Mongabay.co.id

Mengajak Sektor Usaha dalam Pelestarian dan Perlindungan Mangrove

 

Upaya melindungi dan memulihkan ekosistem mangrove perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk juga sektor bisnis. Tujuannya, mengurangi tekanan pada mangrove dan ekosistem lainnya. Sekaligus, menghasilkan keuntungan bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.

Atas penilaian itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kadin-LHK) menggelar serial webinar Restorasi Mangrove Sebagai Solusi Perubahan Iklim Nasional, Jumat (30/9/2022). Topiknya, “Gotong Royong dalam Program Restorasi Mangrove yang Layak Investasi dan Berkelanjutan”.

Serial diskusi ini berfokus pada tindakan bersama di masa depan, bentuk dan model kolaborasi multi-stakeholder, serta peran dan pengelolaan mangrove di Indonesia. Adapun, pendekatan yang diusung bersifat inklusif dan gotong royong.

Silverius Oscar Unggul, Wakil Ketua Umum bidang LHK Kadin Indonesia menerangkan, keterlibatan multi-stakeholders diharap dapat mengisi ruang serta memberi perspektif dari masing-masing bidang dalam mewujudkan restorasi mangrove yang layak investasi dan berkelanjutan.

“Gotong royong menjadi platform nasional dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia. Selain itu, seturut urgensi penerapan komitmen net-zero carbon, mangrove memiliki keunggulan dalam menghasilkan karbon biru,” tambahnya.

baca : Pulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis, Kembalikan Sumber Ekonomi Pesisir

 

Lokasi tanam mangrove merupakan bekas tambak warga seluas 2 hektar yang kemudian dibeli dan menjadi aset pemerintah desa Tompotana, Kepulauan Tanakeke, Takalar, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Keterlibatan dunia usaha diyakini dapat memperkuat upaya perlindungan dan pelestarian ekosistem mangrove. Misalnya dengan mengurangi tekanan pada mangrove, meminimalisir limbah dari proses produksi, dan distribusi yang dapat merusak habitat mangrove.

Sebab, mangrove yang sehat dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lewat penyediaan sumber makanan misalnya ikan, udang dan kepiting. Di samping itu, dapat memperbaiki kualitas perairan pesisir, serta meningkatkan ketersediaan sumber mata pencaharian alternatif, seperti ekowisata mangrove yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Diharapkan Pemerintah untuk memimpin, memandu, mendukung, memfasilitasi serta memberikan insentif untuk menarik bisnis, pengembangan proyek, kelompok masyarakat dan CSO untuk berpartisipasi dan berkolaborasi dalam restorasi mangrove,” kata Silverius.

Bagi sektor usaha, upaya-upaya itu dilakukan lewat restorasi maupun program-program dekarbonisasi. Indika Energy perusahaan yang berfokus di sektor batu bara misalnya, telah berinisiatif melakukan restorasi mangrove sejak 2010.

Leonardus Herwindo, Presiden Direktur Indika Nature mencontohkan, Cirebon Power salah satu anak usaha Indika Energy, pada tahun 2010 sudah menanam lebih dari 80 ribu bibit mangrove di wilayah kerja mereka. Tahun 2021, juga ditanam 21 ribu bibit mangrove di sejumlah wilayah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua Barat dan Jawa Barat.

“Ini merupakan inisiatif perusahaan dalam melakukan restorasi dan rehabilitasi mangrove di area-area kami beroperasi,” kata Leonardus.

baca juga : Menguji Keseriusan Wacana Showcase Mangrove Bali di G20

 

Nelayan yang juga mendapat manfaat positif dengan terjaganya mangrove di Langsa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain penanaman, upaya melindungi mangrove dilakukan dalam bentuk pembangunan destinasi ekowisata. Cirebon Power disebut tengah mengembangkan ekowisata mangrove beserta infrastruktur penunjangnya. Kegiatan-kegiatan itu diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat setempat.

“Kolaborasi ini tetap kami lakukan. Saat ini kami sedang dalam tahap diskusi untuk restorasi mangrove yang lebih luas. Tujuan jangka panjangnya, untuk memastikan sustainability. Tidak hanya pemerintah, restorasi mangrove juga mendapat dukungan masyarakat dan swasta,” ujarnya.

Tidak hanya penanaman mangrove, komitmen menurunkan emisi Indonesia juga dibuat melalui program diversifikasi dari batu bara ke sektor lain, yang telah dimulai pada tahun 2018. Leonardus menyebut, pada tahun 2025, perusahaan berharap mendapat pemasukan dari sektor non batu bara dengan persentase sekitar 50%.

Sektor-sektor itu di antaranya, mineral non batu bara, logistik, infrastruktur, pengembangan tekonologi, serta renewable energy semisal solar panel, kendaraan listrik hingga solusi alam di sektor kehutanan.

“Ini juga menunjang tujuan jangka panjang untuk mencapai netral karbon pada tahun 2050 ataupun lebih cepat. Hingga tahun 2021, kami sudah berhasil menurunkan emisi scope 1 sebesar 11,53%. Penurunan emisi ini bisa semakin besar di tahun-tahun berikutnya,” masih menurut Leonardus.

baca juga : Bagaimana Nasib Kawasan Mangrove Teluk Balikpapan Kala Ada IKN Nusantara?

 

Pengunjung yang berfoto dengan latar mangrove Kuala Langsa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Restorasi Baik, Tapi Perlindungan Lebih Penting

Lebih baik mencegah daripada mengobati. Peribahasa ini juga relevan dalam topik-topik terkait keberlanjutan ekosistem mangrove. Mengingat, program-program restorasi mangrove memiliki ongkos yang besar, pertumbuhan yang membutuhkan waktu, serta tingkat keberhasilan yang bersifat mungkin, maka melindungi ekosistem mangrove yang masih sehat merupakan pilihan terbaik.

Prof. Dr. Daniel Murdiyarso, Akademisi Institut Pertanian Bogor menerangkan, restorasi harus diikuti kewajiban melakukan konservasi. Keduanya harus berjalan seiring, tidak boleh terpisah satu dengan lainnya.

Dia mencontohkan, program penanaman mangrove tidak akan memberi carbon benefit yang besar dan cepat. Mangrove yang baru ditanam, misalnya, hingga 5 tahun setelahnya hanya memiliki kemampuan menyerap karbon yang sedikit. Sehingga, upaya menjaga mangrove yang masih utuh merupakan kebijakan dan tindakan yang harus jadi prioritas.

“Saya ingin kontraskan antara restorasi dan konservasi. Jadi penting melakukan konservasi hutan mangrove yang ada sambil melakukan restorasi hutan yang rusak. Restorasi penting, tapi konservasi jauh lebih penting bahkan dengan biaya yang lebih rendah,” kata Daniel.

Ekosistem mangrove memiliki peranan yang besar dalam mengadaptasikan ekosistem terhadap perubahan iklim. Ia menyimpan karbon 3-5 kali lebih besar dari hutan daratan. Jumlahnya diperkirakan antara 1600-2000 ton per hektar, sedangkan hutan daratan hanya 300-350 ton per hektar.

Menurut Daniel, saat ini mangrove Indonesia menyimpan sekitar tiga miliar ton emisi, yang 80%-nya tersimpan di dalam tanah. Dengan laju kerusakan sekitar 6%, persentase yang tampak kecil, namun emisi yang dilepas akibat kerusakan tersebut mencapai 200 juta ton atau setara 30% emisi terestrial. Sehingga, upaya konservasi mangrove merupakan cara untuk menghindari lepasnya emisi terestrial sebesar 30% sekaligus mengkonservasi 80% karbon di bawah tanah.

“Kalau kita bisa menghindari emisi sebesar 200 juta ton, itu sama dengan sekitar 40 juta emisi dari mobil per tahun. Jadi kita bisa bayangkan, kalau investor di bidang transportasi, energi, sebesar itulah yang bisa kita lakukan untuk mangrove, kalau kita bisa menghindari emisi atau deforestasi mangrove,” ujar Daniel.

baca juga : Bekantan, Monyet Belanda yang Menyukai Hutan Mangrove

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Agus Justianto, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK menjelaskan, restorasi mangrove menjadi salah satu solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam mendukung upaya pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca.

Pada 2020 lalu, kegiatan perlindungan ekosistem pesisir telah menjadi kegiatan strategis dalam proses pemulihan selama masa pandemi COVID-19, antara lain berupa kegiatan padat karya penanaman mangrove di 34 provinsi di Indonesia.

“Saat ini, mangrove belum masuk ke dalam penghitungan target di bawah NDC (Nationally Determined Contribution). Memperhatikan ekosistem mangrove yang luas, maka pengelolaan ekosistem mangrove dapat menjadi potensial dalam mendukung aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia,” kata Agus.

Indonesia merupakan negara dengan ekosistem mangrove terbesar di dunia. Data One Map Mangrove Indonesia menyebut luasannya 3,3 juta hektar, yang mencakup 20% total luasan mangrove dunia. Dari luasan tersebut, hutan mangrove mengandung karbon lima kali lebih besar dari penyimpanan karbon di hutan daratan.

Mitigasi perubahan iklim disebut akan semakin efektif jika pengembangan karbon hijau dari hutan dapat diikuti dengan pengelolaan dan pemanfaatan karbon biru dengan baik. “Sebab, karbon biru tersimpan dalam jangka waktu yang lebih lama jika dibanding karbon hijau dari hutan,” pungkas Agus Justianto.

 

Exit mobile version