Mongabay.co.id

Klaim BBN Sawit Rendah Emisi, Harus Lihat Seluruh Proses

 

 

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia kembangkan bahan bakar nabati (BBN) dengan sumber utama minyak sawit sebagai salah satu jalan menuju transisi energi. Ia dinilai sebagai energi terbarukan dan rendah emisi karbon. Kalangan organisasi masyarakat sipil mengingatkan, bicara energi terbarukan rendah emisi harus melihat dari suluruh proses, bukan hanya di hilir.

Kukuh Ugie Sembodho dari Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, kalau hendak mengukur emisi biofuel tidak bisa hanya gas buang tetapi harus melihat keseluruhan proses. Mulai dari pengelolaan perkebunan sampai proses akan mempengaruhi emisi total biofuel.

“Di Indonesia [bahan baku biofuel] itu sawit, apakah akan ada kebutuhan penambahan lahan ketika biofuel ini makin meningkat? Akan ada potensi penambahan lahan akibat pengembangan biofuel di Indonesia?” katanya dalam webinar Yayasan Madani Berbelanjutan, baru-baru ini.

Walaupun, kata Kukuh, bisa saja peningkatan campuran biofuel tanpa membuka lahan baru tetapi dengan intensifikasi lahan. Selama ini, produktivitas lahan sawit di Indonesia cenderung rendah berkisar 2,7 ton per hektar. Kalau intensifikasi, maka produktivitas bisa enam ton per hektar.

Selama ini, katanya, pemerintah mengklaim pengembangan BBN bisa menghemat cadangan devisa karena kebutuhan impor BBM berkurang. Namun, kata Kukuh, tindakan pemerintah kontradiksi karena pengembangan BBN di Indonesia disubsidi dana pungutan sawit dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ). Angka subsidi bahkan mencapai Rp30,2 triliun.

 

Baca juga: Studi LPEM Sebut Kebijakan Biodiesel Rawan Rugikan Keuangan Negara dan Lingkungan Hidup

 

Padahal, fungsi BPDPKS, tak hanya mensubsidi biodiesel juga peremajaan sawit, pengembangan sumber daya manusia dan lain-lain. Alokasi ke bagian lain malah lebih kecil dibandingkan subsidi ke biodiesel.

Alokasi dana BPDPKS ini, katanya, untuk pengembangan sumber daya manusia dan peremajaan sawit yang bisa membantu sektor lingkungan menuju sawit berkelanjutan. “Bagaimana mau meningkatkan produktivitas kalau nggak ada peningkatan kapasitas sumber daya?”

Kalau melihat komposisi kebun sawit di Indonesia, data pemerintah dari 16 jutaan hektar, 54,9% perusahaan swasta, 40,8% petani swadaya dan 4,3% BUMN. Dari produksi, swasta 63,8%, petani swadaya 31,7% dan 4,5% BUMN. Porsi petani swadaya yang terbilang besar ini, katanya, jarang memiliki akses ke rantai pasok biodiesel. Kalau ingin menjual hasil panen, banyak yang harus melalui tengkulak dan harga lebih rendah.

“Pertanyaannya, sebenarnya biodiesel ini untuk siapa? Apakah untuk petani swadaya atau hanya perusahaan besar? Kalau ingin mempercepat akselerasi penanggulangan kemiskinan, juga harus memperhatikan petani swadaya agar dampak bisa dirasakan,” katanya.

Dari aspek sosial, Kukuh bilang, biodiesel selama ini banyak bersumber dari sawit juga banyak masalahnya, seperti konflik lahan, juga pelanggaran hak asasi manusia.

Sampai saat ini, kebijakan biofuel ini belum menggunakan prinsip ketelusuran dari sawit-sawit yang jadi sumber BBN. Dampaknya, khawatir sawit-sawit itu dari perkebunan yang punya masalah HAM, seperti pekerja anak, pekerja perempuan yang tak dibayar layak dan lain-lain.

Aziz Kurniawan dari Koaksi Indonesia, mengatakan, biofuel memang dari nabati dan bisa diperbaharui. Dengan begitu, katanya, sepintas sisi emisi lebih rendah tetapi bagaimana saat pengelolaan di kebun.

“Kita mau pakai tools apa untuk menentukan aspek keberlanjutan biofuel? Hal yang menjembatani itu adalah standar keberlanjutan. Hanya di biofuel masih belum diterapkan. Standar sawit berkelanjutan ada ISPO, RSPO dan lain-lain. Di biofuel, belum ada.”

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sedang mengembangkan Indonesian Bioenergy Standar Indicator (IBSI). “Tapi itu masih tahap pengembangan, belum menjadi kebijakan.”

Menurut Aziz, dalam pengembangan biofuel, seharusnya pemerintah bisa melakukan diversifikasi, tak hanya mengandalkan sawit.

Nggak cuma berasal dari sawit, tetapi tanaman-tanaman lain yang kalau bisa yang tidak berkompetisi dengan pangan. Contohnya, jarak dan nyamplung,” katanya.

Dari sisi harga, biofuel berbeda dengan energi terbarukan lain. Kalau membandingkan dengan energi surya, air, angin dari tahun ke tahun harga cenderung sama atau bahkan turun. Biofuel, harga fluktuatif mengikuti harga pangan.

Selain itu, Indonesia juga punya potensi mintak jelantah atau used cooking oil/UCO). Sekarang ini UCO justru banyak ekspor.

 

Baca juga: Kala Subsidi Banyak ke Industri Biodiesel, Minim buat Petani Sawit

Sedekah minyak jelantah yang dijalankan Rumah Sosial Kutub. Hasil pengumpulan minyak jelantah itu dijual ke perusahaan energi di Eropa yang diolah menjadi biodiesel. Foto : Qonita Azzahra/Mongabay Indonesia

 

Aziz bilang, konsumsi minyak sawit buat energi di Indonesia mencapai 8 juta kilo liter ton, separuhnya bisa jadi UCO.

Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, dalam menerapkan pengembangan BBN–saat ini dominan sawit–pemerintah harus memperhatikan aspek keberlanjutan.

Setahu dia, produksi biodiesel saat ini, seperti B30 tak ada standar keberlanjutan. “Menurut saya, itu bisa menciptakan black market. Yang produksi ilegal bisa ditampung di dalam negeri. Di luar negeri boleh ditolak, sawit tidak berkelanjutan malah dipasarkan di dalam negeri,” katanya.

Dia juga soroti kebijakan biodiesel tak menguntungkan petani swadaya malah perusahaan besar yang mendapatkan subsidi.

Dari pengamatannya, tak ada satu pun koperasi petani yang jadi pemasok ke biodiesel. Di Riau, mereka mengecek di empat kabupaten. Ada beberpa kelembagaan petani berjarak hanya lima kilometer dari perusahaan-perusahaan pemasok biodiesel, justru menjual sawit ke tengkulak. Dampaknya, harga jual petani swadaya tidak terbantu.

 

 

*******

 

Exit mobile version