Mongabay.co.id

Pagar Kejut, Mitigasi Konflik Manusia dengan Gajah di Ulu Masen

 

 

Baca sebelumnya: Masa Depan Gajah Sumatera di Hutan Ulu Masen

**

 

Konflik antara manusia dengan gajah sumatera masih terjadi di wilayah Ulu Masen, Provinsi Aceh.  

Ilyas, Imun Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, menuturkan pertikaian tersebut sudah terjadi sejak 2015. Tanaman kebun masyarakat seperti pinang maupun durian, tidak luput dari sasaran gajah.

“Bila datang, jumlahnya bisa sampai 44 individu. Kami mengusirnya dengan mercon. Awalnya takut, tapi kini terbiasa. Cara ini terus kami lakukan, setiap kawanan gajah masuk kebun,” jelasnya.

Ilyas mengatakan, masyarakat sudah berdiskusi dengan Pemerintah Gampong, tapi belum menemukan solusi efektif, hingga akhirnya BKSDA Aceh turut mendampingi warga dalam memitigasi konflik.

Baca: Pagar Kawat Kejut Dirusak, Kawanan Gajah Liar Kembali Masuk Permukiman Warga

 

Pembuatan pagar kawat kejut untuk mencegah konflik manusia dengan gajah dilakukan di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Boyhaqie, dari Fauna & Flora International’s Indonesia Programme, menjelaskan bahwa mitigasi konflik di Ulu Masen sudah berkoordinasi dan melibatkan sejumlah pihak. Ada BKSDA Aceh, DLHK Aceh, Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, Pemerintah Daerah, Conservation Respon Unit [CRU], dan masyarakat.

Kegiatannya berupa monitoring keberadaan gajah melalui pemasangan GPS Collar dan informasi dari masyarakat, serta pembentukan satuan tugas. Selain itu, pengusiran menggunakan meriam karbit dan mercon dilakukan, dengan cara memantau di perbatasan habitat gajah dengan permukiman.

“Biasanya, masyarakat yang melihat gajah masuk ke kebun atau swah akan melaporkan ke tim satgas,” jelasnya.

Boyhaqie menambahkan, strategi lain yang digunakan adalah dengan pemasangan pagar kejut [power fencing] antara batas habitat gajah dan permukiman.

“Ini dilakukan untuk memotong pergerakan kelompok gajah menuju permukiman, sehingga  tetap berada di habitatnya.”

Dinamakan pagar kejut karena arus listrik yang digunakan terbilang aman, tidak mematikan. Arusnya 7-8 joule [0,00000194 – 0,00000222 kWH].

Menurut Boyhaqie, kabel yang dialiri listrik itu, kecepatan minimumnya 1,02 detik, setelah itu putus. Interval tanpa listrik, maksimum 2 detik.

“Listrik yang dihasilkan berasal batere tenaga surya yang dihubungkan ke energizer [pagar kejut] yang dialiri ke kabel. Setiap 5 meter, kawat akan dikaitkan ke kayu atau pohon agar tidak kendor,” terangnya.

Sebelumnya, Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto, mengatakan pagar kejut merupakan solusi sementara untuk mengatasi konflik manusia dengan gajah. Power fencing butuh dukungan masyarakat untuk menjaga dan merawatnya. Jika dirusak, gajah liar kembali masuk permukiman.

“Ketika badan gajah mengenai kawat, akan timbul efek kejut sehingga gajah tidak akan mendekat lagi. Tidak perlu khawatir, arus listrik yang rendah tidak akan membunuh atau melukai gajah,” ungkapnya.

Baca: Atasi Konflik Masyarakat dengan Gajah, Pagar Listrik Dibangun di Kabupaten Pidie

 

Arus listrik yang rendah pada pagar kejut tidak akan melukai terlebih membunuh gajah. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Pendampingan

Ilyas melanjutkan, masyarakat mendukung upaya mitigasi konflik melalui pemasangan pagar kejut.

“Pengelolaan dan perawatan pagar kejut, sudah diserahkan kepada kami. Kami akan menyiapkan satu orang di setiap kampung, untuk menjaga dan untuk membersihkannya. Dana diambil dari kas desa,” tuturnya.

Hingga Juli 2022, di Ulu Masen sudah ada empat pos patroli, yaitu di Desa Turue Cut, Blang Dalam, Lhok Keutapang, dan Paya Guci.

Pagar kejut juga sudah dipasang di Mukim Beungga sejauh 4,2 km. Di Paya Guci, Kecamatan Tangse, sejauh 2 km; di Desa Blang Dalam, Kecamatan Mane sejauh 5 km; di Keumala Dalam sejauh 800 meter; dan di Turue Cut sejauh 2 km.

Menurut Ferguson dan Hanks [2010], penggunaan pagar pembatas untuk satwa sudah dibangun sejak 1950-an hingga awal 1980-an. Pagar yang dibangun di bagian selatan dan tengah Botswana, Afrika Selatan, dilakukan tanpa memikirkan dampaknya terhadap satwa liar di daerah tersebut, terutama jalur migrasi satwa.

Studi di Sri Lanka menunjukkan, pemasangan pagar listrik dilakukan untuk menjauhkan gajah dari lahan pertanian. Ini dikarenakan cara tradisional seperti menyalakan petasan atau membuat suara keras, tidak lagi efektif. Namun, pagar listrik menimbulkan banyak masalah karena arus yang terlalu tinggi, tidak saja berdampak pada satwa tapi juga manusia.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Akibat pagar kawat kejut dirusak, kawanan gajah liar kembali memasuki permukiman warga di Desa Negeri Antara dan Blang Rakal, Kecamatan Pinto Rime Gayo. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penggunaan dana desa

T. S. Halim, Sekretaris Camat Mane, Kabupaten Pidie, Aceh, mengatakan bahwa di Desa Luteung penggunaan dana desa sangat berpengaruh terhadap berkurangnya konflik manusia dengan gajah.

Berawal dari ketakutan dan keresahan masyarakat, pemerintah desa dan masyarakat berpikir untuk mengatasi masalah tersebut.

“Di Kecamatan Mane ada Lembaga Pengelolaan Hutan Desa [LPHD], wadah untuk menyampaikan aspirasi. Dalam rapat LPHD, segala aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mengatasi konflik dibicarakan. Masalah ditangani secara swadaya dan swakelola,” terangnya.

LPHD mengimplementasikannya dalam sebuah program, yaitu membentuk kelompok patroli hutan dengan anggota 10 orang per desa.

“Disetujui, dana bersumber pada anggaran pendapatan dari gampong [APBD], yang diplotkan untuk kegiatan penanganan satwa liar,” imbuhnya.

Bagaimana bila dana dari desa tidak ada lagi sementara konflik masih terjadi? Halim mengatakan, akan diusahakan subsidi dari desa. Kepedulian masyarakat untuk melindungi kebun dan tanaman mereka dari gangguan gajah sudah terlihat.

“Mudah-mudahan, nanti bisa diusahakan dari masyarakat secara swadaya dan swakelola. Paling penting, masyarakat bisa merawat dan mengelola pagar kejut,” jelasnya.

 

Exit mobile version