Mongabay.co.id

Meski Telah Berkomitmen Iklim, Perbankan Indonesia Masih Tetap Salurkan Pinjaman ke Sektor Batu Bara

 

Sebuah laporan terbaru menunjukkan, empat bank terbesar di Indonesia memberikan pinjaman sebesar USD 3,5 miliar (Rp 52,5 triliun dalam kurs Rp15.000) berupa pinjaman langsung kepada industri batu bara selama periode 2015-2021, meski sebelumnya mereka telah berkomitmen terhadap praktik keuangan berkelanjutan.

Laporan oleh koalisi kelompok masyarakat sipil ini meninjau pinjaman yang dibuat oleh perbankan BUMN yaitu BNI, BRI dan Bank Mandiri, serta BCA, sebagai bank swasta terbesar di Indonesia.

Pada tahun 2018, keempatnya tergabung di dalam pelopor inisiatif pembiayaan di bawah Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Dalam komitmennya ialah penerapan praktik keuangan berkelanjutan yang mengintegrasikan isu lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) ke dalam operasional mereka.

Inisiatif ini juga mengakui peran penting yang dimainkan oleh lembaga keuangan dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Indonesia sendiri adalah negara produsen dan eksportir batu bara terbesar kelima di dunia.

Untuk melihat apakah keempat bank memenuhi apa yang mereka katakan, koalisi mempelajari laporan tahunan dari 24 perusahaan batu bara yang terdaftar di bursa saham di Indonesia.

Baca juga: Menyoal Pembiayaan Perbankan ke Proyek Batu Bara

 

Ilustrasi saat tongkang batu bara melintas di sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Foto: Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Pemberi pinjaman terbesar dari perusahaan-perusahan yang diteliti adalah Bank Mandiri yang juga merupakan bank terbesar di Indonesia. Mandiri mengeluarkan USD 3,19 miliar pinjaman kepada 10 perusahaan batubara antara 2015 dan 2021.

Namun, Mandiri dalam laporan tahunan 2020 menyatakan tidak lagi mendanai bisnis atau proyek yang merusak lingkungan. Dalam laporan keberlanjutan 2021, dikatakan jika mereka bergerak menuju netralitas karbon melalui penguatan ekosistem dan taksonomi hijau.

Pemberi pinjaman terbesar kedua untuk sektor batu bara adalah BCA, yang juga merupakan perusahaan listing terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar di Indonesia. Dalam laporan tahunan dan Laporan Keberlanjutan 2020, BCA menyebut dukungannya terhadap pengembangan energi terbarukan sebagai kontribusinya terhadap mitigasi perubahan iklim.

Menurut laporan keberlanjutannya, BCA mendanai proyek energi terbarukan senilai total Rp15,97 triliun (USD 1,07 miliar) dari tahun 2016 hingga 2021.

Namun, BCA tetap memberikan pinjaman sebesar USD 170,5 juta kepada dua perusahaan batu bara — Alfa Energi Investama dan Dian Swastatika Sentosa — pada periode 2015-2021.

Pemberi pinjaman terbesar ketiga adalah BRI, yang laporan tahunan dan laporan keberlanjutan tahun 2020-nya mengakui dampak perubahan iklim terhadap kehidupan di masa depan.

Namun, BRI tidak memiliki kebijakan nyata yang mencegahnya mendanai proyek batu bara. Dari 2015-2021, ia memberikan pinjaman senilai USD 122,5 juta kepada tiga perusahaan: Darma Henwa, Bukit Asam dan Toba Bara Sejahtera.

Selanjutnya ada nama BNI, yang pada tahun 2018 mengubah citranya menjadi “bank hijau”, dengan mengatakan bahwa mereka memprioritaskan kelestarian lingkungan dalam praktik bisnisnya. Namun mereka meminjamkan USD 53,4 juta kepada tiga perusahaan batu bara: Dian Swastatika Sentosa, Indika Energy, dan Delta Dunia Makmur.

“Setelah Perjanjian Paris [tentang perubahan iklim], bank nasional masih memberikan dukungan keuangan kepada perusahaan batu bara, jadi kita masih jauh dari komitmen untuk menghentikan pembiayaan sektor ini,” sebut Suriadi Darmoko, Manajer Kampanye Keuangan Indonesia di 350.org, sebuah gerakan global yang mengadvokasi transisi energi bersih.

Dengan kata lain, dengan terus mendanai pembangkit listrik tenaga dan tambang batu bara, bank-bank ini telah berkontribusi terhadap pemanasan global.

“Dengan dukungan keuangan dari lembaga perbankan dan kebijakan pemerintah, perusahaan batu bara di Indonesia akan terus berkembang dan mengeluarkan gas rumah kaca yang memperburuk krisis iklim.”

Baca juga: Industri Perbankan Indonesia Didesak Setop Danai Perusakan Iklim

 

Aksi generasi muda di Jakarta, protes BNI yang masih mendanai sektor batubara. Sebelum melakukan kampanye, peserta aksi juga sebelumnya sudah mengirimkan surat ke BNI menyampaikan petisi yang sudah dibuat, namun tidak ada respon. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Berlawanan dengan  Trend Global

Binbin Mariana, Juru Kampanye Energi Asia Tenggara pada Market Forces, menyebut perbankan di Indonesia, tertinggal dari pemberi pinjaman di negara lain dalam hal mengakhiri pembiayaan untuk kegiatan yang merusak.

Dia mengidentifikasi 115 bank di 41 negara yang mengatakan mereka berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dengan bergabung dengan Aliansi Net-Zero Perbankan PBB.

Bank-bank ini, total menyumbang sekitar 40 persen dari aset perbankan global, telah membuat janji untuk mengalihkan semua investasi mereka yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca untuk mencapai net-zero pada tahun 2050.

“Tidak ada satu pun bank dari Indonesia yang bergabung dengan aliansi ini,” jelas Binbin. Padahal bank-bank lain di kawasan, termasuk Malaysia dan Bangladesh, telah bergabung dalam inisiatif tersebut.

Beberapa bank asing bahkan telah menyatakan akan melepas investasinya dari perusahaan batu bara di Indonesia. Dia mencontohkan bank asal Inggris Standard Chartered dan DBS Singapura, yang keduanya mengumumkan akan menghentikan pendanaan Adaro Energy, penambang batu bara terbesar di Indonesia.

Sejak tahun 2006, Standard Chartered telah menyediakan setidaknya USD 300 juta dalam bentuk pendanaan untuk Adaro Energy dan anak perusahaannya.

Mengikuti tekanan dari kelompok aktivis dan kampanye, termasuk Market Forces, bank tersebut mengumumkan pada bulan April tahun ini bahwa mereka telah mengakhiri hubungan kerjanya dengan Adaro Energy.

DBS juga baru-baru ini mengatakan akan menghentikan pendanaannya ke Adaro Energy sebagai bagian dari komitmennya untuk mengatasi perubahan iklim dengan menghentikan semua pinjaman untuk sektor energi batu bara pada tahun 2039.

“Keterlibatan kami terhadap anak perusahaan Adaro Energy di sektor batubara akan berkurang secara signifikan pada akhir tahun 2022,” kata juru bicara DBS. “Kami tidak berniat memperbaharui pendanaan jika bisnis masih didominasi batu bara termal.”

Baca juga: Analisis: ‘Pensiun Dini” PLTU akan Tekan Emisi dan Buka Lapangan Kerja Bidang Energi Terbarukan

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali. Salah satu PLTU yang mengandalkan pasokan batu bara untuk pengoperasiannya. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bank lain yang tidak tergabung dalam aliansi PBB juga telah membuat rencana untuk menghapus batu bara dari portofolio mereka, seperti Bank of China, pemberi pinjaman terbesar keempat di dunia.

“BoC tidak bergabung dengan aliansi, tetapi BoC adalah salah satu bank terbesar di dunia yang mendanai batu bara,” kata Binbin. “Pada September 2021 mereka akan berhenti membiayai proyek pertambangan dan pembangkit listrik batu bara baru di luar negeri mulai kuartal keempat [tahun 2021].”

Namun, komitmen Dewan Komisaris memungkinkannya untuk terus mendanai proyek-proyek batu bara di Tiongkok, di mana lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang sedang dibangun dibanding angka pembangunan di seluruh dunia jika digabungkan.

Meskipun semakin banyak bank yang mengumumkan rencana untuk melakukan divestasi dari batu bara, lonjakan harga batu bara baru-baru ini telah mendorong gelombang pinjaman bank kepada penambang batu bara di Indonesia.

Data dari Otoritas Jasa Keuanan (OJK), menunjukkan bahwa bank pemberi pinjaman menyalurkan 26,83 persen lebih banyak uang ke industri pertambangan pada Januari 2022 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021. Peningkatan ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun-ke-tahun dalam keseluruhan pinjaman, yaitu 5,79 persen.

“Keputusan DBS dan bank-bank besar lainnya untuk meninggalkan Adaro mengirimkan sinyal kuat kepada penambang lain untuk beralih dari batu bara sekarang,” jelas Andri Prasetiyo, peneliti di lembaga nonprofit Indonesia Trend Asia.

Namun, tampaknya sinyal itu abai di depan bank-bank besar di Indonesia. “Sayangnya, bank-bank Indonesia tidak membuka mata mereka. Tidak ada divestasi sama sekali dari batu bara,” ujar Binbin.

Perbankan Indonesia harus mengikuti jejak DBS dan bank internasional lainnya, jelas Firdaus Cahyadi dari kelompok masyarakat sipil 350.org Indonesia .

“Batu bara sangat merusak lingkungan. Jadi jika memang ingin menjadi “bank hijau’, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah berhenti mendanai industri batu bara,” ujarnya dalam siaran pers. “Praktik greenwashing hanya membodohi konsumen, seolah-olah bank ramah lingkungan, tapi tetap mendanai batu bara,” pungkasnya.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Indonesian banks prop up coal industry increasingly shunned by outside lenders.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

***

Foto utama: PLTU Suralaya di kota Cilegon, Provinsi Banten. Foto: © Kasan Kurdi/Greenpeace.

 

Exit mobile version