Mongabay.co.id

Nadran, Wujud Syukur Nelayan di Tengah berbagai Persoalan

 

Perahu-perahu berhias jajanan dan buah-buahan memadati bantaran Sungai Cilincing di Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, DKI Jakarta.

Berbeda dengan hari-hari biasanya, pagi itu suasana di kawasan kampung yang dulunya terdapat banyak pohon blimbing wuluh di pesisir Ibukota tersebut nampak ramai.

Bak hari raya, dengan berpakaian rapi para nelayan dan warga dari lintas usia terlihat berbondong-bondong menaiki perahu yang umumnya terbuat dari kayu.

Tidak terkecuali juga keluarga Rasmani (40), nelayan setempat. Bersama istri, anak, dan kerabat terdekat lainnya, pria berambut cepak itu hendak berangkat ke laut. Bukan pergi untuk menangkap ikan. Hari itu mereka ramai-ramai menuju ke laut untuk ikut melarungkan sesajen.

Kegiatan itu merupakan puncak dari Festival Nelayan Cilincing atau Sedekah Laut. Pada dasarnya, tradisi yang dikenal juga dengan sebutan nadran ini yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas hasil laut. Mereka juga berdoa agar hari-hari berikutnya hasil tangkapan berlimpah.

baca : Selamatan Laut, Sebuah Pesan untuk Kelestarian Laut

 

Perahu nelayan berarak-arakan menuju ke laut untuk mengikuti prosesi larung sesajen. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, acara yang terselenggara hanya setahun sekali itu juga menghadirkan pentas wayang, musik, dan maulidan. Mereka bergembira bersama merayakan rangkaian nadran laut dengan membawa makanan berupa hasil laut dan bumi.

Keguyuban warga terlihat saat makan bersama di atas perahu, warga menyebut alat transportasi air bermesin ini dengan sebutan perahu klotok. Tanpa malu-malu mereka berbaur, berbagi satu sama lain.

“Sebagai anak muda saya wajib mengikuti tradisi ini. Selain bisa melihat perahu berarak-arakan, mengikuti kegiatan ini juga momen untuk menjalin kebersamaan,” kata Permana Putra (16), siswa yang juga anak nelayan setempat, Sabtu (22/10/2022).

 

Ancaman

Bukan hanya sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang diberikan Tuhan. Bagi nelayan, dengan mengikuti acara nadran ini mereka juga berharap diberikan keselamatan dan keberuntungan dalam melaut. Karena dalam kesempatan itu, kepala kerbau juga dipersiapkan sebagai simbol menolak bala supaya tahun depan para nelayan dihindarkan dari mara bahaya.

Rasmani mengaku selama tinggal di Cilincing tidak pernah absen mengikuti kegiatan yang diadakan secara turun-temurun itu. Sama dengan nelayan lainnya, bapak dua anak ini juga berharap dijauhkan dari bencana. Apalagi belakangan ini ia seringkali mendengar berita tentang nelayan yang meninggal di laut.

“Bekerja di laut itu resikonya tinggi. Harus siap bertaruh nyawa. Kalau tidak begitu anak istri mau makan apa?,” ujar pria kelahiran Indramayu, Jawa barat, ini disela menunggu sesajen dilarungkan ke tengah laut.

baca juga : Selamatan Laut, antara Merawat Tradisi dan Rayuan Pariwisata

 

Dengan berpakaian rapi, keluarga nelayan mengikuti kegiatan sedekah laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bagi Rasmani keadaan laut saat ini semakin memprihatinkan. Banyak persoalan yang dihadapi. Pertama, cuaca yang tidak menentu. Dulu, nelayan memiliki cara-cara tersendiri yang mereka dapatkan dari proses berinteraksi dengan alam sekitar.

Mereka paling sering menggunakan tanda-tanda alam sebagai indikator pembacaan iklim dan cuaca lokal, seperti melihat pola pelangi yang muncul atau adanya petir. Namun, saat ini tanda-tanda itu sudah tidak berlaku lagi alias tidak valid. Bahkan perubahan itu bisa terjadi dalam sehari.

Misalnya, saat pagi hari cuaca bagus, tetapi begitu sudah di tengah laut angin tiba-tiba kencang. Datangnya angin kencang ini juga tidak disertai dengan tanda-tanda alam sebagaimana orang-orang tua dahulu wariskan.

Pada akhirnya nelayan banyak yang terjebak di laut. Mendapati kondisi itu, alhasil ia tidak bisa membawa hasil tangkapan untuk dibawa ke darat, sehingga rugi di perbekalan. “Tidak ada ikan untuk dijual, sementara beban ekonomi tidak bisa diajak kompromi,” terangnya

Kedua, sejak harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik kondisinya juga makin terpuruk. Apalagi harga jual tangkapan masih murah. Jadi, antara biaya perbekalan dengan hasil tangkapan tidak sesuai. Untuk perbekalan saja sekali trip paling tidak dia membutuhkan biaya antara Rp500-Rp1 juta.

Selain itu, adanya pabrik-pabrik yang membuang limbah ke laut juga menjadi kendala nelayan di Cilincing. Dampaknya, nelayan sudah tidak bisa lagi menangkap ikan dipinggiran. Untuk itu, ia khawatir akan nasib laut kedepannya.

baca juga : Mata Pencaharian Nelayan Terancam Akibat Sampah Plastik di Lautan

 

Istri nelayan menyiramkan air ke mesin perahu yang digunakan suaminya melaut. Penyiraman itu sebagai simbol untuk meminta keselamatan dan keberkahan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Perairan Tercemar

Perairan Cilincing merupakan salah satu wilayah pesisir DKI Jakarta dengan tekanan lingkungan yang terus meningkat. Masuknya limbah yang berasal dari aktivitas antropogenik semakin mengkhawatirkan kondisi perairan di wilayah ini.

Anna Rejeki Simbolon, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang sekarang melebur ke BRIN dalam penelitiannya pada tahun 2016 menyimpulkan, status pencemaran di Perairan Cilincing tergolong tercemar sedang.

Kadar Dissolved Oxygen (DO), Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological oxigen demand (BOD) telah melampaui baku mutu berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk keperluan biota laut.

Edi Kurniawan (33), ketua Pelaksana Kegiatan mengatakan, di sepanjang aliran Sungai Cilincing memang tumbuh subur pabrik-pabrik, jumlahnya kurang lebih ada 15. Saking banyaknya sehingga membuat dia tidak tahu pabrik mana yang membuang limbahnya ke sungai dan berujung ke laut.

“Dampaknya ya ke nelayan. Akibat limbah yang mencemar itu ikan yang dekat dengan muara jadi menjauh, akhirnya nelayan menangkap ikan semakin ke tengah,” jelas pria brewokan itu.

baca juga : Dilema Warga Meski Sampah di Cilincing Sudah Dibersihkan

 

Rasmani (tengah), nelayan setempat mengemudikan perahunya saat mengikuti acara sedekah laut. Bagi nelayan, dengan mengikuti acara nadran ini mereka juga berharap diberikan keselamatan dan keberuntungan dalam melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Semula jarak tempuh melaut sekitar 15-20 mil. Sekarang ini bisa 30-40 mil. Dengan begitu, perbekalan jadi bertambah, yang awalnya membutuhkan solar 15 liter bertambah menjadi 30 liter. Menurut Edi dengan naiknya harga BBM kondisi nelayan saat ini semakin memprihatinkan.

Apalagi harga ikan, cumi, dan udang tidak kunjung naik. Untuk itu, dengan diselenggarakan kegiatan Festival Nelayan Cilincing ini selain karena meneruskan tradisi ini, dia dan anak-anak muda lain juga ingin mengangkat perekonomian nelayan setempat.

Apalagi di Cilincing juga ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI), sehingga pengunjung nantinya bisa membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Dengan begitu nelayan ada alternatif penjulan lain selain dijual ke tengkulak.

Selain orang tua, katanya, anak-anak muda yang berprofesi sebagai nelayan juga banyak. Mereka berasal dari latar belakang daerah yang berbeda-beda. Ada dari Madura, Indramayu, Brebes, Purwokerto.

“Kami berharap untuk agenda-agenda berikutnya bisa lebih baik. Tahun depan nelayan dan warga di Cilincing bisa lebih makmur,” terang bapak satu anak ini.

Kepala Markas Unit Patroli Cilincing, Iptu Heri Setiawan (52) mengatakan, untuk mengamankan prosesi sedekah laut tersebut pihaknya menerjunkan sejumlah personil dan 5 speedboat. Ia menghimbau kepada masyarakat agar tidak membuang sampah di laut. Terkait dengan limbah yang mencemari perairan Cilincing pihaknya juga mengaku rutin melakukan patroli pencegahan.

 

Exit mobile version