Mongabay.co.id

Kasus Pelihara Satwa Dilindungi Mantan Bupati Langkat Sudah Masuk Kejaksaan

 

 

 

 

Terbit Rencana Perangin-angin, mantan Bupati Langkat sudah jadi tersangka kasus kepemilikan satwa-satwa langka dilindungi sejak Juni lalu. Berkas kasus sudah Balai Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, limpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Subhan, Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera September lalu mengatakan, mereka sudah melimpahkan berkas penyidikan ke Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejati Sumut). Penyidik memeriksa sejumlah saksi dan Terbit yang kini dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus dugaan korupsi di Langkat.

Yos A Tarigan, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut mengatakan, jaksa peneliti yang menangani berkas mengembalikan lagi ke penyidik karena syarat formil dan materil belum lengkap dan minta dilengkapi.

 

Baca juga: Bagaimana Kelanjutan Kasus Kepemilikan Satwa Dilindungi Bupati Langkat?

Mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (tengah). Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Haluanto Ginting, Kepala Seksi Wilayah I Balai Gakkum KLHK Sumatera menambahkan, dalam mereka akan kembali ke Jakarta untuk memeriksa Terbit guna melengkapi berkas penyidikan.

Terbit terjerat kasus ini karena memelihara setidaknya tujuh satwa liar secara ilegal, di kediaman pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Langkat. Satwa-satwa itu berupa satu orangutan Sumatera—rehabilitasi di Pusat Karantina Orangutan Sumatera Batumbelin Sibolangit—lalu, satu elang brontok, dua beo, dua jalak Bali dan satu monyet hitam Sulawesi yang sudah masuk rehabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Sibolangit.

Haluanto bilang, perbuatan Terbit diancam hukuman pidana dengan Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun, denda maksimal Rp100 juta.

“Saat ini, tersangka merupakan tahanan KPK dalam perkara korupsi, hingga penyidik Balai Gakkum KLHK berkoordinasi dengan KPK untuk dapat melanjutkan pemeriksaan Terbit.”

 

Baca juga: Kasus Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Modus Perbudakan di Kebun Sawit?

 

 

KPK melakukan serangkaian operasi penindakan di Sumut dan berhasil menangkap Terbit beserta lima orang lainnya.

Saat penggeledahan di rumah pribadi sang bupati itulah, penyidik KPK menemukan sejumlah satwa dilindungi dalam kandang kandang besi. KPK lalu menyampaikan informasi ini kepada Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan (KLHK). Gakum Sumatera pun bergerak.

Catatan Forum Investigator Zoo Indonesia, untuk kasus-kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar, di Indonesia penyidik baik kepolisian maupun KLHK masih terfokus pada pemidanaan penjara dan denda saja. Sedangkan biaya ganti rugi perawatan terhadap satwa yang masuk ke lokasi rehabilitasi dan karantina sebelum lepas liar, sama sekali belum pernah dilakukan.

Abdi Soegesti, Unit Riset dan Data dari Forum Investigator Zoo Indonesia mengatakan, sedikit satwa-satwa yang diamankan dari pelaku kejahatan perdagangan satwa liar bisa langsung lepas kembali ke hutan. Mereka harus masuk ke karantina satwa dulu.

 

Baca juga: Satwa Dilindungi Sitaan dari Rumah Bupati Langkat, Ini Foto-fotonya

Anak orangutan yang disita dari perdagangan ilegal masuk karantina, sebelum lepas liar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Selama berada di karantina satwa, biaya perawatan mulai dari rehabilitasi hingga proses habituasi rata-rata per tahun bisa Rp20 juta per satu satwa seperti orangutan.

Kalau ada tiga orangutan saja yang masuk rehabilitasi, biaya sudah Rp60 juta per tahun dan harus ditanggung negara. Sedangkan, pelaku paling hanya kena penjara sekitar satu sampai dua tahun.

“Dalam setiap kejahatan satwa liar dilindungi vonis denda maksimal Rp100 juta tetapi subsider cuma tiga bulan. Ya pelaku lebih memilih subsider ketimbang harus membayar denda ratusan juta rupiah. Ini jadi masalah.”

Untuk itu, perlu ada tuntutan mengenai biaya perawatan satwa selama masuk rehabilitasi atau karantina satwa.

Nanda Nababan, Wildlife Crime Researcher and Advocate mengatakan, negara bisa menggugat perdata sesuai Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kejahatan konservasi juga tak bisa lepas dari UU KSDAE.

Jadi, katanya, peluang negara pakai hak gugat dengan UU itu belum dimanfaatkan maksimal. Pemerintah– Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan–, dalam kasus kejahatan satwa liar, belum pernah menguji coba. Padahal, katanya, gugatan ini sangat memungkinkan dilakukan.

Catatan mereka, di sejumlah pengadilan, untuk kasus orangutan Sumatera periode 2000-2022, para pelaku rata-rata kena penjara 1,5 tahun, tetapi penegak hukum hanya fokus pada pelaku tetapi pada barang bukti yaitu satwa yang diselamatkan.

“Jadi, belum ada terdakwa yang membayar denda terkait kejahatan satwa liar itu. Semua memilih untuk menggantikan dengan kurungan badan [kalau ada denda].”

 

 

*******

 

Exit mobile version