Mongabay.co.id

Gempuran Masalah pada Nelayan dan Laut di Negeri Bahari dalam Film Angin Timur

 

Sebuah film dokumenter baru dari Ekspedisi Indonesia Baru menyuguhkan gambar-gambar penuh energi dari kampung-kampung nelayan besar di Jawa. Namun membawa kabar buruk bagi kondisi nelayan dan laut kini, juga nanti.

Film ini bertajuk Angin Timur. Terdengar puitik. Tayang perdana untuk publik dengan syarat nonton bareng pada 21 September 2022 di empat daerah, termasuk beberapa daerah yang jadi lokasi film ini.

Saya memutuskan menonton dua kali, pertama saat nonton bareng (nobar) di Kulidan Space, ruang seni dan diskusi di Sukawati, Gianyar, Bali pada 23 September 2022. Berikutnya nonton ulang film dari arsip panitia. Dengan nobar, warga didorong mendiskusikan film ini usai penayangannya.

Setelah menonton dua kali, pesannya makin jelas dan tebal. Seberapa jauh kita mengetahui masalah sebenarnya negara kelautan ini? Dampaknya bagi warga konsumen boga bahari atau penikmat laut dan senja.

Lapisan-lapisan masalah ini diurai dengan cermat oleh dua sutradaranya, Dandhy Dwi Laksono dan Yusuf Priambodo. Dandhy adalah dedengkot Watch Doc, penerima Ramon Magsaysay Award 2021, penghargaan prestisius yang disebut Nobel-nya Asia. Sebelumnya, dia membuat Ekspedisi Indonesia Biru pada 2015 bersama Suparta “Ucok” Arz, fotografer dari Aceh. Sedangkan Yusuf adalah anak muda, hasil rekrutmen Ekspedisi Indonesia Baru.

Kali ini ekspedisi Indonesia Biru dijelajahi empat orang jurnalis, di film ini membagi diri ke dua grup dan menyusuri jalur berbeda. Yusuf di pantai Selatan bersama Farid Gaban (jurnalis Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, 2009). Sedangkan Dandhy dan Benaya Ryamizard Harobu di pesisir pantai utara.

Beberapa potret kampung nelayan ini terasa dekat dengan penonton walau hanya beberapa menit. Mulai dari Kulon Progo, Jogja; Karimun Jawa, Jawa Tengah; Trenggalek dan Banyuwangi, Jawa Timur.

baca : Ekspedisi Indonesia Biru, Merekam Berbagai Persoalan Alam dan Anak Negeri

 

Film Angin Timur tentang permasalahan yang dihadapi nelayan dan lautnya, sebuah film dokumenter karya Ekspedisi Indonesia Baru. Sumber : twitter Ekspedisi Indonesia Baru

 

Pemantik masalah besar dimulai dari hal personal. “Tidak semua bisa makan ikan, cumi, kepiting, apalagi lobster,” tutur Yusuf Priambodo yang berasal dari pesisir Tuban, Jawa Timur.

Ia memulai mendokumentasikan nelayan Kulon Progo yang sudah sebulan tak melaut karena cuaca buruk. Kenapa makanan laut tidak murah tapi nelayan tetap miskin? Mengutip sensus penduduk, mayoritas orang miskin bekerja sebagai nelayan, sebagian besar tradisional atau buruh nelayan.

Angin Timur adalah kondisi musim angin kencang pada Mei-September ini. Kondisi paceklik terutama bagi nelayan kecil. Sejumlah warga mengakui iklim sudah berubah, harusnya musim kemarau tapi malah hujan.

 

Potongan film Angin Timur, perahu nelayan di pesisir Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : screenshoot film Angin Timur

 

Di Trenggalek, ada Numerojo, buruh nelayan 80 tahun yang mencoba peruntungan melaut di pesisir Gunung Kidul walau musim Angin Timur. Demikian juga nelayan di Karimunjawa, Jawa Tengah, walau laut masih bergolak.

Suyitno, nelayan cumi di Karimun Jawa berusaha memancing cumi sejak malam sampai dini hari selama 12 jam. Hanya menggunakan umpan palsu dan bantuan lampu. Istrinya menjual hasilnya ke pengepul sekitar 2,4 kg dengan harga Rp60 ribu/kg. Hasil kotornya Rp 144 ribu, dan dari hasil itu Rp 60 ribu untuk solar yang dibeli dari pengepul yang sama.

Ada banyak nelayan dan buruh yang menyetor ke pengepul ini. Mereka dipasok kebutuhan melaut seperti bahan bakar, mesin, es batu dan lainnya, bisa berutang, dibayar hasil tangkapan.

Numerejo mengaku hanya mendapat sedikit tangkapan yakni ikan bawal dan jenis ikan karang. Ia bisa jual hasil panen sekitar Rp 150 ribu, dikurangi Rp50 ribu untuk bensin. Sisanya Rp100 ribu untuk tiga awak kapal dan biaya lain. Dia sering sama sekali tidak dapat apa pun. Walau 30 tahun jadi nelayan, ia masih harus berladang karena hasil melaut tidak pasti.

Di Trenggalek ada Nurkawit, nelayan dan petani Prigi. Ia baru membaca berita kenaikan BBM pemerintah yang berdampak pada nelayan seperti biaya BBM dan kenaikan harga-harga sembako. Di sisi lain, BBM kebutuhan melaut nelayan tidak lancar, harus menggunakan undian, isi nomor, antre, namun belum tentu dapat.

Seorang nelayan menyebut dengan kartu nelayan memang dapat subsidi, tapi prosedur panjang. Setelah dapat nomor lapor, lalu ke syahbandar untuk dapat surat rekomendasi, baru ke stasiun BBM untuk antre. Ada juga dugaan pihak lain yang bermain dengan pasokan solar untuk nelayan.

Masalah berikutnya adalah ada dugaan kapal tongkang pengangkut batu bara yang melewati perairan Karimun Jawa merusak terumbu karang. Ada rekaman warga memantau dan mendokumentasikan kondisi terumbu karang serta merekam bagian bawah kapal yang sedang buang jangkar.

baca juga : Tongkang Batubara Parkir di Karimunjawa Rusak Terumbu Karang

 

Cuplikan film, sulitnya menjaga ekologi pesisir dari investasi yang merusak. Foto : screenshoot film Angin Timur

 

Berbagai Masalah

Sampai sejauh ini, masalahnya sudah bertumpuk. Nelayan menghadapi masalah pelik, kenaikan BBM, cuaca buruk, ketergantungan pada pengepul, dan kerusakan terumbu karang sebagai habitat satwa laut. Namun, masih ada lagi.

Bambang Zakaria, seorang aktivis lingkungan di Karimun Jawa memantau dampak tambak udang tak berizin. “Bukan (hanya) sedimentasi, (tetapi) sudah (jadi) bencana untuk kami,” katanya. Ia menunjukkan lumpur legam yang berbeda tekstur, warna, dan bau dengan lumpur biasa. Saluran pembuangan tambak udang di tengah kawasan mangrove menuju laut menyebabkan cemaran baru akibat limbah pakan.

Ia membandingkan mangrove sehat dan fungsinya untuk peningkatan populasi ikan. Hamparan mangrove dari kejauhan terlihat megah seperti benteng hidup bagi areal di sekitarnya. Film juga merekam situasi bawah laut dermaga di kawasan mangrove yang jadi tempat tinggal anakan ikan sebelum bermigrasi ke laut lepas.

Tak hanya merusak kawasan mangrove, limbah tambak udang juga dinilai merusak budidaya rumput laut di sekitarnya. Pusat budidaya rumput laut tampak kosong dari aktivitas penjemuran. Seorang petani menunjukkan penyakit yang buat rumput laut membusuk, meyakini salah satunya karena limbah sekitar 3 tahunan ini. “Dulu petani di Batu Lawang bisa beli motor setelah panen,” dua warga tertawa pedih.

Nelayan kecil kecil juga bersaing dengan kapal besar yang bisa menangkap ikan di laut lepas menggunakan cantrang. Film ini mengingatkan dampak UU Cipta Kerja yang menghapus kriteria nelayan tradisional dan nelayan kecil.

Kapal cantrang menurunkan alat tangkapnya yang mampu menyapu karang dan seluruh isi laut sehingga alat tangkap ini masih diperdebatkan. Di sisi lain, para awak kapal juga tak pasti makmur. Dicontonkan sebuah kapal mendapat hasil tangkapan senilai Rp1,5 juta, separuhnya untuk BBM, sisanya dibagi 8 awak kapal dari 10 jam kerja di laut. Pemilik kapal juga disebut sering tekor.

Harga ikan pun tidak stabil. Jika panen raya, harga turun. Masalah pun bertambah dengan konflik wilayah tangkap, perusakan terumbu karang dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan, dan kerusakan mangrove. Tapi masih ada lagi, kali ini dampaknya lebih masif.

baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

Ilustrasi. Alat tangkap ikan dan kapal ikan yang terparkir di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tambang Emas

Warga dan nelayan Trenggalek sedang was-was. Ada rencana pembukaan tambang emas di dua kecamatan yakni Kampak dan Watulimo yang mewilayahi Teluk Prigi. Pemkab Trenggalek lewat bupatinya sejauh ini menolak. Mochammad Nur Arifin melihat izin cacat, karena berdampak pada ratusan hektar pemukiman, sumber air, hutan lindung, ribuan hutan produksi, dan kawasan karst. “Semua potensi konflik, terlarang untuk tambang, secara konstitusional tak berdasar sehingga saya tolak,” bupati muda ini beralasan.

Nurkawit pun khawatir hilangnya penghasilan nelayan diganti ekonomi tambang. Perlawanan terhadapa tambang emas dilakukan Imam Syaifudin penggagas pelestarian mangrove di kawasan Teluk Prigi. “Jangan sampai ada tambang, Trenggalek kawasan pegunungan, rawan longsor, imbasnya ke masyarakat juga,” kata Imam.

Kerusakan ini sudah terjadi di tambang emas di Banyuwangi. Ekspedisi merekam keindahan pesisir Pancer dikelilingi bukit, namun terlihat indah dari kejauhan. Setelah didekati, Gunung Tumpang Pitu sudah gundul.

Saat curah hujan tinggi, lumpur masuk laut, merusak habitat pesisir. Bukit Tumpang Pitu sudah berubah bentuk karena jadi lokasi ekspolitasi tambang. Nelayan Pancer bisa mengamati perubahannya setiap hari karena area pertambangan ada di wilayahnya.

Ahmad Darsono, seorang nelayan Pancer, menyebut tangkapan makin langka karena sedimentasi terbawa ke dasar laut. Dulu belum ada lumpur, masih pasir, bisa jadi tempat bertelur ikan dan udang. Kini menghilang karena karang tertutup lumpur. Peristiwa November 2016 memperlihatkan banjir lumpur menunjukkan teluk berubah pekat cokelat.

Salah satu balai pelelangan ikan pun tak beroperasi, situasi Pelabuhan Perikanan Pancer makin sepi dari aktivitas jual beli. Catatan hasil tangkapan ikan sebelum dan sesudah tambang menunjukkan perbedaan sangat jauh sebelum dan setelah tambang emas.

Bahkan perusahaan tambang berencana memperluas area eksploitasinya ke perbukitan sekitarnya. Warga pun melanjutkan aksi-aksi penolakan. Sebagian pemegang saham perusahaan tambang disebut pejabat pemerintahaan saat ini. Penonton mungkin terhenyak dengan deretan nama-namanya. Inilah yang disebut sebagai oligarki dalam film ini.

perlu dibaca : Rakyat dan Pemerintah Trenggalek Menolak, Kementerian ESDM Tetap Beri Lampu Hijau Tambang Emas

 

Cuplikan film Angin Timur, pegunungan bopeng karena tambang emas di Banyuwangi, Jatim. Foto : screenshoot film Angin Timur

 

Pembuat film Angin Timur ini dengan sederhana membandingkan tambang emas dengan cantrang. Menangkap sedikit ikan dengan menghancurkan rumahnya. Sedangkan tambang mengeruk beberapa material emas dengan menggunduli hutan, memotong bukit, dan berdampak jangka panjang pada lingkungan dan hajat hidup sekitarnya.

Segala mara bahaya ini tak membuat nelayan berhenti bersyukur pada alam. Mereka masih menggelar sedekah laut, berterima kasih pada pemberi berkah hidup. Indahnya gambar-gambar perayaan warga pada kehidupan ini membuat pilu.

Komang Sayu, salah satu penonton di Bali berharap bisa napak tilas mengunjungi lokasi-lokasi film itu karena tergugah dengan suguhan dari kolaborasi eksepedisi dan warga. Misalnya gerakan For Banyuwangi, komunitas penjaga Karimun Jawa, dan lainnya.

 

Exit mobile version