Mongabay.co.id

Saatnya Manfaatkan Kekayaan Sumber Pangan Nusantara

 

 

 

 

PBB pada 2019 merilis data bencana kelaparan terus meningkat di Asia, mencapai 57 juta jiwa, di Afrika berdampak pada 46 juta jiwa, dan lebih 14 juta jiwa di Amerika Latim dan Karibia. Indonesia punya keragaman sumber pangan begitu kaya, semestinya bisa menghadapi kemungkinan terjadi kerawanan pangan.

Arief Prasetyo Adi, Kepala Badan Pangan Nasional, mengatakan, dari peta ketahanan dan kerawanan pangan 2021, masih ada 74 kabupaten dan kota di Indonesia rentan dan rawan pangan, sekitar 14%. Rawan pangan itu, katanya, terkonsentrasi di Pulau Papua, sebagian Maluku, dan sebagian kecil Nusa Tenggara, Kalimantan, serta Sumatera.

Penyebab utama kerentanan pangan adalah persentase penduduk miskin yang tinggi, sementara neraca pangan di wilayah itu defisit.

Data di Indonesia menunjukkan persentase populasi yang mengonsumsi kalori kurang untuk hidup sehat dan tetap aktif sesuai standar minimum yaitu 2100 kkal per kapita per hari atau prevelance of undernourishment (PoU) cenderung meningkat. Pada 2019, angka sampai 7,63%, 8,34% pada 2020, dan 8,49% pada 2021.

Angka PoU 2021– merupakan indikator SDGS kedua–, sebanyak 23,1 penduduk Indonesia, atau 8,49% konsumsi kalori kurang dari standar minimum untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.

“Jumlah itu, meningkat 500.000 jiwa atau 0,15% dibanding 2020,” kata Arief, dalam kuliah umum di Balai Senat UGM, belum lama ini.

 

Jewawut (ba’tang) yang terjaga lewat ritual adat di Enkerang, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto

 

Dia bilang, provinsi dengan PoU tinggi yaitu Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sebaliknya, Pulau Jawa dan Sulawesi berdasarkan peta ketahanan dan kerawanan pangan 2021 masuk kategori sangat tahan.

Kerawanan pangan menurut FAO memiliki empat skala, yaitu, ketidakpastian mendapatkan makanan, mengurangi kualitas dan variasi makanan, mengurangi jumlah makanan dan melewatkan makan, hingga tidak ada makanan untuk satu hari atau lebih.

Arief bilang, satu pilihan dalam menjamin ketahanan pangan nasional adalah dengan meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan lokal. Saat ini, kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia tergolong belum beragam dan aman, lalu keseimbangan gizi rendah.

“Masih didominasi padi-padian, minyak dan lemak, kurangnya konsumsi protein hewani, sayur, buah, serta umbi-umbian.”

Sesungguhnya, kata Arief, Indonesia kaya keanekaragaman hayati, nomor tiga terbesar di dunia. “Ini potensi dapat dikembangkan untuk memaksimalkan keaneka ragaman konsumsi pangan.”

Hayu Dyah Patria, praktisi pangan dan keanekaragaman hayati mengatakan, menemukan 300 jenis tumbuhan liar yang bisa dimakan. Mulai dari sayur, sumber karbohidrat, mineral, maupun vitamin.

“Ada yang berasal dari buah, jamur, umbi, daun, biji, kacang-kacangan. Itu kita belum masuk ke hutan yang terdalam. Itu masih di pinggir hutan, di Taman Nasional Kelimutu,” kata Hayu, dihubungi Mongabay, 10 Oktober lalu.

Bunga suweg bermekaran di Muaro Jambi. Masyarakat sekitar belum memanfaatkan umbi suweg yang bisa diolah jadi bahan pangan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Dengan sumber pangan lokal yang begitu kaya, katanya, risiko krisis pangan di Indonesia seharusnya bisa teratasi.

Ketergantungan kepada bahan pangan impor pun bisa dikurangi. Salah satu tantangan, katanya, pengetahuan masyarakat akan sumber pangan lokal makin hilang.

“Kalau di urban, ketika semua harus dibeli dengan uang, krisis pangan itu nyata. Karena kalau tidak ada uang, orang-orang tidak bisa mendapatkan makanan. Mereka harus ke pasar, bisa juga ke tukang sayur keliling, atau supermarket. Ke pasar itu harus membeli.”

Berbeda dengan mereka di kawasan rural, sebenarnya ada banyak sumber pangan bisa didapatkan tanpa harus membeli. Bahkan, ada banyak tumbuhan liar, tidak tergantung pestisida dan obat-obatan kimia.

 

Popeda, makanan khas Papua dari sagu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Namun, kata Hayu, mereka yang tinggal di rural pun sekarang mulai tergantung dengan makanan-makanan industri, seperti makanan-makanan instan atau siap saji.

Perlahan, katanya, keberagaman pangan di sekitar mereka pun terlupakan. Ketika itu terjadi, krisis pangan akhirnya juga menghantam mereka yang tinggal di wilayah rural.

Dia mengritik keberadaan badan pangan bentukan pemerintah yang masih berfokus pada pemenuhan beras meski punya program penganekaragaman pangan. Sebagai kelanjutan Badan Ketahanan Pangan tujuan utama mencegah penduduk menderita kelaparan.

“Badan Pangan Nasional levelnya masih bicara ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan. Ketahanan pangan itu sekadar orang bisa kenyang, tidak peduli bagaimana caranya untuk kenyang. Yang kemudian mereka lakukan adalah mengenyangkan masyarakat dengan beras,” katanya, seraya bilang, padahal setiap komunitas, atau kampung itu berbeda-beda.

“Tidak semua orang harus kenyang dengan beras.”

 

Syamsir Alamsyah memarkan talas yang ia tanam. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Membicarakan keragaman pangan, kata Hayu, berarti juga membicarakan keragaman karbohidrat, vitamin, dan mineral. “Keragaman karbohidrat kan tidak harus padi. Ada sorgum, jagung, umbi-umbian.”

Sebagai praktisi pangan yang juga meneliti tumbuhan liar, Hayu menerangkan banyak tumbuhan di sekitar yang memiliki gizi tinggi, namun masih dipandang sebelah mata.

Dia contohkan, krokot yang bisa ditemukan di trotoar atau pinggir jalan nutrisi tak jauh berbeda dengan flaxseed yang banyak dicari orang. “Tanaman pegagan itu juga punya gizi tinggi dan banyak di perkotaan.”

Untuk contoh buah liar adalah kersen, ceri, atau talok. Kalau matang rasanya manis, berwarna merah dan berbau harum. Buah kersen juga disukai burung hingga penyebaran lebih sering oleh satwa ini. Buah ini mengandung antioksidan, anti peradangan, dan tiamin.

Rebusan daun singkong dalam wadah dari pelepah pinang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Buah ciplkukan, orang juga menyebutnya, superfood! Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

*****

 

Exit mobile version