Mongabay.co.id

Mengawal Hukum dan Lingkungan Laut Tetap Adil dan Berkelanjutan

 

Seluruh dunia sudah menyepakati bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan keberkahan kekayaan laut yang sulit ditandingi oleh negara lain. Potensi itu menyebar luas dari seluruh provinsi, dari Sabang di Aceh, hingga Merauke di Papua.

Pada 2015, World Wildlife Fund (WWF) sempat mengeluarkan perhitungan tentang potensi ekonomi negara-negara di dunia. Hasilnya, potensi kelautan Indonesia menjadi salah satu yang terbesar, salah satunya berasal dari jalur pelayaran kapal yang disebut sebagai salah satu yang tersibuk di dunia.

Kemudian, Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, sehingga potensi produksi yang ada di kawasan pesisir pantai juga sama besarnya. Potensi lainnya, Indonesia adalah pemilik ekosistem karbon biru (EKB) terluas di dunia. Tentu saja, potensi tersebut berasal dari hutan mangrove dan padang lamun. Semua itu

Berdasarkan laporan yang dirilis WWF tersebut, total potensi aset ekonomi kelautan di dunia sudah mencapai angka USD24 triliun. Angka tersebut bukan nilai yang kecil, dan bahkan bisa mengecilkan kekayaan negara-negara makmur di dunia yang ada sekarang.

Direktur Eksekutif Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa belum lama ini membeberkan fakta bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki ekonomi kelautan terbesar di wilayah ASEAN. Pada 2015, negara ini menghasilkan 67 persen dari total nilai tambah industri kelautan ASEAN.

Tak cuma itu, pada tujuh tahun lalu Indonesia juga menjadi satu-satunya negara yang mampu membukukan dominasi hingga 83 persen dari nilai tambah ekonomi kelautan yang berasal dari dari sektor perikanan.

baca : Transformasi Ekonomi Laut Berkelanjutan untuk Kelestarian Ekosistem Laut

 

Sebuah kapal penangkap ikan di perairan Flores, NTT. Foto : shutterstock

 

Fakta tersebut berbanding terbalik dengan kontribusi negara Asia Pasifik Timur yang hanya berhasil mencatatkan persentase 31 persen saja. Itu berarti, nilai ekonomi kelautan Indonesia sulit untuk ditandingi oleh negara maju sekali pun.

Dia mengatakan, besarnya potensi ekonomi kelautan di Indonesia, bisa dilihat dari rekam jejak pertumbuhan nilai tambah bruto atau gross value added sepanjang periode 2008 hingga 2013. Selama lima tahun, terjadi kenaikan hingga tiga kali lipat dari awalnya hanya USD73 miliar pada 2008, menjadi US256 miliar pada 2013.

“Itu artinya, kontribusi terhadap produk domestik bruto atau GDP naik hingga 28 persen selama periode tersebut,” jelas dia.

Besarnya potensi ekonomi kelautan, terbukti sudah menjadi penopang bagi Indonesia di saat badai krisis moneter berlangsung di benua Asia pada 1997 atau 25 tahun silam. Kekuatan itu mendorong Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan menjadi negara dengan penghasilan menengah ke atas sejak 2019.

Namun demikian, Mas Achmad Santosa mengingatkan bahwa potensi ekonomi kelautan Indonesia bisa saja menyusut jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang. Pasalnya, saat ini laut sedang tidak dalam kondisi yang baik, dan bahkan disebut sedang ada dalam masalah.

Ada empat masalah yang disebut dia saat ini sedang mengintai laut Indonesia. Pertama, adalah perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sudah menjadi permasalahan berlapis di tengah lautan luas.

Kedua, habitat yang ada di laut mengalami kerusakan dan itu memicu penurunan keanekaragaman hayati laut, serta berubahnya sebaran spesies yang ada di dalamnya. Persoalan yang ada tersebut memicu turunannya manfaat yang sebelumnya disediakan oleh ekosistem di laut.

baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Masalah ketiga, terjadinya pencemaran laut yang diakibatkan sampah plastik, limbah yang berasal dari daratan, dan juga pembuangan sampah ataupun limbah dari kapal-kapal yang beroperasi di jalur pelayaran utama.

Terakhir atau keempat, masalah yang membuat laut sedang ada dalam ancaman besar, adalah penangkapan ikan yang berlebihan akan memicu stok ikan di laut mengalami penurunan. Juga, bisa membahayakan satwa laut liar yang ada selama ini.

Keempat masalah tersebut dalam pandangan Mas Achmad Santosa harus segera dicarikan solusi dengan antisipasi yang tepat dan bijak. Jika tidak, itu akan mengancam ekonomi kelautan Indonesia yang potensinya sangat bagus.

Dia merinci, beberapa aktivitas yang bisa mengancam ekonomi kelautan Indonesia, adalah:

  1. Pengelolaan perikanan (fisheries management) belum optimal dalam mendorong perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries);
  2. Penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan menyalahi aturan (IUUF) kapal asing masih marak terjadi;
  3. Masih rendahnya kepatuhan nelayan nasional terhadap prinsip-prinsip dan aturan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan;
  4. Masih terbatasnya pengadaan armada kapal lokal atau domestic fleets yang berukuran di atas 30 gros ton (GT) untuk memenuhi kebutuhan kapal ikan Indonesia yang berjumlah 600.000 unit, di mana 90 persen di antaranya adalah untuk nelayan kecil;
  5. Pengembangan pembangunan pesisir (coastal development) yang merusak ekosistem mangrove dan padang lamun masih terus berlangsung;
  6. Objek pariwisata laut dan pesisir (marine and coastal tourism) ada dalam ancaman, karena terbatasnya infrastruktur dan meningkatnya jumlah pengunjung; dan
  7. Walau secara nasional nilai ekonomi kegiatan kenelayanan meningkat, namun pada wilayah tertentu ditemukan tingginya angka kemiskinan nelayan dan kesenjangan akses terhadap bantuan di daerah yang mayoritas penduduknya nelayan. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) yaitu 15,24 persen dan di Kab Wakatobi (Sulawesi Tenggara) yaitu 14,31 persen.

baca juga : Ekonomi Biru, Berjuang untuk Besar di Laut

 

Seorang penyelam diantara keindahan terumbu karang di perairan di perairan,Raja,Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Agar persoalan di laut bisa dipecahkan, paradigma baru pun dibangun dan disebarluaskan ke seluruh dunia melalui konsep ekonomi kelautan berkelanjutan (SOE) yang berkembang pada 2020. Ringkasnya, ada tiga prinsip SOE yang saat ini dijadikan acuan banyak negara.

Pertama, perlindungan ekosistem laut yang efektif (protect effectively) melalui aksi penurunan emisi, perlindungan habitat pesisir dan keanekaragaman hayati, serta pencegahan dan penanganan polusi laut.

Kedua, melaksanakan produksi/pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan (produce sustainably) melalui ketahanan pangan (food security), energi bersih dan terbarukan (clean and renewable energy), serta investasi yang hemat biaya (highly cost-effective).

Ketiga, penyejahteraan atau pendistribusian manfaat untuk rakyat secara merata (prosper equitably) melalui pembukaan lapangan kerja, pemberdayaan nelayan, penanganan kejahatan di laut, menjaga nilai-nilai budaya (cultural values) dari laut.

Mas Achmad Santosa melanjutkan, prinsip keberlanjutan yang berjalan sekarang harus bisa terus ada dan semakin kuat fondasinya. Generasi mendatang diharapkan tidak kembali terjebak untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hingga mengalami degradasi.

“Paham strong sustainability tidak hanya melihat lingkungan hidup melulu sebagai economic potential, tetapi nilai keberlanjutan bagi fungsi ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, sumber daya alam tidak dapat disubstitusi oleh man-made wealth,” terang dia.

Saat SOE berkembang, kemudian hadir prinsip keadilan biru (blue justice) pada 2021 yang digagas oleh para akademisi dan aktivis lingkungan. Prinsip tersebut ada, karena ada resiko dari ekonomi biru terhadap ketidakadilan sosial maupun lingkungan.

Semua itu akibat praktik pertumbuhan biru (blue growth)/ekonomi biru yang selama ini narasinya sering diartikan sebagai ajakan untuk meningkatkan intensitas eksploitasi sumber daya kelautan. Padahal, industrialisasi dari ekonomi laut hanya memberikan manfaat kepada kelompok pemodal ketimbang kelompok masyarakat marginal.

baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia 

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Biru yang Baru

Dengan latar belakang tersebut, konsep blue new deal kemudian hadir dengan fokus melibatkan aspek perlindungan ekosistem laut, termasuk restorasi, dan pencapaian keadilan sosial secara simultan.

Konsep yang berkembang pada 2022 itu, dalam penilaian Mas Achmad Santosa masih memerlukan pengakuan akan pentingnya aspek sosial, dan budaya untuk memberikan manfaat terhadap kesehatan ekosistem laut.

New deal harus memberdayakan komunitas yang selama ini tidak berdaya untuk memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk menyuarakan aspirasi komunitas marginal pesisir laut,” papar dia.

Di sisi lain, walau ekonomi biru baru berkembang dari 2020, namun perlindungan lingkungan merupakan salah satu tujuan dan pertimbangan utama dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982 atau 40 tahun lalu.

Semua negara anggota UNCLOS berkewajiban untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (Pasal 192), tidak hanya di zona maritimnya, tetapi juga semua zona maritim di mana kapal-kapal benderanya melintas. UNCLOS lebih lanjut mengatur mengenai pencemaran laut yang berasal dari kapal, atmosfer, darat (land-based), dasar laut (seabed), dan dumping.

Direktur Operasional IOJI Fadilla Octaviani mengatakan bahwa keadilan dan hukum di laut juga mencakup tentang resiko hak asasi manusia (HAM) dan pekerja yang ada di sepanjang rantai pasok boga bahari (seafood). Khususnya, resiko terhadap pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP).

Resiko yang harus dihadapi para PMI PP tersebut, mendapat perlindungan hukum dari Pemerintah Indonesia. Namun, sayangnya perlindungan tersebut masih menyisakan persoalan hingga saat ini. Itu yang menyebabkan perlindungan belum optimal bisa berjalan.

Ada persoalan inti yang masih ada sampai sekarang. Di antaranya adalah masih adanya kelemahan instrumen hukum dari level internasional, regional, nasional, dan provinsi. Kemudian, masih tumpang tindih siapa lembaga yang berwenang untuk terlibat dalam isu tersebut.

Masalah inti lain yang masih ada sampai sekarang, adalah sistem yang salah dalam proses rekrutmen dan penempatan kerja PMI PP. Lalu, kekuatan yang tidak berimbang antara pekerja di atas kapal dengan pemilik kapal atau manajemen di atas kapal.

Terakhir, PMI PP tidak memiliki akses yang kuat terhadap informasi publik, bagaimana cara menyampaikan keluhan, dan akuntabilitas yang masih rendah. Semua persoalan tersebut, masih dicarikan jalan keluar yang tepat, agar perlindungan bisa diterapkan secara penuh kepada semua PMI PP.

 

Setelah 20 hari melaut, awak KM Bandar Nelayan sedang menurunkan ikan tuna beku di pelabuhan Benoa, Bali pada Februari 2017. Foto : shutterstock

 

Salah satu rekomendasi kunci untuk memperbaiki keadaan, adalah pengembangan hukum dan tata kelola PMI PP, dan ratifikasi dua regulasi internasional yang berlaku saat ini. Upaya tersebut jika diwujudkan, diyakini bisa memperbaiki kelemahan yang ada saat ini.

Dua regulasi tersebut, adalah Konvensi Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Regulasi tersebut disahkan di di Jenewa, Swiss pada 14 Juni 2007.

Kemudian, peraturan yang disepakati secara internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2012. Peraturan tersebut dikenal dengan nama Konvensi Perjanjian Cape Town (CTA) 2012 dan diinisiasi oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO).

Chair of the Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman juga menyoroti pelanggaran HAM dan sistem kerja paksa yang juga terjadi di laut. Dia fokus pada isu HAM dan hak-hak pekerja pada industri perikanan di Asia Tenggara.

Kata dia, sampai sekarang sedikitnya ada 17.000 orang pekerja di kapal ikan yang mengalami praktik perbudakan saat bekerja di perairan regional tersebut. Praktik tidak terpuji tersebut masih terus ada, karena perlindungan terhadap para pekerja masih belum bagus.

Belum maksimalnya perlindungan, karena masih ada sejumlah tantangan yang belum dibereskan oleh masing-masing negara di Asia Tenggara. Sebut saja, belum dilakukan ratifikasi peraturan internasional yang menjadi kunci, kewenangan pada industri perikanan yang masih tumpang tindih, dan sulitnya pemantauan kapal dan perlindungan HAM di laut.

Pandangan sama juga diutarakan Direktur Informasi dan Data Badan Keamanan Laut Republik Indonesia Samuel H Kowaas. Menurut dia, penegakan hukum maritim di Indonesia akan terus memerlukan transformasi digital melalui pengembangan satelit dan teknologi informasi.

Ada manfaat yang bisa diperoleh dari transformasi digital, di antaranya adalah pengambilan keputusan yang lebih cepat, format data yang seragam, waktu respon/relay yang lebih singkat, dan biaya operasional yang lebih rendah.

 

Dua orang perempuan gembira menunjukkan ikan cakalang segar di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Foto : shutterstock

 

Tentang keadilan dan hukum lingkungan laut tersebut, Direktur Kerja Sama Internasional dan Reformasi Kebijakan IOJI Stephanie Juwana menyorotinya dari ekosistem karbon biru (EKB). Menurut dia, tata kelola EKB di Indonesia mendesak untuk dilakukan perbaikan.

Penyebabnya, karena walau potensi karbon biru besar, namun EKB di Indonesia terus mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Setiap tahunnya, selalu ada saja penyusutan EKB yang berasal dari kawasan hutan mangrove atau padang lamun.

Dia menyebutkan beberapa kendala yang masih ada dalam tata kelola EKB di Indonesia. Di antaranya adalah, tidak semua EKB tercakup dalam instrumen perlindungan; kendala terkait pengaturan kelembagaan atau institutional arrangement dan semua kondisi yang ada; dan perlunya penguatan pengakuan dan pemberdayaan community-led initiatives.

Kemudian, perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan atau decision-making process; perlunya peningkatan ketersediaan data, sains, dan kapasitas teknis atau technical capacity; kendala dalam pengawasan dan penegakan hukum; serta perlunya pengembangan mekanisme pendanaan yang menunjang proyek karbon biru berkualitas tinggi atau high-quality blue carbon project.

Semua kendala itu bisa diatasi jika ada instrumen perlindungan inovatif yang potensial untuk dikembangkan. Selain itu, diperlukan juga peran dari masyarakat lokal agar EKB bisa dijaga dan dikelola dengan baik dan benar.

“Masih banyak yang perlu dilakukan dalam aturan hukum dan keadilan di ranah kelautan untuk memastikan bahwa masyarakat yang bergantung pada laut dan alam semesta dapat berkembang bersama,” pungkas dia.

 

Exit mobile version