Mongabay.co.id

Apakah Tepat Laut Dijadikan Sumber Obligasi untuk Negara?

 

Pengelolaan laut yang berkelanjutan masih menjadi fokus Pemerintah Indonesia untuk menjaga ekosistem laut dan pesisir bisa tetap lestari. Upaya tersebut dilakukan, karena Pemerintah ingin kegiatan ekonomi bisa bersanding dengan baik bersama kegiatan ekologi.

Untuk itu, Pemerintah menegaskan komitmennya untuk membuat perencanaan yang lebih baik dan pembiayaan biru dengan melibatkan banyak sektor. Pembiayaan biru dipilih, karena itu akan menjadi solusi untuk mengembangkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Salah satu upaya yang sedang direncanakan saat ini adalah menerbitkan obligasi biru atau surat utang dengan jangka waktu menengah ataupun panjang yang bisa diperjualbelikan. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini di Jakarta.

Penerbitan obligasi biru dilakukan untuk membiayai sejumlah proyek strategis nasional yang ada di wilayah laut dan pesisir. Untuk tahapan pertama, obligasi biru diharapkan bisa membiayai perbaikan pengelolaan kegiatan kawasan konservasi laut (KKL).

Namun, untuk bisa menerbitkan obligasi biru, ada sejumlah tahapan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah. Itu berarti, pembiayaan yang berasal dari obligasi biru bisa pasti akan bisa dilaksanakan dalam waktu sekarang ini.

Untuk mendorong ke arah sana, pengembangan dokumen strategi pembiayaan biru (blue financing strategic/BFS) kini sedang dilaksanakan Pemerintah Indonesia dengan menggandeng Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).

Luhut mengatakan, bukan saja untuk memajukan sektor maritim dan kelautan di dalam negeri, BFS juga akan menjadi parameter kemajuan negara pulau dan kepulauan (AIS). Utamanya, dalam pengembangan ekonomi biru di masing-masing negara.

baca : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Peluncuran Dokumen Blue Financing Strategic dan Penandatanganan Perjanjian Pembiayaan antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi dengan UNDP Indonesia. Foto : Kemenko Marves

 

Pengembangan dokumen BFS sendiri dilakukan dengan merujuk pada SDGs Government Securities Framework yang menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Dengan demikian, segala potensi ekonomi yang ada di laut bisa dimanfaatkan dengan bijak dan berkelanjutan.

Menurut dia, dokumen BFS diharapkan bisa memandu arah negara-negara AIS, khususnya Indonesia saat akan mengembangkan cara paling bijak dalam memanfaatkan potensi ekonomi kelautan. Pengembangan tersebut akan dipandu untuk selalu melibatkan kolaborasi dengan para pihak yang terkait.

Tegasnya, Indonesia berkomitmen untuk mengambil bagian dan berkontribusi positif pada kerja sama global yang nyata untuk mewujudkan transformasi menuju tujuan pembangunan berkelanjutan.

Ia yakin, negara-negara yang tergabung dalam AIS Forum akan semakin fokus untuk bergerak aktif dan saling membantu antara satu dengan negara lain untuk menghadapi segala tantangan yang ada dan berasal dari laut.

Tantangan yang dimaksud, di antaranya adalah perubahan iklim, ekonomi biru, pengelolaan sampah plastik, dan pengembangan tata kelola maritim yang baik. Semua tantangan tersebut diharapkan bisa dihadapi secara bersama melalui kerja sama yang saling membangun.

Bentuk komitmen lain yang ditegaskan Pemerintah Indonesia dalam kontribusi membangun negara AIS, adalah menyiapkan pendanaan sebesar USD5 juta atau ekuivalen Rp78 miliar. Dana tersebut diberikan kepada AIS melalui pengelolaan UNDP.

Luhut menyebutkan, pendanaan yang disiapkan itu diharapkan bisa berguna dalam penerapan semua program kerja yang bersifat praktis, membumi, dan inovatif untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pesisir.

Dengan demikian, dalam jangka waktu lima tahun ke depan AIS diharapkan sudah bisa bergerak secara mandiri dan bisa menjalankan semua fungsinya secara kelembagaan. Semua itu akan mendorong terwujudnya kemajuan negara pulau dan kepulauan.

“Pemerintah Indonesia akan terus berkomitmen pada berbagai program unggulan, seperti pembentukan AIS Forum dalam kerangka implementasi yang mendorong visi kami untuk bergerak menuju masa depan laut yang berkelanjutan,” jelas dia.

baca juga : Ekonomi Biru untuk Menjaga Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Pembangunan MNP yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero), yang telah memulai pengerjaan MNP tahap 1B dan 1C sejak awal 2019 silam dengan target pembangunan sepanjang 1.000 meter pesisir pantai utara Makassar di mana terdapat 5 komunitas nelayan berada di kawasan tersebut. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sebagai bagian dari kelompok global, Indonesia akan membangun berbagai inisiatif utama dan kegiatan yang nyata di antara negara AIS. Itu semua dilakukan dengan penguatan kemitraan global yang bertujuan untuk mewujudkan semua target pembangunan secara berkelanjutan.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, pusat keanekaragaman hayati laut, dan negara utama di dunia yang sedang berkembang ekonominya,” tambah dia.

Luhut menegaskan, setelah dokumen BFS resmi selesai dan diterapkan, nantinya Indonesia akan segera meluncurkan pinjaman biru (blue bonds) yang mengadopsi cara sama yang dilaksanakan melalui pinjaman hijau (green bonds) pada kawasan darat.

Skema pinjaman biru tersebut akan berjalan melalui penerbitan obligasi yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia dan didukung oleh lembaga keuangan internasional. Cara tersebut akan menawarkan akses pendanaan sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta.

“Ini menawarkan prospek hasil win-win klasik, membayar investor. Sementara pada saat yang sama meningkatkan hasil penangkapan ikan,” tutur dia.

Tentang dokumen BFS yang sedang dikembangkan sekarang, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi mengungkapkan kalau itu akan menjadi sesuatu yang sangat penting di masa mendatang.

Tanpa ragu, dia menyebut kalau dokumen BFS akan menjadi salah satu landasan untuk mengembangkan dan mengakses kerangka obligasi biru yang kredibel, dan telah menjadi bagian terintegrasi dari SDG Government Securities Framework yang diterbitkan pada September 2021.

Dengan dokumen strategis tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk bisa menerbitkan prinsip pinjaman biru di pasar global. Jika itu terjadi, maka Indonesia akan menjaga negara pelopor penerbitan obligasi di dunia.

Pasalnya, selama ini prinsip yang berlaku secara global baru sebatas green bond dan social bond. Karenanya, melalui dokumen BFS diharapkan bisa berkembang menjadi elemen penting dalam pengembangan keuangan biru untuk negara kepulauan dan negara kepulauan.

baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Deretan perahu nelayan bersandar di pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Oktober 2019. Foto : Shutterstock

 

Asisten Sekjen PBB dan Direktur Regional UNDP untuk Asia Pasifik Kanni Wignaraja berpendapat kalau dokumen BFS di masa mendatang akan menjadi salah satu kontributor utama bagi perkembangan ekonomi biru di Indonesia.

Dia bahkan yakin, BFS akan membawa perubahan besar yang bisa memberi dampak signifikan bagi masyarakat di seluruh pulau saat mereka butuh bagaimana cara untuk membangun model pembiayaan yang sukses di wilayah pesisir.

“Model-model ini yang akan menyatukan pemangku kepentingan. Jika kita ingin upaya kita tidak hanya berhasil, tetapi juga berkelanjutan,” ungkap dia.

Kanni Wignaraja menyebut, jika Indonesia sukses menjalankan dokumen BFS sebagai panduan untuk pembiayaan program pembangunan di pesisir, maka itu akan menjadi solusi pembiayaan biru secara umum. Itu berarti, contoh tersebut bisa diadopsi oleh negara lain di dunia, terutama kelompok AIS.

 

Negara Pulau

Kepala Perwakilan UNDP di Indonesia Norimasa Shimomura merinci apa yang dilakukan oleh Indonesia sebagai bentuk komitmen yang kuat untuk mendukung negara pulau dan kepulauan dalam melaksanakan perlindungan laut, pembangunan ekonomi biru, dan juga pembiayaan ekonomi biru.

Kata dia, apa yang sudah dijalin antara UNDP dengan Pemerintah Indonesia menjadi bukti bahwa kekuatan kemitraan multilateral menjadi sangat penting di masa sekarang dan akan datang. Hal itu menjadi contoh yang kuat bagi negara anggota Forum AIS di seluruh dunia.

Dia meyakini, Forum AIS mencerminkan aspirasi konstruktif Indonesia untuk memainkan peran internasional dan regional yang jauh lebih besar untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

“Kita menyaksikan kemajuan penting ini untuk menarik modal publik dan swasta untuk mendukung pembangunan biru,” terang dia.

baca juga : Begini Implementasi Ekonomi Biru di Laut Natuna dan Natuna Utara

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Belum lama ini, Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan RI Deni Ridwan mengatakan bahwa pengembangan ekonomi biru di Indonesia memang memerlukan banyak inovasi agar bisa bijak, tepat, dan berkelanjutan dalam pelaksanaannya.

Agar prinsip ekonomi biru bisa berkembang, Pemerintah sudah berencana untuk menerbitkan obligasi/sukuk biru dan hijau (green securities), serta obligasi/sukuk sosial dan berkelanjutan (SDGs securities).

Dana yang terkumpul dari pembiayaan tersebut, rencananya akan digunakan untuk pembiayaan sejumlah proyek yang bisa memberikan manfaat terhadap lingkungan dan sosial sebagai capaian agenda pembangunan 2030.

Namun, khusus untuk obligasi biru, itu masih sangat bergantung pada kesiapan para pemangku kepentingan terhadap semua proyek biru yang ada di Indonesia. Itu artinya, perlu upaya ekstra agar rencana penerbitan obligasi biru bisa diwujudkan.

Adapun, sektor yang selama ini mengandalkan laut sebagai bagian penting dari ekonomi biru, di antaranya adalah pariwisata, perdagangan, transportasi, dan logistik. Sektor-sektor tersebut mendukung pembangunan ekonomi lokal dan penyediaan lapangan kerja di pulau-pulau kecil dan terluar.

“Sehingga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di banyak wilayah di Indonesia,” jelas dia.

 

Setelah 20 hari melaut, awak KM Bandar Nelayan sedang menurunkan ikan tuna beku di pelabuhan Benoa, Bali pada Februari 2017. Foto : shutterstock

 

Pada Agustus lalu, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo juga mengungkapkan tentang rencana Pemerintah untuk menerbitkan obligasi biru sebagai bagian dari dukungan pendanaan ekonomi biru di Indonesia.

Rencana penerbitan tersebut dilakukan, karena sampai sekarang yang sudah ada baru sebatas obligasi hijau yang fokusnya pada proyek pembangunan di darat saja. Sementara, untuk proyek pembangunan di laut masih belum ada.

Dia menyebut kalau rencana penerbitan obligasi biru akan dilakukan tahun ini atau paling lambat pada 2023 mendatang. Selain Kemenko Marves, ada juga keterlibatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dalam pengembangan tersebut.

Rencana penerbitan obligasi biru akan menjadi momen yang tepat saat ini, karena Pemerintah sedang fokus melaksanakan prinsip ekonomi biru. Hal itu didukung dengan munculnya target pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Terutama pembangunan yang ada di laut,” sebut dia.

Sementara, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang menjadi satuan kerja di bawah BAPPENAS, mengungkapkan kalau pinjaman biru diharapkan bisa mendukung anggaran nasional untuk pembangunan di laut dan pesisir.

Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey mengatakan kalau pedoman pembiayaan ekonomi biru harus berlandaskan prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan. Semua itu harus bisa berkontribusi pada pengembangan ekonomi biru yang kredibel.

Dia menyebut kalau saat ini kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek masih sangat terbatas. Dari tujuh agenda pembangunan nasional pada periode 2020-2024, hanya 25 persen saja yang bisa dibiayai oleh APBN.

Itu berarti, masih tersisa 75 persen yang belum mendapatkan pembiayaan dan bisa dimaksimalkan melalui obligasi biru atau pinjaman biru. Walau kemungkinan belum bisa mencakup 100 persen pembiayaan, namun itu sudah membantu pembangunan nasional.

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dengan perkembangan saat ini, ditambah posisi sebagai negara kepulauan besar yang ada di dunia, Indonesia dinilai sangat layak untuk bisa menerbitkan obligasi biru sebagai alternatif pendanaan untuk pembangunan dengan prinsip ekonomi biru.

Dia mencontohkan, sudah ada negara di dunia yang melakukan hal tersebut dan berdampak positif pada pembangunan di pesisir dan laut. Negara tersebut adalah Fiji dan Seychelles. Khusus Seychelles, bahkan sudah berani menerbitkan obligasi dengan nilai mencapai USD15 juta.

Bagi Indonesia, nilai sebesar itu mungkin bisa dipenuhi dari satu provinsi saja. Jika semua provinsi dimaksimalkan untuk terlibat dalam penerbitan obligasi biru, maka nilainya dipastikan akan semakin besar dan bermanfaat untuk pembangunan nasional.

“Namun harus ada aturan yang jelas, agar investor yang mau terlibat bisa nyaman. Lalu yang menjual obligasi juga menjadi yakin, dan tentu saja tidak akan merugikan negara,” ucap dia.

Pada sebuah webinar yang digelar akhir Agustus 2022, Koordinator Kerja Sama Bilateral Bidang Lingkungan dan Iklim Swedish Agency for Marine and Water Management Ingela Isaakson menyebut bahwa laut yang sehat adalah dasar dari ekonomi biru yang sehat.

Dia mengatakan hal tersebut, karena kesehatan laut sangat dipengaruhi oleh banyak hal dan kegiatan. Terutama, perubahan iklim yang sudah dan akan terus memberikan tekanan kepada ekosistem laut yang dampaknya akan mengalami degradasi dengan cepat.

Dengan segala tantangan yang ada, semua negara akan dipaksa untuk bisa memanfaatkan laut sebagai sumber ekonomi dan sekaligus menjaganya agar kembali pulih. Itu berarti, ekosistem yang masih sehat akan dipaksa untuk terus tetap sehat.

Akan tetapi, dia meyakini kalau penerapan prinsip ekonomi biru akan lebih bagus jika laut memiliki jasa ekosistem yang berfungsi dengan baik dan memiliki produksi yang tinggi. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang laut menjadi hal yang penting dan mutlak untuk dilakukan.

Melalui perencanaan, alokasi sumber daya bisa diterapkan agar pembangunan biru yang berkelanjutan bisa terwujud. Selain itu, keadilan sosial dan pemerataan juga menjadi tantangan yang harus bisa dijabarkan melalui ekonomi biru.

 

Exit mobile version