Mongabay.co.id

Menjaga Ikan Endemik dari Perairan Banggai

Banggai Cardinal Fish atau ikan capungan banggai. Foto: Dok. Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Banggai Cardinal Fish (BCF) atau ikan capungan Banggai (Pterapogon kauderni) adalah salah satu ikan endemik yang dimiliki Indonesia saat ini. Habitat biota laut tersebut paling banyak ditemukan di sekitar perairan laut Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Ikan tersebut bernilai ekonomi tinggi karena dijadikan menjadi ikan hias dan banyak dicari oleh para pecinta ikan hiasa, dari dalam maupun luar negeri. Permintaan tinggi yang terus meningkat setiap waktunya, memicu penangkapan ikan tersebut secara berlebih di alam.

Jika terus dibiarkan aktivitas dengan cara eksploitasi tersebut, maka dikhawatirkan populasi di alam akan terus menurun dan terancam akan punah di kemudian hari. Untuk itu, Pemerintah Indonesia bekerja keras untuk mempertahankan populasi ikan endemik tersebut saat ini.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKHL KKP) M Firdaus Agung Kunto belum lama ini mengatakan bahwa satu-satunya cara agar ikan tersebut tetap terlindungi adalah dengan melaksanakan rencana aksi nasional (RAN).

Sejak 2017 hingga 2021, KKP menerapkan RAN Konservasi Ikan Capungan Banggai ditetapkan yang bertujuan agar ikan tersebut bisa lebih terintegrasi dan terukur. Kemudian, RAN dilanjutkan untuk periode 2022-2026 yang dokumennya masih disusun saat ini oleh KKP.

Dokumen tersebut disusun sebagai pedoman bagi kementerian dan lembaga (K/L) atau pemerintah daerah saat akan membuat perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program konservasi ikan tersebut.

“Saat ini KKP kembali menyusun rencana aksi periode kedua dengan jangka waktu 2022-2026, sebagai bentuk evaluasi dari pengelolaan lima tahun sebelumnya, sekaligus menjadi pedoman untuk konservasi ikan Capungan Banggai selama 5 tahun mendatang,” ungkapnya.

baca : Banggai Cardinal Fish, Si Cantik dan Endemik Sulawesi

 

Acara penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Ikan Capungan Banggai Tahun 2022-2026 yang dilakukan oleh Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP dan dihadiri oleh Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ma’mun Amir (tengah). Foto : KKP

 

Pentingnya membuat dan melaksanakan RAN, karena memang ikan capungan Banggai adalah ikan endemik yang hanya bisa ditemukan di perairan Banggai saja. Untuk itu, mengendalikan populasi menjadi sesuatu yang penting dan menjadi bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia.

Menurut Firdaus, melalui penerapan RAN juga menjadi penegas bahwa konservasi ikan endemik tersebut untuk saat ini harus berjalan tanpa bantuan dari lembaga internasional, khususnya Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES).

Kepada CITES, KKP mengakui sudah beberapa kali mengusulkan ikan capungan Banggai agar bisa dimasukkan ke dalam daftar Appendix II atau daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, namun mungkin terancam jika perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan.

Spesifik, dia menyebut kalau ikan tersebut memang ikan hias air laut endemik Indonesia yang ditemukan pertama kali di perairan laut Pulau Banggai. Penyebaran endemiknya sangat terbatas dan sebagian besar berada di perairan Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut.

Ikan tersebut diketahui memiliki populasi dengan jumlah yang relatif sedikit. Oleh karena itu, KKP kemudian menetapkan ikan capungan Banggai sebagai jenis ikan yang dilindungi terbatas, agar keberlanjutan sumber daya di alam bisa tetap terjaga dengan baik.

“Itu menjadikan habitatnya sebagai Kawasan Konservasi Daerah dan ikannya menjadi maskot ikan hias nasional,” tutur dia.

baca juga : Banggai Cardinal Jadi Ikan dengan Perlindungan Terbatas di Indonesia

 

ikan capungan Banggai atau Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni). Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Pembudidayaan Capungan Banggai

Selain melalui RAN yang sudah berjalan sejak 2017, upaya untuk melindungi sumber daya ikan capungan Banggai juga dilakukan KKP dengan melakukan pengembangan produksi ikan tersebut secara massal melalui penggunaan teknologi modern yang mudah diterapkan.

Pengembangan tersebut dilaksanakan oleh Balai Perikanan Budi daya Air Laut (BPBL) Ambon di Ambon, Maluku. Upaya perekayasaan ikan tersebut diharapkan bisa ikut mengatasi persoalan yang terus berlangsung hingga sekarang.

Ihwal penurunan populasi ikan capungan Banggai, terjadi karena dalam beberapa dekade terakhir nama ikan tersebut popularitasnya terus meroket sebagai ikan hias. Bahkan, di Amerika Utara banyak perburuan ikan tersebut yang dilakukan oleh para pecinta ikan hias.

Tentu saja, animo yang tinggi tersebut memicu permintaan ikan tersebut dengan jumlah yang tinggi. Proses tersebut harus melibatkan Indonesia, karena hanya di negara tersebut ikan Capungan Banggai berkembang dengan baik.

Sementara di saat yang sama, fakta berbicara bahwa belum banyak lembaga yang berhasil melakukan budi daya ikan tersebut. Itu berarti, pasokan untuk memenuhi permintaan ikan tersebut masih harus bergantung pada alam.

Akhirnya, agar eksploitasi tidak semakin tak terkendali, KKP menetapkan status ikan tersebut dengan dilindungi terbatas melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Capungan Banggai (Pterapogon Kauderni).

Pada Kepmen tersebut, dijelaskan bahwa perlindungan dilakukan secara terbatas berdasarkan tempat dan waktu. Detailnya, ikan capungan Banggai mencapai puncak musim pemijahan pada Februari-Maret dan Oktober-November, dan hanya berlaku di wilayah Banggai dan kepulauan saja.

Penentuan waktu tersebut ditetapkan setelah KKP menerima rekomendasi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Riset Sumber daya Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP.

baca juga : Banggai Cardinal Fish, Masa Depan Masyarakat Bone Baru

 

Aquarium berisi budidaya ikan capungan banggai ini dibududayakan oleh kelompok BCF Lestari. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pada 2007, Peneliti Ekologi dan Biologi Ikan Karang dari Pusat Riset Oseanografi BRIN Petrus Christianus Makatipu menyebutkan kalau ikan tersebut memiliki bentuk badan yang tinggi, bulat pipih; mulut besar, sampai melewati garis vertikal pertengahan pupil, memiliki dua sirip punggung (dorsal fin) yang panjang dan indah.

Paparan dia yang diterbitkan Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007, menjelaskan kalau ikan Capungan Banggai pertama kali diidentifikasi oleh F.P. Koumans pada 1993, dari dua individu yang dikoleksi dari Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Selain dia, identifikasi tersebut juga dilakukan oleh Allen & Steene pada 1995.

 

Sebaran Terbatas

Mengingat lokasi yang sangat terbatas, ikan Capungan Banggai hingga sekarang belum banyak dikenali oleh nelayan secara umum. Namun, berkat penemuan Koumans, nama ikan tersebut terus meroket karena memiliki ciri fisik yang indah, dan menyerupai capung.

Namun, selain di perairan sekitar Banggai dan kepulauan, habitat ikan Capungan Banggai juga ditemukan di sekitar perairan Selat Lembeh di Sulawesi Utara. Temuan itu merupakan hasil pengamatan yang dilakukan Petrus Makatipu.

Agar pemanfaatan bisa berjalan dengan lestari, dia memaparkan sejumlah prinsip yang harus diterapkan oleh semua pihak yang berkaitan. Di antaranya, harus mengetahui stok alami ikan tersebut yang ada di alam.

Kemudian, pengambilan harus disesuaikan dengan kemampuan recruitment populasi ikan (pemberlakuan kuota); pengambilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan atau habitatnya.

Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan yang boleh diperdagangkan, agar memberi kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi; Apabila dalam pengambilan ditemukan ikan dengan kondisi gonad yang sudah matang (TKG III dan IV) serta ikan jantan yang sedang mengerami telur di mulut, maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut harus dikembalikan ke alam.

Perizinan, meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi; dan pemantauan di lapangan perlu dilakukan secara periodik untuk mengetahui stok alami untuk mendukung informasi dalam penentuan kuota.

perlu dibaca : Menyelamatkan Ikan Endemik Asli Indonesia dari Ancaman Kepunahan

 

Ikan capungan banggai atau Banggai Cardinal Fish yang menjadi harapan masa depan masyarakat • Desa Bone Baru, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pejabat Fungsional Ekosistem Laut dan Pesisir Ahli Utama Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Andi Rusandi pernah mengatakan bahwa ikan capungan Banggai biasanya hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon.

Untuk itu, dalam melakukan konservasi, perlu dilakukan secara terintegrasi dan secara menyeluruh. Dengan demikian, perlindungan dan pemanfaatan ikan tersebut bisa dilakukan secara bersamaan dan tetap dalam koridor yang aman.

“Paling penting, harus ada juga perlindungan mikrohabitat ikan capungan Banggai melalui pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah,” tegasnya.

Salah satu dukungan yang penting untuk dilakukan dalam melaksanakan konservasi ikan tersebut adalah keterlibatan pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Laut, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

“Keterlibatan mereka, akan berdampak besar pada proses konservasi yang akan dan sudah dilakukan,” tambah dia.

Di sisi lain, walau CITES masih belum memasukkan ikan Capungan Banggai ke dalam daftar Appendix II, namun Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) sudah memasukkan ikan tersebut ke dalam daftar merah (red list) dengan kategori spesies terancam punah.

Kemudian, pada konferensi para pihak (conference of parties/COP) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ke-17, Indonesia diwajibkan untuk melaksanakan konservasi dan pengelolaan ikan Capungan Banggai.

Tujuannya, adalah untuk memastikan perdagangan internasional mempertimbangkan prinsip yang berkelanjutan serta melaporkan kemajuan dari upaya yang telah dilakukan pada pertemuan ke-30 Animal Committee CITES, pada 2018.

Sebagai ikan endemik, Capungan Banggai diketahui memiliki jangkauan yang sangat terbatas dalam suatu wilayah geografis. Diperkirakan, ikan tersebut hanya bisa mencapai 5.500 kilometer persegi dengan total populasi kecil diperkirakan tak lebih dari 2,4 juta ekor.

Namun meski endemik, akibat pelepasan pada jalur pedagangan sebagai ikan hias, populasi introduksi ikan tersebut dapat ditemukan di lokasi lainnya. Tetapi, ikan capungan Banggai di kepulauan Banggai memiliki struktur genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas, dibanding jenis di luar kepulauan Banggai.

baca juga : Sungai-sungai di Jawa Sakit, Ikan Endemik Punah Perlahan

 

Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni), ikan laut yang dinamakan dari Pulau Banggai, Sulawesi Tengah. Terlihat anakan ikan dalam mulut indukannya. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selain ikan Capungan Banggai, upaya pelestarian juga dilakukan pada ikan endemik yang ada di Waduk Jatibarang, Jawa Tengah. Selain bertujuan untuk keberlanjutan sumber daya, pelestarian juga diharapkan bisa mewujudkan ketahanan pangan dan pemenuhan akan kebutuhan protein hewani.

Direktur Perikanan Budi daya KKP Tb Haeru Rahayu menjelaskan bahwa pelestarian ikan endemik di waduk Jatibarang menjadi bentuk implementasi ekonomi biru, sekaligus pengelolaan perairan umum untuk menghasilkan komoditasn perikanan bernilai ekonomi tinggi, dan disukai masyarakat.

“Salah satu manfaat pengelolaan perairan umum adalah menjaga keberlanjutan ekosistem waduk,” ungkap dia.

Mengutip Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), kebutuhan protein dunia diprediksi akan meningkat hingga 70 persen pada 2050. Prediksi itu muncul seiring dengan lonjakan pertumbuhan populasi dunia.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam berbagai kesempatan mengatakan, salah satu dari lima program ekonomi biru yang akan dilaksanakan adalah pengembangan budi daya laut, pesisir dan tawar.

Selain fokus pada keseimbangan antara lingkungan dan ekonomi, program ekonomi biru di subsektor perikanan budi daya juga dimaksudkan untuk mencegah kepunahan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi.

 

Exit mobile version