Mongabay.co.id

Ekonomi Biru, Berjuang untuk Besar di Laut

 

Laut Arafura adalah panggung utama untuk penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota. Kebijakan tersebut menjadi aplikasi dari program lebih besar yang berjalan saat ini, yaitu ekonomi biru. Kedua program tersebut berjalan secara bersamaan nantinya.

Potensi besar pada sumber daya perikanan di kawasan perairan tersebut, sejak lama sudah memikat para pemilik kapal perikanan untuk berlayar menangkap ikan di sana. Namun, seiring akan diterapkan kebijakan penangkapan terukur, maka pengelolaan harus dilakukan dengan ketat.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah dengan melanjutkan program Arafura-Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2). Program tersebut menjadi bagian dari upaya mewujudkan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP I Nyoman Radiarta menyebut kalau ATSEA 2 memiliki tujuan besar, yaitu untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di wilayah laut Arafura dan Laut Timor.

Tujuan tersebut menjadi bagian dari upaya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui restorasi, konservasi, serta pengelolaan berkelanjutan ekosistem laut dan pesisir. Upaya tersebut harus dilakukan, karena produktivitas kedua perairan laut tersebut adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia.

“Pengelolaan dilakukan untuk memastikan berjalannya konsep kedaulatan, keberlanjutan, dan kemakmuran masyarakat pesisir di kawasan perbatasan serta pulau terluar dan terdepan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

baca :  Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Kepala BRSDM KP KKP I Nyoman Radiarta menjelaskan tentang berlanjutnya program Arafura-Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2). Foto : KKP

 

Untuk melaksanakan program ATSEA-2, KKP menggandeng Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dengan pendanaan berasal dari Global Environment Facility (GEF).

Dia menaruh harapan agar ATSEA-2 bisa berkontribusi dalam pengelolaan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan di Laut Arafura dan Laut Timor. Itu sejalan dengan kebijakan dan berbagai program prioritas KKP, termasuk penangkapan ikan terukur berbasis kuota.

I Nyoman Radiarta mengatakan, ada tantangan yang harus dihadapi dalam mengelola kelautan dan perikanan di kawasan perairan laut Arafura dan laut Timor. Contohnya saja, bagaimana disparitas pembangunan masih terus terjadi sampai sekarang.

Kemudian, dua kawasan perairan tersebut juga memerlukan perhatian lebih dari banyak pihak, karena kesejahteraan dan kapasitas masyarakat di sekitarnya masih harus terus ditingkatkan. Juga, karena di sana masih ada isu gender dan lintas batas, dan keseimbangan ekonomi dan ekologi yang belum terwujud.

“Masih banyak yang harus dijawab untuk banyak isu di sana,” tutur dia.

Sebelum berlanjut ke tahap dua, program ATSEA sudah berjalan pada tahap pertama yang dimulai sejak 1 Februari 2019. Itu berarti, pelaksanaan pada tahap kedua yang dimulai pada 2022 ini menjadi pelaksanaan tahun keempat.

Seperti halnya pada tahap pertama, pelaksanaan tahap kedua juga dilakukan dengan mengintegrasikan dan mengakselerasi berbagai program yang berjalan di Indonesia dengan program yang berjalan di tingkat internasional.

Upaya tersebut dilakukan agar program bisa mencapai target yang sudah ditetapkan, di antaranya adalah melaksanakan pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan upaya restorasi dan keberlanjutan perikanan.

Lalu, melaksanakan pengarusutamaan gender dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan pesisir; melaksanakan restorasi sumber daya dan habitat terdegradasi untuk penyediaan jasa ekosistem yang berkelanjutan; dan melaksanakan mitigasi pencemaran laut.

Selain itu, target juga mencakup perlindungan spesies laut penting; melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim; serta melaksanakan penguatan tata kelola sumber daya di wilayah laut Arafura dan laut Timor.

baca juga :  Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Sebuah kapal penangkap ikan di perairan Flores, NTT. Foto : shutterstock

 

Direktur Proyek Nasional ATSEA-2 Yayan Hikmayani menjelaskan bahwa program lanjutan tersebut memiliki tiga fokus area prioritas sebagai daerah yang diintervensi. Ketiganya adalah Kabupaten Rote (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Kepulauan Aru (Maluku), dan Kabupaten Merauke (Papua).

“Di lokasi-lokasi tersebut sudah dilaksanakan berbagai program dan kegiatan yang mendapat dukungan langsung dari pemerintah daerah, dan juga sejumlah stakeholder lainnya,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Perikanan KKP itu.

Dalam menjalankan kegiatan, program ATSEA-2 juga melakukan identifikasi terlebih dahulu apa saja kegiatan yang bisa dilakukan replikasi dan bersinergi dengan baik. Termasuk, kegiatan yang akan berjalan pada 2023 mendatang.

Identifikasi menjadi penting, agar kegiatan yang dilaksanakan bisa bersinergi dengan pengelolaan kelautan dan perikanan, mencakup pengelolaan kawasan konservasi, finalisasi kelembagaan, dan pelaksanaan kegiatan berbasis kesetaraan gender.

Selain itu, agar bisa mendukung juga peningkatan kapasitas masyarakat melalui kegiatan peningkatan pemahaman dan kesadaran dengan mekanisme yang mudah dipahami. Serta melalui pelatihan yang memerlukan koordinasi dan dukungan dari para pemangku kepentingan yang ada.

Kepala Unit Lingkungan UNDP Indonesia Aretha Aprilia pada kesempatan yang sama mengungkapkan kalau pengelolaan secara bersama di laut Arafura dan laut Timor, akan menjadi contoh untuk pembangunan berkelanjutan pada sektor kelautan dan perikanan nasional.

baca juga : Ekonomi Biru untuk Menjaga Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Sinergi Bersama

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan sebelumnya juga selalu berkampanye tentang penerapan ekonomi biru di Indonesia. Dia yakin kalau penerapan itu menjadi acuan utama untuk menjadikan laut Indonesia berkelanjutan.

Dengan demikian, diharapkan semua kegiatan yang ada di laut bisa ikut mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat maupun nasional. Namun, dia menyebut kalau harapan tersebut bisa tercapai jika ada sinergi dengan berbagai pihak.

Selain melalui banyak program kegiatan, penerapan program ekonomi biru juga dilakukan KKP melalui pengawasan laut yang terintegrasi. Kegiatan yang memanfaatkan infrastruktur teknologi itu, diharapkan bisa mengawal kegiatan yang menjadi implementasi program ekonomi biru.

Infrastruktur bernama “Integrated Maritime Intelligent Platform” itu tak hanya menyediakan layanan pemantauan kapal perikanan saja. Namun juga, menyediakan berbagai informasi spasial tematik untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan bijak.

Sebut saja, sebaran dan luasan wilayah konservasi, sebaran tambak, sebaran dan luasan mangrove dan terumbu karang, sebaran alur kabel dan pipa bawah laut, sebaran siswa pendidikan vokasi kelautan dan perikanan, sebaran penyuluh kelautan, sebaran unit pengolahan ikan, data pelabuhan perikanan, dan data penunjang lainnya.

Menurut Trenggono, kebijakan pengelolaan perikanan yang efisien dan lestari akan memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha dan sekaligus akan meningkatkan penerimaan negara, serta mendorong kesejahteraan dan kehidupan sosial masyarakat nelayan menjadi lebih baik.

Dia menambahkan, pembangunan infrastruktur tersebut menjadi media integrasi yang menampung seluruh data dan informasi di KKP, sekaligus menjadi pusat komando untuk merespon kejadian ataupun sebagai alat pengambilan kebijakan dan keputusan.

Saat ini, KKP tengah menyiapkan peta jalan ekonomi biru untuk sepanjang masa yang dituangkan dalam lima program prioritas. Peta jalan dibuat untuk memastikan laut tetap sehat dan populasi biota perikanan tetap terjaga dengan baik.

“Itu untuk menjaga keseimbangan alam laut demi kelangsungan hidup generasi berikutnya,” terang dia.

baca juga : Komitmen Indonesia untuk Ekonomi Biru dalam Perikanan Budidaya

 

 

Dia menyebut kalau penyiapan teknologi akan fokus pada pengintegrasian seluruh sistem informasi yang ada di KKP, infrastruktur, data satelit dan penyiapan sumber daya manusia (SDM), serta sistem pengawasan.

Namun di masa mendatang, platform ini disiapkan untuk bisa mendukung pengawasan aktivitas pemanfaatan ruang laut, yang menjadi dasar bagi KKP untuk setiap pengambilan kebijakan. Dengan demikian, infrastuktur teknologi untuk pengawasan tersebut bisa bermanfaat tak terbatas.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan tanggapannya tentang “Integrated Maritime Intelligent Platform”. Dia meyakini kalau infrastruktur teknologi tersebut akan menjaga kesehatan laut dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dia bilang, kehadiran infrastruktur tersebut juga akan membawa perubahan pada keberlanjutan ekosistem kelautan; pemberantasan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan menyalahi aturan (IUUF); dan kedaulatan Negara.

“Juga, akan berdampak pada peningkatan pendapatan Negara melalui penerimaan Negara bukan pajak sektor kelautan dan perikanan,” ucap dia.

Harapan semua yang dijabarkan oleh dia, bisa terwujud jika ada koordinasi yang kuat dan terintegrasi dengan lembaga lain seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI.

Pengawasan yang terintegrasi juga menjadi kunci, karena Indonesia diberkahi dengan laut seluas 6,4 juta kilometer persegi (km2) dan berada pada posisi yang sangat menguntungkan. Namun, kekayaan tersebut perlu diimbangi dengan pengetahuan untuk mengelolanya dengan baik.

Berdasar pada perspektif ekonomi, jika sumber daya kelautan dan perikanan dikelola dengan baik, maka akan bisa menyumbang lebih dari enam persen pada produk domestik bruto (PDB) nasional. Juga, akan bisa menyumbang 50 persen asupan protein laut untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

“Selain itu, sebanyak empat juta orang juga akan mendapatkan manfaat berupa pekerjaan,” tambah dia.

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu, Perencana Senior Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf memaparkan tentang potensi ekonomi biru untuk memberikan transformasi dan diversifikasi ekonomi nasional.

Dia menyebut kalau ekonomi biru bisa berkontribusi dalam mewujudkan solusi terhadap dampak perubahan iklim di sektor kelautan, melalui pembangunan kelautan rendah karbon, wisata laut berkelanjutan, dan pengembangan energi laut.

Detailnya, dia menjelaskan kalau konteks ekonomi biru adalah mencakup pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya non terrestrial atau daratan dalam kerangka ekonomi hijau. Konteks itu disebutkan dalam Kerangka Kerja Pembangunan Ekonomi Biru dari Bappenas.

Dengan kata lain, ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghidupan, dan lapangan kerja secara berkelanjutan untuk menjaga kelestarian ekosistem di laut dan pesisir.

Gellwynn menyebut kalau pembangunan dengan prinsip ekonomi biru masih menjadi sesuatu yang baru di Indonesia. Masih butuh peningkatan pemahaman dan kesadaran di semua lapisan masyarakat tentang prinsip ekonomi biru dalam pembangunan nasional dan daerah.

Fakta tersebut menjadi tantangan yang harus bisa diperbaiki, sehingga akan berpengaruh pada PDB nasional. Selama lima tahun terakhir, kontribusi ekonomi biru pada PDB nasional masih rendah dan hanya mencapai 3,6 persen saja, itu pun didominasi oleh perikanan.

Di lain pihak, ekonomi biru juga masih lambat perkembangannya, karena skema pendanaannya juga di Indonesia masih kekurangan sumber daya. Fakta tersebut menyebabkan minat untuk berinvestasi pada kelautan masih rendah jika dibandingkan dengan daratan.

Dia mengatakan kalau semua investasi yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 14 tentang kehidupan bawah air, sampai saat ini masih menjadi yang terkecil jika dibandingkan dengan investasi yang sejalan dengan poin lain SDGs.

“Ekonomi biru diharapkan dapat berkontribusi hingga 12,5 persen terhadap PDB nasional pada 2045 mendatang,” tegas dia saat menjadi pembicara utama dalam kegiatan yang diselenggarakan secara daring bertajuk “Sustainable Blue Finance”.

 

 

Exit mobile version