Mongabay.co.id

‘Mardekke-dekke’, Tradisi Batak Gotong Royong Panen Ikan

 

 

 

 

Siang itu, orang-orang di Desa Matiti, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, turun ke area persawahan beramai-ramai. Bukan untuk panen padi, tetapi buat tangkap ikan. Anak-anak muda, orang tua, perempuan dan laki-laki dengan tubuh berlumpur mereka tampak ceria menggendong ikan dari dalam tambak sedalam lutut orang dewasa.

“Semua orang bebas menangkap ikan sepuasnya dari kolam, istilahnya di sini mardekke-dekke, pesta panen ikan, ” kata Donny Munthe, warga Desa Matiti.

Mardekke-dekke dalam bahasa Batak, berarti beramai-ramai menangkap ikan di kolam. Tambak diberi nama sesuai keturunan marga. Ritual ini sudah turun menurun dalam Masyarakat Batak, salah satu dilakukan warga Kampung Matiti I dan II ini. Pemiliknya bermarga Munthe.

“Dulu ditebar ikan Batak (Neolissochilus thienemanni), sekarang sudah susah dapat bibit ikan Batak,” katanya. Dia bilang, tambak ini sekaligus jadi saluran irigasi bagi sawah warga.


Tradisi mardekke-dekke dilakukan setelah selesai panen padi, sebagai ucapan syukur pada alam semesta.

Tambak ikan berada di dataran lebih tinggi dari sawah. Warga bergotong-royong menguras lahan tambak seluas dua hektar, yang airnya mengalir menuju ke sawah-sawah warga.

Selesai panen ikan, warga kembali bergotong-royong membersihkan rumput di sekitar kolam, memperbaiki jalur air, lalu menebar bibit ikan ke tambak, begitu seterusnya. Ada ritual doa sebelum gotong-royong, lalu bersama-sama tebar bibit ikan.

 

Gotong royong panen ikan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Ikan Batak sudah langka, warga Matiti pun sebar bibit nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus carpio), lele (Clariidae), dan ikan kepala timah (Aplochelius armatus).

“Tradisi atau ritual mardekke-dekke dibikin untuk mempererat hubungan antar warga di kampung”, kata Donny.

Kearifan lokal semacam ini, katanya, perlahan mulai hilang. Kini, hanya ada empat tambak Desa Matiti I dan Matiti II. Sawah, bukan lagi milik satu rumpun marga melainkan milik pribadi.

“Kalau ada warga menangkap ikan mas, diserahkan ke pemilik tambak, selain itu semua jenis ikan boleh dibawa pulang.”

 

 

Di Simalungun, Masyarakat Adat Sihaporas juga lakukan hal serupa. Mereka budidaya ikan dikolam, lalu panen bersama atau mardekke-dekke. Bedanya, Masyarakat Adat Sihaporas Simalungun, ini tengah konflik lahan dengan perusahaan perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Kondisi lingkungan mereka tak sedang baik-baik saja. Menurut keterangan AMAN Tano Batak, lahan Sihaporas cukup memprihatinkan, volume air menurun, selama puluhan tahun hutan beralih jadi perkebunan eukaliptus.

Padahal, kehidupan tradisional warga secara turun-temurun kelola pertanian terintegrasi antara sawah padi dengan budidaya ikan. Mereka menebar bibit ikan Batak, mas, mujair, gabus, dan lele di bombongan na bolon (tambak).

Sore itu, Agustus 2022, pasca panen padi, warga berbondong-bondong turun ke tambak, menangkap ikan di sawah. Meski tubuh berlumuran lumpur, warga Sihaporas tetap gembira, berpesta menangkap ikan bersama-sama.

“Kami bikin kayak gini demi ketahanan pangan di tengah perampasan lahan ulayat kami, ” kata seorang warga.

 

*********

 

Exit mobile version