahan setelah mendapat pelatihan literasi keuangan.

Keuntungan menjual ikan hasil tangkapan suaminya langsung dibagi dua: setengahnya di tabung, setengah lainnya digunakan untuk belanja kebutuhan rumah tangga dan membiayai ketiga anaknya bersekolah.

“Dulu to sebelum kenal KSP, pengeluaran rokok sehari suamiku satu bungkus. Sekarang setengah bungkus,” ungkapnya dengan wajah sumringah. Ia mengaku tidak pernah bosan membujuk suami kurangi jatah rokok harian.

KSP Baronang Lestari berhasil mengumpulkan nilai tabungan saham mencapai Rp23 juta, yang dibagikan kembali kepada 12 anggota koperasi di periode pembukuan tahun pertama.

Menjadi anggota KSP memberi beberapa keuntungan lain diantaranya bantuan kredit simpan pinjam yang ringan, dan ketika sedang sakit dan mengalami musibah mendapat santunan ‘dana sosial’.

baca juga : Para Perempuan Nelayan Tambak Polo Menanti Pengakuan Negara

 

Rusiani mencatat biaya pengeluaran membeli kepiting rajungan yang diperoleh dari nelayan tangkap. Rusiani membantu suami menopang perekonomian keluarga sebagai pengepul hasil laut. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Keberhasilan para anggota koperasi mengelola keuangan rumah tangga menginspirasi pasangan suami istri nelayan lainnya bergabung dalam kelompok KSP yang tersebar desa-desa pengelola PAAP.

“Ayo bantu negara ini tingkatkan angka-angka perikanan,” teriak Hasida sore itu, seraya memberi motivasi ketika menutup pertemuan rutin KSP Baronang Lestari di salah satu halaman rumah warga. Hasida anggota PAAP yang mengkoordinir KSP di Lasalimu Selatan dan Siontapina. Hasida selalu bersyukur, karena suaminya ‘tidak merokok!’

 

Terbantu Tabungan

Rusiani, seorang mamalele di Desa Mopaano sedang mencatat kas pengeluaran belanja beberapa kepiting rajungan yang dibeli dari nelayan. Karena sedang hamil tua, dia hanya bisa duduk di lantai teras rumah panggung kayu, sambil mengawasi kelima anaknya.

Sementara di kolong rumah, suaminya, Laode Awaludin sibuk mengolah limbah batang kelapa menjadi kerajinan ulekan hingga sore hari. Awaludin belajar otodidak membuat ulekan melalui tontonan YouTube saat menjalani pembatasan sosial pandemi Corona.

Sekali mengerjakan ulekan cobek, Awaludin menghabiskan beberapa batang rokok. Saat air laut surut di malam hari, dia turun melakukan meti-meti dengan tak lupa untuk merokok.

Penghasilan dari penjualan sekali meti-meti hanya berkisar Rp100 ribu. Sementara dari hasil melaut, dia bisa mendapatkan sekitar Rp300 ribu. Sayangnya sudah genap 8 bulan lamanya Awaludin tidak pernah turun memancing, lantaran cuaca buruk musim angin timur yang tidak menentu terus menerpa lautan.

Dia juga tidak berani pergi jauh dari rumah dan berlama-lama di lautan. Ia memilih mengikuti anjuran petugas kesehatan untuk siaga (siap–antar–jaga), membantu kesiapan istri jelang melahirkan anak yang keenam.

baca juga : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

 

La Ode Awaludin mengolah limbah batang kelapa menjadi kerajinan ulekan cobek. Modal usaha sektor ekonomi kreatif ini diperoleh dari hasil menabung pada KSP rumah tangga nelayan. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Rusiani berangan-angan status pekerjaan di KTP-nya segera berubah dari ibu rumah tangga menjadi nelayan. Sejak menikah, Suriati bekerja sebagai Mamalele. Rusiani tidak sendirian, masih banyak mamalele lain di perkampungan ini yang hanya mengenyam pendidikan tamatan Sekolah Menengah Atas, dan tercatat berstatus ibu rumah tangga di KTP-nya.

Meski demikian, Rusiani mengaku senang telah bergabung di KSP Penyu Lestari, karena bisa memiliki tabungan. Mengelola tabungan merupakan hal baru bagi masyarakat nelayan di tempat terpencil, yang secara temurun kerap terjebak di lingkaran kemiskinan, lantaran tidak mewarisi manajemen keuangan modern.

KSP Penyu Lestari telah melewati satu tahun pembukuan, dan baru saja melakukan pencairan tabungan yang berupa kumpulan kepemilikan lembar saham milik anggota kelompok. Setiap lembar saham senilai Rp20 ribu, yang oleh setiap anggota kelompok wajib membeli paling sedikit lima lembar saham di setiap pertemuan yang digelar dua kali dalam satu bulan.

Dalam jangka 12 bulan kemarin, Suriati telah mengumpulkan 120 lembar saham dengan nilai total pencairan sebanyak Rp2.400.000. Keuntungan itu lantas dibagi dua, sebagian untuk memodali usaha jual beli ikan yang dilakoninya selama bertahun-tahun, dan sebagian lainya digunakan untuk membeli mesin produksi usaha ekonomi kreatif rumahan yang sedang dirintis suaminya.

Rusiani dan suaminya bangga telah mendapat literasi keuangan yang berkontribusi pada pengelolaan keuangan rumah tangga yang lebih baik. Namun Rusiani belum bisa mengatasi tingginya belanja bulanan yang didominasi oleh pengeluaran belanja rokok harian suami selama bertahun-tahun.

“Pengeluaran satu bulan untuk rokok hampir Rp900 ribu. Padahal untuk beli beras hanya Rp500 ribu,” keluh Rusiani tertawa lepas sembari menyindir suaminya yang putus sambung merokok, berusaha menyelesaikan tiga pesanan  ulekan cobek di hari itu.

Rusiani mengaku kini percaya diri untuk mengembangkan usaha jual–beli hasil laut yang dikelolanya, karena telah menerapkan literasi keuangan yang diperolehnya dari KSP. Baginya, literasi keuangan adalah modal paling utama dalam mengatasi rumitnya pengelolaan keuangan rumah tangga yang sebelumnya bercampur aduk dengan pengelolaan uang belanja harian.

 

***

 

Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Rare Indonesia

 

Exit mobile version