Mongabay.co.id

Menyoal Surat ‘Daftar Hitam’ Peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup

 

 

 

 

“Tidak memberikan pelayanan kepada peneliti asing atas nama sdr Erik Mejaard, Julie Sherman, March Ancrenaz, Hjaimar Kuhi, Serge Wich dalam semua urusan, perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”

Begitu salah satu bunyi poin surat yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada beberapa ilmuan pada 14 September lalu yang ditandatangani Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Surat itu keluar sehari sebelum Erik Meijaard dan Julie Sherman menulis artikel opini di Jakarta Post berjudul “Orangutan Concervation Needs Agreement on Data and Trends.”

Artikel yang rilis 15 September itu merespon pernyataan Siti Nurbaya, Menteri LHK di Hari Orangutan Sedunia yang menyebutkan soal bukti di lapangan kalau orangutan Sumatera, Tapanuli dan Kalimantan jauh dari kepunahan dan populasi akan terus bertambah. Pada 26 September lalu, Nunu Anugrah, Kepala Humas KLHK memberikan respon atas opini itu.

Isi respon  KLHK itu antara lain menyebutkan, kalau pernyataan menteri di Hari Orangutan Sedunia untuk membangun optimisme terhadap konservasi spesies jangka panjang di Indonesia, termasuk orangutan.

Optimisme itu berdasarkan pemantauan intensif di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Pemantauan oleh lingkup Direktorat Jenderal KSDAE iru menemukan ada peningkatan populasi orangutan di 24 lokasi pemantauan di Sumatera dan Kalimantan dari 1.441 pada 2014 jadi 2.431 orangutan pada 2022.

Sementara dalam surat ‘daftar hitam’ KLHK itu tak memyebutkan, publikasi nasional atau internasional mana yang menjadi rujukan KLHK.

Meijaard, Sherman dan nama-nama ilmuan lain yang masuk daftar hitam KLHK itu memang ilmuan yang konsern dalam menulis riset maupun artikel soal orangutan Kalimantan, Sumatera maupun Tapanuli.

“Memperhatikan perkembangan publikasi secara nasional dan internasional yang ditulis oleh peneliti asing an saudara Erik Mejaard dkk tentang satwa antara lain, orangutan, dengan indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq, Kementerian LHK,” sebut surat itu sebagai alasan penerbitan larangan kepada para peneliti ini.

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah.Hilangnya hutan sebagai rumah satwa, salah satu orangutan otomatis mengancam kehidupan spesies endemik Indonesia. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Atas alasan itu, Sejken KLHK menyampaikan kepada seluruh kepada UPT balai besar atau balai taman nasional dan UPT balai besar untuk tak memberikan pelayanan kepada para peneliti asing dengan nama-nama tertera itu.

Tak hanya itu, balai atau UPT KLHK juga diminta tak melayani permohonan Meijaard dkk dalam kerja bersama KLHK di tingkat tapak dalam kewenangan kepala UPT.

Ada juga poin agar melaporkan kepada Menteri LHK cq Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) atas setiap usulan kegiatan konservasi, oleh peneliti asing melalui jalur mitra LSM, akademiis maupun kedinasan, kementerian/lembaga.

Juga melaporkan penelitian tentang satwa oleh peneliti asing atau dalam dukungan dana asing selama kurun waktu 2017-2022. Laporan pun minta disampaikan kepada menteri cq Dirjen KSDAE beserta hasil baik setelah publikasi maupun belum.

Balai dan UPT juga diminta melakukan pengawasan terhadap kegiatan penelitian yang sudah mendapatkan izin . “Terutama berkaitan dengan hasil-hasil penelitian yang akan dipakai untuk publikasi guna dapat dijaga obyeksitasnya.”

Pada 22 September 2022, Mongabay berupaya mengkonfirmasi soal surat itu kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK dan Indra Exploitasia, selaku Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik. Ketiganya tak merespon Mongabay. Coba hubungi ulang, tetapi para pejabat KLHK itu tetap tak merespon.

 

Orangutan Kalimantan yang hidupnya makin terhimpit…Penyelamatan orangutan adalah solusi sementara. Foto: IAR Indonesia

 

Meijaard pun bingung mengapa keluar surat ‘larangan’ itu.

Apakah gara-gara ‘beda data,’ soal populasi orangutan antara KLHK dan para peneliti hingga keluar ‘surat cekal’ ini?  “Jika pemerintah mengatakan, populasi meningkat, saya berasumsi mereka memiliki data yang tidak dapat diakses oleh siapa pun,” kata Meijaard kepada Mongabay.

Data peneliti dan Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) juga menunjukkan habitat orangutan dan kepadatan yang menurun hingga secara keseluruhan menurun untuk semua spesies. “Saya tidak dapat memikirkannya. setiap populasi di Indonesia yang tumbuh kecuali, tentu saja, ada data di luar sana yang belum saya lihat dan itu membuktikan sebaliknya.”

Serupa dikatakan  Serge Wich. Dari data-data yang mereka teliti tak ada yang memperlihatkan kenaikan populasi orangutan.

“Tidak dengan data yang kami miliki. Kami selama beberapa dekade terakhir bekerja dengan hampir semua orang dalam penelitian orangutan untuk mengkompilasi kumpulan data besar ini untuk menilai apa yang terjadi pada populasi orangutan,”katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, dari semua makalah yang mereka tulis menunjukkan, populasi orangutan menurun secara keseluruhan. “Jadi itulah yang dikatakan data kepada kita. Tapi itulah data yang kami miliki.”

Dia ingin melihat data yang menyatakan kalau data para peneliti ini salah. “Itu akan luar biasa, bahwa orangutan baik-baik saja. Itu bagus. Tapi dari pengetahuan yang kami miliki tentang orangutan, apa yang kami lihat dalam hal hilangnya hutan orangutan, apa yang kami lihat dalam jumlah translokasi, apa yang kami lihat dalam hal perburuan, tampaknya mereka menurun secara maksimal.”

Kalau memang pemerintah memiliki data yang benar-benar menunjukkan peningkatan populasi itu, katanya, tunjukkan kepada dunia, biarkan semua orang melihat data itu.

“Publikasikan, minta ditinjau, dan tunjukkan kepada dunia hingga semua orang dapat membacanya dan mengambil keputusan sendiri tentangnya. Itulah yang saya harap dilakukan pemerintah.”

 

Anak orangutan sumatera yang diselamatkan dari perdagangan ilegal di Aceh beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berbagai kalangan juga menyayangkan sikap KLHK ini. “Sikap ibu Siti [Menteri LHK, Siti Nurbaya] ini bahaya bagi negara demokrasi, apalagi pencekalan terhadap kebebasan akademisi dan memaksakan narasi pemeritah dengan data yang masih diragukan publik,” kata Arie Rompas, Team Leader Juru Kampanye Hutan Greenpeace, kepada Mongabay, 2 Oktober ini.

Aksi kementerian seperti ini, katanya, akan berpengaruh pada pengambilan kebijakan yang tepat di sektor kehutanan yang seharusnya memerlukan tinjauan akademis.

Menurut Arie, sikap KLHK ini jadi preseden buruk bagi Indonesia. “Karena bukan kejadian pertama. Jadi, memang sudah harus dihentikan dan evaluasi,” katanya.

Arie merujuk kejadian pada 2019, David Gaveau, ilmuan asal Prancis yang mendapat ‘teguran’ dari KLHK karena menulis artikel soal data kebakaran hutan dan lahan berbeda dengan punya kementerian. Tak lama, Gaveau dideportasi.

“Ini berpengaruh juga ke citra presiden karena dunia internasional juga akan menggangap bahwa pemeritahan Jokowi [Presiden Joko Widodo] otoriter,” kata Arie.

Dia bilang, kalau tak setuju atau punya informasi maupun pandangan berbeda dengan artikel maupun riset ilmuan, seharusnya KLHK menjawab dengan data.

“Itu akan memperkuat kebijakan yang tepat di sektor kehutanan bukan melakukan pemblokiran terhadap peneliti.”

Wulan Pusparini, peneliti biologi konservasi Universitas Oxford, dan Presiden Society of Conservation Biology chapter Indonesia ini menyayangkan, ada surat KLHK yang membatasi kerja-kerja periset.

Seharusnya, kata Wulan, fokus pada esensinya bagaimana kondisi satwa itu sebenarnya dan tak beranggapan kalau ada penelitian atau terbit artikel sesuatu yang sifatnya negatif itu berarti menjelekkan suatu negara.

Dia sudah menekuni pekerjaan di dunia konservasi sejak 2006, tak jadi soal kalau ada beda pandangan dengan pemerintah. “Baru kali ini yang memang kayak ada semuanya itu harus lewat persetujuan pemerintah. Itu baru di era yang ini,” katanya.

 

 

Bagaimana dengan klaim pemerintah kalau populasi orangutan meningkat? “Pemerintah sendiri basis datanya ga diungkapkan. Saya pikir semua klaim dalam sains itu harus bisa dibuktikan ya.”

Dalam konservasi ini, katanya, ada prinsip kehati-hatian terlebih pada satwa-satwa yang berstatus kritis.

“Saya pikir, lebih baik prinsip kehati-hatian yang diambil. Kalau ada pihak yang klaim ada status populasi naik, saya pikir itu klaim yang harus ditanggapi dengan sangat serius. Apakah benar naik, apakah apakah naiknya itu hanya fluktuatif? Kan demografis itu naik turun ya, atau memang populasinya beneran naik?”

Herlambang P. Wiratraman, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), juga nyatakan kekhawatiran atas aksi pemerintah (KLHK) yang membatasi ruang para ilmuan.

Menurut dia, tindakan seperti ini bukan kejadian terbaru pada 2022 ini saja. “Kekhawatiran kita tentang politik kekuasaan untuk melemahkan posisi sains bahkan mengabaikan sains udah terjadi sejak lima tahun terakhir makin menguat situasinya,” katanya.

Kebijakan-kebijakan pun, katanya, bukan saja tidak ramah lingkungan tetapi antisains.

Dia khawatir juga dengan proses pelumpuhan sains dan ilmuwannya yang terjadi dengan pelembagaan atau birokrasi riset. Dia merujuk pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dinilai lebih mengedepankan politik kekuasaan.

 

Pertambngan batubara di Kalimantan menciptakan bencana ekologi dan ancaman bagi keberlangsungan satwa, seperti orangutan Kalimantan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Herlambang bilang, lembaga riset tak bisa diseragamkan layaknya birokrasi pemerintahan. “Mereka punya sistem, mereka punya cara kerja sendiri, misal, punya lab, punya tim dan lain-lain. Yang tidak semuanya harus pegawai negeri yang seakan-akan jaminan sumber daya manusia itu harus pegawai negeri.”

Begitu juga kalau bicara isu hutan, ‘daftar hitam’ kepada peneliti orangutan, Erik Maijaard dkk.

“Ini trennya terus menerus terjadi bahkan sekarang lebih formalized ya. Lebih legalized.”

Dia juga menyinggung soal kerjasama Indonesia dan Norwegia soal karbon baru-baru ini.

“Mana bisa ada klausul hasil riset bisa dipublikasi atau ditampilkan ke pihak ketiga kalau tak mendapat persetujuan dari para pihak, Pemerintah Indonesia atau Norwegia. Itu juga seakan-akan memperlihatkan sains tidak lagi jadi alat, tidak lagi jadi pemandu dalam upaya mendorong kebijakan,” katanya.

Dia katakan, mana mungkin peneliti mau menerbitkan artikel di jurnal harus minta persetujuan ke pemerintah dulu.

Herlambang bilang, cara kerja sains itu sesama ilmuan saling me-review. “Itu kan dari yang ahli. Jadi, kalau penelitian tentang hutan, orangutan, isu deforestasi, itu jadi mereka yang ahli dong. Misalkan ahli kehutanan, orangutan, pakar climate change dan lain-lain, bukan birokrat. Bukan politisi apalagi.”

Untuk itu, mekanisme sains harus dikembalikan.

Jadi, katanya, politik kekuasaan berkelindan dengan birokratisasi itu membentuk sesuatu yang melahirkan kemunduran untuk dunia sains serta tak menjamin kebebasan ilmuan.

“Intinya tidak sedang baik-baik saja kondisi kita. Saya khawatir betul ya, bangsa ini mau apa kalau kita udah sekolahkan, investasi scholar, pulang situasinya malah gitu. Ya disuruh jadi ilmuwan tukang semua.”

Orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Ekosistem Batangtoru juga rawan terus tergerus untuk berbagai peruntukan antara lain jadi tambang emas, bangun PLTA dan lain-lain. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

*******

 

Exit mobile version