- Ikan-ikan khas Sungai Serayu menghilang akibat banjir lumpur yang terjadi pada awal April lalu
- Sejumlah pihak mendesak supaya restorasi Sungai Serayu dilakukan secara bijak
- Restocking ikan harus mempertimbangkan jenisnya, kalau bisa tetap ada ikan khas Sungai Serayu
- Sungai Serayu membutuhkan penangananan secara komprehensif sehingga flushing yang dilakukan tidak membuang lumpur dengan volume besar
Menjelang buka puasa pada Kamis (28/4), warung yang tak jauh dari Sungai Serayu di Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) makin ramai pengunjung. Mereka bersiap untuk berbuka dengan menyantap menu ikan air tawar, khususnya dari Sungai Serayu.
Namun, mereka sesungguhnya agak kecewa. Pasalnya, yang mereka cari tidak ada. Padahal biasanya selalu tersedia. “Saya ke sini sebetulnya ingin mencari ikan baceman. Tetapi ternyata tidak ada sama sekali. Sejak lumpur pekat masuk Serayu, katanya pemancing tidak dapat lagi ikan baceman,”ungkap Driyanto (51) salah seorang penggemar ikan baceman.
Pemilik warung, Aris (54) mengakui sejak adanya lumpur yang masuk Sungai Serayu, ikan-ikan khas menghilang. Salah satunya adalah baceman. “Sebelum ada lumpur yang mencemari Serayu, setiap hari saya mendapatkan pasokan ikan baceman. Tetapi setelah ada peristiwa tercemarnya Sungai Serayu, sekarang tidak ada sama sekali. Ya, pelanggan yang biasa datang ke sini kecewa. Tetapi, mau bagaimana lagi, ikannya memang tidak ada,”kata Aris.
Dia mengatakan selama puluhan tahun dia berjualan, baru tahun ini merasakan bagaimana Sungai Serayu tidak ada ikan baceman. Padahal, rasanya gurih dan banyak yang suka. “Para pemancing juga pada mengeluh tidak dapat ikan. Tidak tahu sampai kapan kondisi seperti sekarang ini,” ungkapnya.
Ikan baceman juga disebut sebagai ikan baung dengan nama lain Hemibagrus nemurus kini entah ke mana. Itu baru ikan baceman, ikan-ikan lainnya juga susah didapatkan. “Bagi pemancing seperti saya, ikan-ikan di Sungai Serayu cukup banyak dan beragam. Ada ikan baceman, udang Kali Serayu, ikan gabus, ikan pelus dan lainnya. Namun, sejak lumpur masuk Sungai Serayu, kini tidak ada lagi,” kata Slamet, 52, pemancing yang memancing di sekitaran Sungai Serayu, Banyumas.
baca : Pembuangan Lumpur dari Waduk Mrica ke Sungai Serayu Berdampak Luas, Ekosistem Rusak Parah
Kegelisahan itu memang nyata. Bahkan, selama hidup Slamet, baru waktu-waktu terakhir ini saja, Sungai Serayu tidak banyak ikannya. “Ternyata lumpur yang mencemari Sungai Serayu beberapa waktu lalu, dampaknya benar-benar luar biasa. Pokoknya sejak ada lumpur dan ikan-ikan bermunculan banyak sekali, tetapi setelah itu seperti hilang,”ungkapnya.
Ketua Forum Masyarakat Pengelolaan Sumberdaya Air (FMPSDA) Serayu Hilir Eddy Wahono mengakui adanya dampak yang luar biasa dengan adanya pembuangan lumpur dari PT Indonesia Power Mrica Banjarnegara. “Saya memperkirakan ratusan ribu ikan endemik dan jutaan ikan kecil yang mati. Belum lagi, plankton-plankton yang ada di Sungai Serayu yang tidak terdeteksi. Karena kepekatan lumpurnya luar biasa. Dan lumpurnya mengandung NH3 atau amonia yang membuat ikan mengambang dan akhirnya mati kehabisan oksigen,”kata Eddy.
Restocking Ikan tak Boleh Gegabah
Eddy mengingatkan sesuai dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (UU PPLH) Pasal 1 ayat (14 ) yang dimaksudkan pencemaran lingkungan hidup adalah dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Kemudian pada asal 53 ayat (1 ) menyatakan setiap orang yang melakukan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
“Kami berharap, ada koordinasi antara Indonesia Power dengan para pemangku kepentingan. Selain sejumlah pemkab seperti Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara serta Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, juga perlu mengikutsertakan para ahli. Itu penting, untuk melakukan recovery Sungai Serayu. Sebab, pemulihan ekosistem membutuhkan waktu yang lama,”katanya.
baca juga : Sungai-sungai di Jawa Sakit, Ikan Endemik Punah Perlahan
Ahli ekologi dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Windiariani Lestari mengatakan perbaikan atau restorasi Sungai Serayu sungai sangat sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. “Untuk mengembalikan ke kondisi seperti semula agak sulit dan membutuhkan waktu yang lama,”kata Lestari saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Kamis (28/4).
Lestari menyayangkan pascakejadian ikan-ikan tidak diidentifikasi terlebih dahulu, sehingga data mengenai keragaman jenis ikan tidak diketahui. “Sayang sekali, saya tahunya terlambat, sehingga tidak sempat juga melakukan identifikasi ikan-ikan apa saja yang terpengaruh. Karena sebetulnya jika diketahui, termasuk jenis tumbuhan akan menjadi database yang sangat baik sebagai dasar untuk melakukan restorasi sungai,”ungkapnya.
Lalu bagaimana langkah restorasi sungai? “Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, pertama yang paling penting adalah mengembalikan kondisi lingkungan sungai. Memang sungai mempunyai self purification atau kemampuan pulih diri, namun tentu saja memakan waktu yang lama, bertahun-tahun. Tetapi, bisa dibantu dengan, misalnya melakukan pengerukan lumpur yang mengandung banyak bahan organik tersebut. Kemudian juga dapat dilaksanakan pemasangan kincir atau aerator untuk mempercepat penambahan kadar oksigen sungai. Itu kalau secara mekanik,”jelasnya.
Lumpur yang mengandung bahan organik tersebut membutuhkan untuk diurai oleh pengurai. Sehingga, setelah terjadi penguraian, maka akan mulai kembali muncul kembali rantai makanan. Mulai dari fitoplankton, zooplankton, ikan-ikan atau biota herbivora, karnivora dan omnivora. “Dengan adanya lumpur yang masuk ke sungai dan mematikan ikan serta biota lainnya, maka rantai makanan yang ada di Sungai Serayu berdampak hebat. Maka dari itu, untuk restorasinya membutuhkan waktu yang lama, sebab harus kembali terbentuknya kembali rantai makanan dalam ekosistem sungai,”paparnya.
baca juga : Sekolah Sungai Didirikan di Banyumas, Untuk Apa?
Dia juga meminta kepada pemkab atau pihak lainnya yang akan melakukan restocking untuk bijak. “Dalam melakukan restocking atau penambahan stok ikan pasti akan memanfatkan benih ikan budidaya. Nah, padahal ikan di Sungai Serayu terutama yang khas, ada yang belum dapat dibudidayakan. Tetapi ini harus dilakukan. Restocking itu bukan masalah sepele yang hanya memasukkan ikan ke Sungai Serayu,”jelasnya.
Kalau ikan yang sudah dibudidayakan gampang, tetapi bagaimana dengan ikan yang selama ini belum dibudidayakan. Misalnya saja, jenis ikan gabus, sidat, pelus, atau lele lokal. “Kita berharap, di anakan-anakan Sungai Serayu masih ada. Sehingga nanti ikan-ikan tersebut bermigrasi ke Sungai Serayu kalau kondisi lingkungan semakin membaik. Bisa saja, mengambil indukan dari tempat lain. Setelah itu, diberikan kesempatan bagi ikan untuk berkembang biak,”ujar dia.
Perlu Pelibatan Ilmuwan
Lestari mengatakan karena kondisi lingkungan dan ekosistem di Sungai Serayu termasuk parah dampaknya, maka memerlukan koordinasi seluruh pihak. Sebab, dibutuhkan penanganan yang komprehensif, terencana dan terstruktur. “Saya kira bijak kalau mengikutsertakan akademisi atau ilmuwan. Sehingga nantinya restorasi Sungai Serayu akan berjalan kebih terencana. Tetapi, masalahnya mungkin soal dana. Namun demikian, tetap perlu dipikirkan supaya Sungai Serayu bisa pulih seperti semula,”katanya.
Jika mengikutsertakan ilmuwan, maka desain restorasi atau recovery Sungai Serayu akan lebih terarah. Karena sekali lagi, restorasi tidak hanya sebatas restocking ikan. “Sebab, restocking ikan biasanya hanya memanfaatkan ikan budidaya. Padahal, ada ikan-ikan khas Serayu yang belum dapat dibudidayakan. Untuk memulihkan kembali tentu membutuhkan pemikiran bersama,”ujar dia.
baca juga : Ikan Gabus yang Terusir dari Rawa dan Sungai
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsoed Isdy Sulistyo juga mengatakan bahwa recovery ke kondisi semula sulit. Pengembaliannya membutuhkan waktu yang cukup lama. “Apalagi, ikan-ikan yang kita tidak punya teknologi budidayanya. Seperti sidat atau pelus. Ada juga baceman, nggaringan dan lain-lain. Untuk recovery-nya, maka bisa saja menebarkan induk yang diperoleh dari tempat lainnya. Misalnya, kita mengambil dari muara yang kemudian disebarkan di bagian atas Bendung Gerak Serayu,”kata Isdy kepada Mongabay Indonesia.
Hanya saja, memang masalah waktunya, karena tidak mungkin dalam waktu cepat kembali ke kondisi semula. “Kan tidak mungkin juga akan menebar benih sesuai dengan yang ditemukan oleh warga pada saat terjadinya banjir lumpur di Sungai Serayu,”ujar dia.
Isdy menyarankan, PT Indonesia Power juga perlu memperhitungkan jumlah flushing lumpur. “Jangan sampai diendapkan terlalu lama. Kalau terus diendapkan, maka peristiwa lumpur pekat yang masuk ke Sungai Serayu dan berdampak pada biota bakal kembali terulang. Jelas, flushing akan dilakukan, tetapi harus terjadwal dan tidak terlalu banyak. Ini penting supaya lingkungan Sungai Serayu tidak terdampak lagi,”jelas Isdy.
Bagaimana antisipasi ke depannya? Isdy menyarankan beberapa hal. “Lumpur yang masuk ke Waduk Mrica sebetulnya kan berasal dari areal pertanian wilayah hulu Sungai Serayu. Karena itulah, perlu membenahi sistem pertanian di wilayah hulu. Tanaman yang berusia pendek, perlu diatur ulang. Di sisi lain, mengurangi pestisida dan pupuk anorganik,”katanya.
Ditambahkan oleh Isdy, perlu ada penampungan atau perangkap lumpur di aliran sebelum masuk ke waduk. “Jika ada perangkap lumpur, maka air yang masuk ke Waduk Mrica tidak lagi mengandung lumpur yang tinggi. Sehingga, jika flushing juga aman, karena tidak banyak lumpur yang dibuang. Ini adalah antisipasi secara komprehensif yang dapat dilakukan,”tandasnya.