Mongabay.co.id

Semakin Populer, Sidat Semakin Terancam

 

Ikan sidat (Anguilla spp.) adalah salah satu komoditas unggulan Indonesia yang sangat diminati pasar ekspor di Jepang. Hewan air itu banyak dikirim ke Negeri Sakura untuk dijadikan makanan khas musim panas bernama Unagi.

Walau ukurannya dua kali lebih kecil dibandingkan Unagi asli dari Jepang, namun Sidat tetap disukai karena dagingnya yang lembut, gurih, dan bergizi. Selain itu, Sidat juga selalu jadi produk ekspor ke Jepang, karena harganya lebih murah dibandingkan Unagi asli negara tersebut.

Saat ini, terdapat sembilan spesies di Indonesia dari total 19 spesies dan subspesies Sidat yang ada di dunia. Kesembilan spesies tersebut hidup di kawasan perairan yang habitatnya mencakup perairan tawar (sungai maupun danau) yang terhubung dengan perairan laut.

Dari waktu ke waktu, permintaan terhadap Sidat terus meningkat dari Jepang. Itu mengakibatkan penangkapan hewan air itu semakin tinggi intensitasnya dan memicu munculnya ancaman kepunahan karena aktivitas penangkapan tak terkendali.

Beragam upaya kemudian dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memastikan populasi dan habitat ikan tersebut tetap bagus dan tidak rusak. Termasuk, dengan menyematkan status perlindungan terbatas kepada ikan tersebut.

Status tersebut ditegaskan melalui penerbitan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 80 Tahun 2020 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Sidat. Sebelum itu, Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Sidat juga sudah dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 2016-2020.

baca : Ikan Sidat, Primadona Kuliner Jepang dari Indonesia

 

Ikan sidat. Foto : KKP

 

Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana mengatakan, upaya lain untuk melindungi keberadaan ikan tersebut dilakukan melalui kebijakan pencadangan 10 lokasi di kabupaten/kota yang menjadi habitat Sidat.

Dengan pencadangan tersebut, maka untuk sekarang dan masa berikutnya tidak diperbolehkan aktivitas menangkap Sidat di semua lokasi tersebut. Tujuannya, agar perlindungan perikanan Sidat yang berkelanjutan bisa berjalan dan terus meningkat.

Sepuluh lokasi yang dimaksud adalah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda (Kalimantan Timur); Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya (Aceh); Kabupaten Bengkulu Selatan (Bengkulu); Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Ciamis (Jawa Barat); Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah); serta Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah).

“Adanya daerah larangan penangkapan ikan sidat dapat meningkatkan peluang migrasi ikan Sidat dalam melanjutkan siklus reproduksinya secara alami,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Adapun, pelarangan aktivitas menangkap Sidat di sepuluh lokasi tersebut sudah disepakati untuk tidak dilakukan pada area/kawasan tertentu, dalam segala kondisi dan berlaku sepanjang waktu. Status tersebut akan terus diawasi, agar tidak ada orang atau pihak tertentu yang melanggar.

Menurut Ridwan Mulyana, dalam melaksanakan kebijakan tersebut diperlukan partisipasi masyarakat secara langsung yang ada di sekitar lokasi perairan. Mereka ini yang diyakini akan berperan lebih besar selama proses pelarangan berjalan.

Selain peran dari masyarakat, penguatan juga akan dilakukan melalui regulasi KKP yang segera diterbitkan dan menjadi wujud implementasi dari Keputusan Menteri KP No 118 tahun 2021 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Sidat.

Diharapkan, dengan adanya kekuatan hukum yang kuat melalui regulasi, pelarangan aktivitas menangkap Sidat di lokasi-lokasi tertentu akan bisa memulihkan populasi ikan tersebut yang selama beberapa tahun ini mengalami eksploitasi yang sangat tinggi.

baca juga : Sinyal Pemanfaatan Berlebih pada Komoditas Sidat, Kerapu, dan Kakap

 

 

ikan sidat panggang (kabayaki). Foto : PT Iroha Sidat Indonesia/Mongabay Indonesia

Dari hasil riset laju eksploitasi Sidat di Indonesia, didapatkan fakta bahwa ada empat sungai yang menjadi habitat Sidat selama ini. Tetapi, keempat sungai tersebut terindikasi sudah kelebihan tangkap (overfishing).

Sungai-sungai itu adalah sungai Cimandiri di Jawa Barat, sungai Malunda di Sulawesi Barat, serta sungai Lindu dan sungai Lalindu di Sulawesi Tenggara. Status overfishing disematkan kepada empat sungai tersebut, karena jumlah hasil tangkapan Sidat dari nelayan semakin sedikit dan ukurannya terus mengecil.

Selain bernilai ekonomi tinggi, Ridwan Mulyana menerangkan kalau Sidat juga mengandung nilai sejarah yang sama tingginya. Hal itu, karena Indonesia diketahui menjadi lokasi awal habitat Sidat di dunia melalui kehadiran Sidat Borneo (Anguilla Borneensis) dan Sidat celebes (Anguilla Celebesensis) yang menjadi endemik Indonesia.

Dengan fakta tersebut, tidak mengherankan jika permintaan pasar domestik dan luar negeri terus mengalami peningkatan setiap waktunya. Hal itu mendorong Pemerintah untuk mengelola sumber daya ikan sidat secara bijaksana agar bisa terjamin kelestariannya.

Selama periode satu dilaksanakan RAN, lebih dari 70 persen rencana aksi berhasil dijalankan. Totalnya, ada enam sasaran, lima strategi, dan 23 rencana aksi yang termuat dalam RAN Konservasi Sidat 2016-2020.

Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan KKP pada 2021, ada sejumlah masukan dan rekomendasi yang perlu dilakukan berkaitan dengan kegiatan konservasi Sidat. Pertama, diperlukan ada suplai data dan informasi tentang potensi sumber daya Sidat di kawasan perairan yang menjadi sebaran utama.

Selain di wilayah barat pulau Sumatera, sebaran utama juga ada di selatan pulau Jawa, pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Pulau-pulau tersebut menjadi habitat utama pertumbuhan Sidat dan penyuplai utama kebutuhan produk perikanan Sidat nasional.

baca juga : Mencegah Ikan Sidat Punah di Perairan Indonesia

 

Pelarangan penangkapan ikan sidat di sungai Citanduy. Foto : KKP

 

Rekomendasi kedua, adalah perlunya dilakukan peningkatan jumlah kegiatan penelitian tentang sumber daya ikan (SDI) Sidat untuk penetapan habitat penting, pembangunan jalur Sidat (eel way), dan sebaran jenis Sidat.

Ketiga, penetapan habitat penting Sidat untuk menjamin indukan di Teluk Tomini, pantai selatan Jawa, dan barat Sumatera. Keempat, peningkatan populasi Sidat melalui kegiatan restocking dan rehabilitasi habitat di daerah sebaran utama.

Kelima, peningkatan implementasi pemanfaatan Sidat yang berkelanjutan. Keenam, perlunya membuat jalur Sidat pada bendungan yang menjadi alur ruaya ikan tersebut. Ketujuh, peningkatan kapasitas SDM melalui kegiatan edukasi dan sosialisasi.

Kedelapan, diperlukan adanya pelibatan kearifan lokal dalam konservasi Sidat. Terakhir, atau kesembilan, perlunya dilakukan peningkatan dukungan dari para pihak terkait dalam pelaksanaan program konservasi Sidat.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono beberapa kali menyampaikan kepada publik bahwa SDI Sidat sebagai bagian dari keanekaragaman hayati laut di Indonesia, perlu untuk dikelola dengan baik dan bertanggung jawab.

“Tujuannya, agar tetap lestari dan memberi kemakmuran bagi masyarakat nelayan Sidat,” ungkap dia.

Dia menyebut kalau penerapan prinsip konservasi dan keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan Sidat diharapkan dapat memberikan jaminan bagi keberlanjutan sumber daya ikan tersebut di Indonesia.

baca juga : Infrastruktur Air, Penjaga Populasi Sidat Tetap Berkelanjutan

 

ikan Sidat (Anguilla spp.) yang tidak begitu populer di Indonesia, tapi diminati dan jadi kuliner lokal favorit di Jepang bernama Unagi. Foto : foodtribute/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Benih

Selain melalui penerapan RAN, upaya untuk melestarikan Sidat juga dilakukan Pemerintah dengan menggandeng Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Upaya tersebut dilakukan melalui tahapan teknis pada fase kelulushidupan (survival rate/SR).

Kepala Pusat Perikanan KKP Yayan Hikmayani menjelaskan, perbaikan tingkat SR Sidat pada fase kritis dari benih (glass eel) sampai ke anakan (elver), menjadi fokus yang dilakukan. Kegiatan tersebut dilaksanakan di kawasan sebaran utama yang ada di muara sungai Cimandiri, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ditempuhnya upaya tersebut, karena konsumsi Sidat di dunia sekitar 80 persen adalah berasal dari produksi perikanan budi daya. Sayangnya, seluruh kebutuhan bibit Sidat masih harus dipasok dari tangkapan di alam.

Permasalahan muncul, karena pasokan dari alam juga tidak selalu aman, mengingat tingkat SR benih Sidat masih sangat rendah. Hal itu membuat pemanfaatan ikan tersebut secara komersial bisa menurunkan tingkat stabilitas populasi Sidat di alam.

Jika terus berlanjut dan tanpa ada antisipasi, maka populasi Sidat di Indonesia bisa terancam punah. Kondisi itu persis dialami negara produsen Sidat lain yang ada di dunia, yaitu Jepang, dan sejumlah negara di Eropa.

Khusus di Sukabumi, dia menyebut kalau benih Sidat tidak hanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan usaha budi daya lokal. Namun juga, benih yang diproduksi di daerah tersebut dikirim rutin ke berbagai daerah di Indonesia.

Dengan peran yang besar tersebut, maka sumber daya Sidat mutlak harus dilindungi melalui berbagai cara. Termasuk, dengan menjadikan Balai Benih Ikan (BBI) Tonjong, Sukabumi sebagai lokasi demonstrasi pembesaran anakan Sidat.

Semua kegiatan tersebut dilaksanakan atas kerja sama yang dijalin antara KKP, FAO, Pemerintah Kab Sukabumi, dan Global Environment Fund (GEF) yang memberikan donasi pembiayaan untuk pembesaran anakan Sidat.

baca : Restorasi Sungai Serayu Butuh Bertahun-tahun, Tak Cukup Hanya Restocking

 

Penangkapan benih ikan sidat oleh nelayan di perairan Sukabumi, Jawa Barat, pada Mei 2018. Foto : WWF-Indonsia/Faridz Fachri/Mongabay Indonesia

 

Selain faktor konsumsi yang terus meningkat, ancaman penurunan populasi Sidat juga terjadi karena ikan tersebut biasa hidup pada dua jenis perairan, yakni perairan tawar dan laut. Biasanya, saat masih menjadi anakan, Sidat akan berkembang di air tawar sampai dewasa.

Setelah itu, Sidat akan menuju air laut untuk melakukan pemijahan. Proses yang berlangsung di dua jenis perairan tersebut menjadikan Sidat sebagai salah satu ikan katadromus yang ada di Indonesia. Untuk itu, RPP Sidat menjadi bagian yang penting untuk memastikan ikan tersebut tetap lestari.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menerangkan, penyusunan dokumen RPP Sidat menjadi bagian dari pelaksanaan amanat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Tentang penurunan populasi Sidat, dia menyebutkan contoh yang sudah terjadi di Eropa. Di benua biru tersebut, Sidat sudah masuk dalam daftar Appendix II konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

Kode tersebut menjelaskan bahwa Sidat di Eropa adalah dilindungi dan tidak boleh diperjualbelikan, kecuali sudah dibudidayakan. Tanpa dilakukan pengelolaan yang baik, dia meyakini bahwa kondisi Sidat di Indonesia akan mengekor Eropa dan menjadi kenangan saja karena mengalami kepunahan.

“Agar itu tidak sampai terjadi, maka pengelolaan perikanan Sidat harus segera diwujudkan,” ucap dia.

 

Benih ikan sidat yang diambil dari maura Sungai Cumandiri, Sukabumi, Jabar. Foto : WWF-Indonesia/Faridz Fachri/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan (BRPPUPP) Dwi Atminarso juga mengungkapkan bahwa penurunan populasi perikanan darat di dunia disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, terjadi pada Sidat.

Beberapa faktor yang dimaksud itu, adalah karena peningkatan jumlah penduduk, degradasi habitat, perubahan hidrologi, penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), pencemaran air, tekanan invasive species, dan faktor perubahan iklim.

Salah satu infrastruktur yang penting untuk dibangun dalam pengelolaan perikanan Sidat, adalah tangga ikan (fishway). Melalui penelitian yang dilakukan, dia menjelaskan bagaimana tahapan untuk mendesain fishway dengan tepat dan berhasil.

“Dari 3.530 dam dan bendung yang dibangun di Indonesia, hanya terdapat empat bendung yang sudah difasilitasi dengan tangga ikan,” jelas dia.

Pembangunan infrastruktur air terhadap perikanan darat akan membawa dampak yang baik, karena itu akan mengurangi tingkat konektivitas hulu dan hilir. Kemudian, juga akan mengurangi sedimentasi di sekitar bendung, dan penurunan kualitas air karena penggunaan pestisida.

Selain itu, infrastruktur air juga akan mengubah habitat air dari mengalir menjadi tergenang, dan membuat ikan seperti tersedot ke turbin atau pelimpah air (spillway). Cara tersebut mirip seperti dilakukan Australia dan kebanyakan negara maju lain di dunia.

“Tangga ikan merupakan bangunan yang wajib disediakan bersamaan dengan pembangunan bendung atau bendungan,” ungkap dia.

 

Sungai di Desa Kale Ko’mara tempat warga mencari ikan. Di sungai ini terdapat beberapa jenis ikan, seperti gabus, nila, sampai sidat. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sementara, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haryono mengatakan kalau siklus hidup Sidat diperkirakan dapat mencapai 30 tahun dan beruaya hingga ribuan kilometer untuk memijah di laut dalam.

Dengan siklus biologi yang demikian unik, daerah larangan penangkapan ikan sidat menjadi sangat mendesak untuk segera ditetapkan guna menambah upaya perlindungan bagi kelangsungan hidup ikan sidat.

Pada kesempatan lain, Bupati Sukabumi Marwan Hamami mengatakan kalau perairan Teluk Pelabuhanratu merupakan salah satu perairan strategis jalur ruaya benih Sidat di selatan Jawa. Dengan demikian, Sukabumi menjadi salah satu lokasi penting untuk perikanan Sidat nasional.

Manajer Proyek Nasional FAO iFish Sudarsono mengungkapkan, proyek iFish memfasilitasi perencanaan pembangunan jalur laluan ikan (fishway) pada konstruksi Bendung Caringin di Sungai Cibareno bersama Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat dan Charles Sturt University, Australia.

Jalur laluan tersebut dibangun pada struktur melintang agar ikan lokal seperti sidat atau kancra/soro dapat beruaya di sepanjang daerah aliran sungai. Cara tersebut diharapkan bisa menjadikan populasi Sidat di Sukabumi tetap terkendali dan lestari.

Melansir laman resmi KKP, perlindungan Sidat mulai dilakukan melalui Kepmen KP RI 80/2020 dengan status perlindungan terbatas berdasarkan periode waktu tertentu dan ukuran tertentu. Perlindungan terbatas Sidat meliputi:

  1. Benih semua spesies Sidat (Anguilla spp.) pada stadium glass eel tidak boleh ditangkap setiap bulan gelap tanggal 27-28 Hijriah;
  2. Sidat jenis Anguilla bicolor dan Anguilla interioris dewasa dengan berat di atas dua kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu; dan
  3. Sidat jenis Anguilla marmorata dan Anguilla celebesensis dewasa, dengan berat di atas lima kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu.

 

Exit mobile version