Mongabay.co.id

Kala Masyarakat Adat Gugat Aturan Nilai Ekonomi Karbon

 

 

 

Surti Handayani baru saja keluar dari gedung pendaftaran perkara Mahkamah Agung, 28 September lalu. Tangan kanannya menggoyang-goyangkan kertas putih. Rekan-rekannya yang menunggu di bawah tangga gedung merespons dengan sorakan.

“Sudah selesai!” katanya.

Sore itu, Surti dan pengacara di Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) secara resmi mengajukan gugatan pada Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Para pengacara masyarakat adat ini mewakili beberapa masyarakat adat yang menjadi pemohonnya, yakni, Dulhani, tokoh Adat Kasepuhan Cibarani dan Wahid dari Kasepuhan Karang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, selaku persekutuan masyarakat adat, diwakili Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN juga ikut mengajukan permohonan.

Surti selaku Manager Pemantauan dan Pendokumentasian PPMAN bertindak sebagai tim kuasa hukum penggugat. Menurut dia, gugatan di MA merupakan bentuk perjuangan atas perpres yang mengancam masyarakat dan wilayah adat mereka.

“Mulai dari proses hingga pasal ke pasal, perpres ini mengesampingkan masyarakat adat,” katanya.

Dari proses penyusunan, katanya, tak ada pelibatan dan sosialisasi pada masyarakat adat. Padahal, karbon yang akan jadi komoditas jual beli berada di kawasan hutan yang selama ini selalu dijaga masyarakat adat.

Kalau mengacu pada proses yang baik, kata Surti, seharusnya ada partisipasi yang berarti atau persetujuan sesungguhnya. “Itu salah satu term yang menyatakan apapun produk regulasi atau pembangunan di wilayah adat harus mematuhi itu,” kata Surti.

Pada pasal per pasal dalam perpres pasar karbon ini tidak termaktub spesifik masyarakat adat sebagai pihak yang terlibat di pasar karbon. Yang ada hanya pemerintah, swasta dan masyarakat.

Belum lagi, katanya, karbon yang masuk dalam mekanisme perdagangan bukan hanya ada di hutan, melainkan di laut dan pesisir seperti terumbu karang, atau mangrove yang masuk konsep karbon biru (blue carbon). “Itu adalah wilayah adat juga yang bisa terdampak perpres ini. Maka kami masukkan konstruksi ini dalam gugatan.”

 

PPMAN setelah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung atas aturan Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Foto: AMAN

 

Bahaya green land grabbing

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang hadir dalam mengawal proses penyerahan gugatan di Mahkamah Agung mengatakan, Perpres 98/2021 sebagai upaya pemerintah dalam mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU/X/2012 (MK35). Karena pola pikir yang dibangun dalam perpres ini adalah hak atas karbon merupakan penguasaan karbon oleh negara.

Sementara, banyak karbon berada di dalam kawasan hutan yang merupakan tempat tinggal atau hak ulayat masyarakat adat. “Karbon itu ada di hutan, dalam hal ini hutan adat,” kata Rukka.

Data dari Badan Registrasi WIlayah Adat (BRWA), 60% dari peta wilayah adat adalah kawasan hutan. BRWA secara menyeluruh mendata kawasan adat hingga 20 juta hektar lebih. Dari segitu, baru 75.000-an hektar wilayah adat yang mendapatkan penetapan sebagai hutan adat.

“Walaupun sudah diakui, bisa kena imbas perpres ini kalau wilayah itu memiliki karbon.”

Kondisi ini, katanya, salah satu upaya perampasan wilayah adat atas nama keberlanjutan (sustainability) atau green land grabbing. Padahal, mekanisme pasar karbon dia nilai sebagai solusi palsu mitigasi perubahan iklim.

Kalau mau melihat mitigasi yang baik terhadap perubahan iklim, seharusnya seluruh pihak mempercayakan pengelolaan kawasan hutan dengan potensi karbon yang tinggi pada masyarakat adat. Dia bilang, sudah bergitu banyak contoh kesuksesan atau praktik-praktik masyarakat adat yang bisa jadi acuan.

PPMAN mencatat, antara lain praktik terbaik oleh masyarakat adat seperti di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat dengan luas masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

Hutan adat di sana juga memilki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi hingga ekonomi yang sudah dirawat masyarakat adat secara turun temurun. Pengakuan atas hal itu juga telah dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK35).

Dalam Perpres 98/2021 ini, negara justru akan mengambil hak karbon masyarakat yang sudah menjaga bertahun-tahun dan memberikan itu kepada para perusahaan pembuat emisi. “Perpres ini memungkinkan hutan terbaik itu diklaim negara, bukan hak masyarakat adat yang mengusahakannya,” katanya.

Peraturan ini juga mengancam kebebasan masyarakat adat di hutan mereka sendiri. Bukan tak mungkin hutan yang memiliki nilai karbon tinggi akan dilindungi dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan hingga masyarakat tidak bisa beraktivitas bebas di sana.

Kondisi ini, kata Rukka berawal dari keras kepalanya negara untuk tak menjalankan Putusan MK35 dan menerbitkan Undang-undang perlindungan bagi masyarakat adat.

Dia meminta perpres ini dibatalkan dan mendesak pemerintah maupun DPR menjamin kepastian hukum masyarakat adat.

Setelah UU Cipta Kerja, sebagai produk hukum yang akan membuat masyarakat adat makin terjepit lahir, pengakuan masyarakat adat yang komprehensif dan terintegrasi harus segera dibuat.

Muhammad Arman, kuasa hukum dari PPMAN mengatakan, hak atas karbon tak bisa terpisahkan dari hak atas tanah dan pohon yang menghasilkannya. Dengan demikian, hak atas karbon harus juga dimiliki masyarakat adat sebagai pemegang hak atas tanah adat dan ulayat.

 

PPMAN sedang menyerahkan gugatan dari masyarakat adat soal NEK pada penghujung September lalu. Foto: AMAN

 

Masyarakat yang dirugikan

Selain masyarakat adat, masyarakat umum pun sebenarnya dirugikan lewat perpres ini. Dalam Pasal 1 ayat 24 dikatakan kalau negara bisa memberikan pungutan karbon pada barang atau jasa yang memiliki potensi menghasilkan jejak karbon.

Pungutan itu akan dibayar setiap konsumen yang membeli barang atau jasa. “Ini yang tidak kita cermati, seharusnya yang membayar itu adalah para penghasil emisi bukan masyarakat,” kata Rukka.

Sementara itu, mekanisme pasar karbon dan carbon offset, kata Arman, justru memberikan impunitas bagi para perusahaan yang menghasilkan karbon. Secara sederhana, mereka yang menghasilkan karbon dalam jumlah tinggi bisa dapat pengampunan dosa kalau membeli karbon dari wilayah lain.

Sedang masyarakat, dipaksa membayar pajak pungutan karbon sebagaimana yang terdapat di dalam UU Harmonisasi Perpajakan. “Mereka yang diberikan keistimewaan untuk cuci dosa. Kita disuruh bayar pajaknya.”

 

Ini hutan adat Kinipan, yang dijaga oleh masyarakat adat tetapi dibabat oleh perusahaan yang akan jadikan itu kebun sawit atas izin dari pemerintah. Foto: SAve Kinipan

 

*******

 

Exit mobile version