Mongabay.co.id

Krisis Iklim Dan Alternatif Solusi Pendanaan Iklim Ke Depan

Dari Paris ke Glasgow

Tahun 2021, enam tahun setelah Paris Agreement diratifikasi oleh 194 negara atau setelah lima kali penyelenggaraan COP Paris, maka pada akhirnya Para Pihak berhasil menyelesaikan Paris rulebook for implementation dalam COP-26 tahun lalu di Glasgow.

Ini berarti bahwa COP-27 yang akan digelar mulai tanggal 7 s/d 18 Nopember 2022 di Syarm el-Sheikh, Mesir menandai berakhirnya masa transisi kesepakatan Paris dan dimulainya aksi nyata untuk melaksanakan kesepakatan sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam Paris rulebook.

Bila COP-26 keluar dengan “Pakta Iklim Glasgow” yang menyerukan perlunya NDC yang lebih besar (Enhanced NDC/ENDC), maka Glasgow juga menekankan kembali penyelesaian pendanaan iklim yang lebih serius untuk menangani adaptasi dan kerugian serta kerusakan (loss and damage) yang disebabkan oleh bencana iklim.  Karena itulah Pakta Glasgow berhasil membentuk “Glasgow Dialogue” tentang pendanaan untuk ‘loss and damage’ (kerugian dan kerusakan), serta berjanji untuk melipat gandakan pendanaan adaptasi.

Keputusan COP-26 juga secara eksplisit menargetkan aksi terhadap pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, penghentian secara bertahap penggunaan batubara dan penghapusan secara bertahap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.

Uni Eropa baru-baru ini meresponnya dengan mengeluarkan kesepakatan baru untuk melarang penjualan mobil dengan bahan bakar bensin dan diesel yang akan berlaku efektif mulai tahun 2035, dan mempercepat peralihan ke kendaraan listrik untuk memerangi perubahan iklim. Kesepakatan itu juga termasuk pengurangan 55% emisi CO2 untuk mobil baru yang dijual dari tingkat 2030 versus 2021, jauh lebih tinggi dari target pengurangan 37,5% saat itu.

baca : Agenda Terobosan: Pekerjaan Rumah Pasca COP26

 

Sesi Closing Plennary Konferensi Perubahan Iklim UNFCC COP26 di Glasgow, Skotlandia pada Sabtu (13/11/2021). Foto : UNFCCC

 

Tantangan yang Dihadapi  

Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Patricia Espinosa menyampaikan beberapa hal yang membutuhkan perhatian segera. Diantaranya adalah bahwa COP-27 harus mampu menjaga komitmen yang telah dibuat dalam COP-26 yaitu meningkatkan aksi iklim untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada pertengahan abad ini agar 1,5 juga bisa tercapai.

Akan tetapi hambatan saat ini adalah dampak konflik antara Rusia vs Ukraina, sehingga terjadi krisis energi, krisis pangan dan krisis ekonomi. Invasi Rusia ke Ukraina telah menganggu rantai pasok global yang telah menambah parahnya krisis pasca pandemi sehingga transisi menuju pembangunan rendah emisi akan melambat dalam perjalanannya dan tidak sejalan dengan apa yang ingin dicapai dalam Persetujuan Paris.

Setiap keterlambatan akan memiliki implikasi jangka panjang seperti yang sudah dikonfirmasi oleh IPCC. Situasi ini bagi banyak negara merupakan peluang ekonomi untuk menjual bahan bakar fosil menjadi pilihan yang realistis. Kondisi global menjadi lebih buruk lagi ketika bencana iklim terjadi dimana mana: panas yang ekstrim seperti di Eropa dan Australia, kebakaran hutan yang luar biasa di AS dan banjir besar di Pakistan, China, dan belahan bumi yang lainnya.

Tantangan lainnya adalah kebocoran pipa gas alam Nord Stream di Laut Baltik yang bisa menjadi bencana iklim terburuk dalam sejarah karena keluarnya gas metana ke atmosfir dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Metana adalah gas rumah kaca terbesar kedua yang disebabkan oleh manusia, dan 86 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida selama 20 tahun di atmosfer atau 34 kali lebih kuat selama 100 tahun. Kebocoran ini setara dengan 14 juta ton CO2, atau hampir 30% dari emisi tahunan Denmark.

baca juga : COP26 dan Urusan yang Belum Rampung untuk Masa Depan Bumi

 

Petugas mengevakuasi warga di Malang, yang terkena banjir bandang. Foto: BPBD

 

Laporan Sintesa NDC yang dibuat Sekretariat UNFCCC menyimpulkan perlunya setiap negara menyampaikan kembali target NDC-nya yang lebih ambisius (Enhanched NDC/ENDC) dan Strategi Jangka Panjang (Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience -LTS) karena dengan data dan angka yang ada saat ini tidak akan cukup untuk menekan kenaikan suhu bumi global rata-rata di bawah 20 C.

Indonesia keluar dengan angka ENDC 32 persen dengan upaya sendiri dan 43 persen dengan bantuan internasional.Pada COP-26 tahun lalu, semua Pihak sepakat bahwa lebih banyak dukungan perlu diberikan kepada negara-negara berkembang. Alasannya karena jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat selama periode 50 tahun, didorong oleh perubahan iklim dan cuaca yang lebih ekstrem. Para Pihak menyerukan untuk setidaknya meningkatkan pendanaan untuk adaptasi karena kebutuhan aktual masih jauh dari apa yang ada saat ini.

Menurut WMO dalam Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate and Water Extremes (1970 – 2019), ada lebih dari 11.000 bencana yang dilaporkan terkait dengan bahaya ini secara global, dengan lebih dari 2 juta kematian dan kerugian US$ 3,64 triliun. Dari tahun 1970 hingga 2019, bahaya cuaca, iklim dan air menyumbang 50% dari semua bencana.

Laporan assessment ke 6 tahun 2022 yang dibuat IPCC (AR-6) menyarankan batas kenaikan 1,50 C nampaknya akan sulit dikendalikan dan akan berakibat dampak perubahan iklim memerlukan upaya adaptasi yang lebih besar, khususnya dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan akibat bencana iklim.

Itulah sebabnya setiap negara sekarang diminta untuk membuat rencana adaptasi yang lebih baik setiap tahunnya. Dari 10 bencana teratas, bahaya yang menyebabkan kerugian manusia terbesar selama periode tersebut adalah kekeringan (650.000 kematian), badai (577.232 kematian), banjir (58.700 kematian) dan suhu ekstrem (55.736 kematian).

baca juga : Tumpukan Pekerjaan Rumah untuk Hindari Bencana Iklim

 

Warga melintas di deretan pohon yang meranggas karena musim kemarau. BPBD Lamongan menyebutkan kekeringan di Lamongan tahun ini meningkat. Ada 84 desa di 18 kecamatan terdampak kekeringan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Setiap konvensi PBB tidak terpisah satu sama lainnya. Demikian juga konvensi perubahan iklim terkait dengan konvensi HAM dan konvensi lainnya seperti konvensi untuk penyandang disabilitas (person with disability). Kelompok yang populasinya di dunia lebih dari satu milyar, resiliensinya sangat tertinggal dibanding kelompok warga lainnya.

Namun demikian, penyandang disabilitas secara sistematis terabaikan oleh pemerintah di seluruh dunia. Krisis iklim telah memperparah kemampuannya beradaptasi karena berbagai keterbatasan. Beberapa negara membuat ketentuan untuk kebutuhan penyandang disabilitas ketika mereka membuat rencana untuk beradaptasi dengan dampak kerusakan iklim, namun tidak secara eksplisit menyebutkan penyandang disabilitas dalam program pengurangan emisi gas rumah kaca.

 

Terobosan Solusi Iklim

Untuk kebutuhan pendanaan adaptasi, setiap negara harus menyiapkan National Adaptation Plan (NAP) dan Komunikasi Adaptasi. Negara maju perlu menyediakan dana hibah untuk membiayai rencana adaptasi, terutama melalui Adaptation Fund dan entitas lain dari mekanisme keuangan di bawah UNFCCC. Janji yang dibuat di COP-26 untuk menggandakan pembiayaan adaptasi adalah awal yang baik, namun nyatanya itu masih jauh dari jumlah yang sebenarnya dibutuhkan oleh negara-negara yang rentan terhadap bencana iklim.

Dalam COP-27 ini juga dibahas kelanjutan dari Global Goal on Adaption (GGA) dan akan menetapkan Glasgow-Sharm el-Sheikh Work Program untuk menilai kemajuan aksi adaptasi dan memungkinkan implementasinya. Kelompok Kerja II IPCC menyatakan bahwa setiap tambahan kenaikan sepersepuluh derajat pemanasan bumi akan meningkatkan ancaman terhadap manusia, spesies dan ekosistem. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola dampak perubahan iklim saat ini, apalagi dampak yang lebih buruk di masa depan.

Untuk menjaga agar sasaran 1,5 derajat C tetap masih dalam jangkauan, semua negara, khususnya negara-negara G20 perlu memperhatikan laporan IPCC dan meresponnya dengan tepat. Negara-negara maju harus memimpin dalam ambisi iklim dengan cara memberikan contoh kepada negara-negara berkembang. Mereka juga harus mempercepat transisi energi, menghapus bahan bakar fosil, dan melakukan aksi sektoral yang ambisius sambil memenuhi janji bantuan USD 100M per tahun kepada negara-negara berkembang.

baca juga : Bagaimana Dorong Pembiayaan Sektor Energi Tekan Krisis Iklim?

 

Panorama di sebuah kawasan industri dengan asap pekat emisi karbondioksida yang mengotori udara. Foto : shutterstock

 

Dalam COP-27, Para Pihak harus mencermati kembali kapasitas SDM yang diadopsi dalam COP-26, yaitu 10-year Glasgow Work Program atau program kerja Glasgow 10 tahun untuk memperkuat implementasi Action for Climate Empowerment (ACE).

ACE meliputi enam area yang perlu ditingkatkan, yaitu: 1) climate education, 2) training, 3) public awareness, 4) akses masyarakat kepada informasi, 5) partisipasi masyarakat dan 6) kerjasama internasional untuk lima area yang disebutkan sebelumnya. Implementasi keenam area tersebut sangat penting untuk dijabarkan dalam tingkat global dan nasional terhadap aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Setiap orang, dan terutama kaum millenial, harus memahami dan berpartisipasi dalam transisi ke dunia ‘hijau’ yang rendah emisi dan tahan iklim. Sustainable life style (gaya hidup berkelanjutan), sustainable production and consumption pattern (pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan), merupakan dua hal mendasar untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.

Keberhasilan upaya-upaya ini akan membutuhkan kolaborasi internasional dan nasional yang luas diantara semua tingkat pemerintahan dan semua sektor masyarakat. Sangat penting bagi negara-negara G20 memberi contoh karena mereka mewakili 80 persen emisi dunia. Di tingkat nasional, hal yang sama harus dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memimpin dan memberi contoh kepada masyarakat luas (leading by example). 

 

Debt Swap for Climate Crisis

Lebih dari 90% bencana alam yang terjadi di Indonesia terkait dengan bencana iklim. Kebutuhan biaya adaptasi dan ketahanan iklim oleh karena itu diperkirakan akan terus meningkat mengingat bencana terkait iklim semakin sering terjadi dari tahun ke tahun.

Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi tercatat sebanyak 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, terdapat lebih dari 2.000 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian akibat bencana geologi.

Menurut dokumen ENDC, Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 32 persen dengan usaha sendiri dan 43 persen kalau kita mendapatkan bantuan internasional. Untuk keperluan ini, maka Pemerintah memperkirakan kebutuhan biaya total sebesar Rp3.780 triliun sampai 2030. Perkiraan kebutuhan dana itu dibuat berdasarkan referensi dari peta jalan NDC yang dibuat KLHK.

perlu dibaca : Mengapa Indonesia Perlu Beralih ke Energi Terbarukan?

 

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Jelaslah bahwa aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Mengharapkan sumber pendanaan hanya dari dana publik dan swasta di dalam negeri akan sangat memberatkan. Karena itu diharapkan sebagian pendanaan dapat diperoleh dari luar negeri.

Namun rasio pembayaran utang luar negeri Indonesia atau debt to service ratio (DSR) Indonesia pada tahun 2023 berpotensi meningkat. Hal ini seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global yang juga berpengaruh pada Indonesia. DSR Indonesia pada tahun depan (2023) akan berada di kisaran 25% hingga 30%, atau naik dari posisi akhir yang dicatat Bank Indonesia (BI) pada tahun 2021, yaitu sebesar 21,71%. Dengan ketidakpastian situasi global yang terjadi akhir-akhir ini, maka pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam menjaga kemampuan membayar utang luar negerinya.

Perjanjian Paris telah mencakup rencana bagi negara-negara maju dan negara-negara donor lainnya untuk menyediakan bantuan sebesar USD 100 miliar per tahun guna membantu aksi-aksi mitigasi dan adaptasi serta meningkatkan ketahanan iklim di negara-negara berkembang.

Komitmen tersebut pada awalnya disepakati pada COP-9 di Kopenhagen tahun 2009 dan akan dilaksanakan dari tahun 2020 sampai 2025. Namun sampai saat ini ternyata janji tersebut belum dapat direalisasikan. Krisis ekonomi global yang saat ini masih berlangsung nampaknya akan membuat janji bantuan dana iklim semakin sulit dipenuhi.

Sementara biaya penanggulangan bencana yang terkait iklim dari sumber dalam negeri akan membebani APBN maupun APBD di masa mendatang. Karena itulah maka perlu dicari pemikiran yang tidak biasa (out of the box) agar tidak membebani anggaran pemerintah untuk penanggulangan bencana iklim.

Salah satunya adalah dengan membebaskan utang luar negeri untuk mengurangi beban APBN maupun APBD, atau disebut dengan ‘debt swap for climate crises. Tentu yang menjadi pertanyaan dan tantangannya adalah bagaimana ide ini dituangkan dalam suatu proposal dengan analisa dan rencana strategis yang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang terlibat. (***)

 

 

*Rachmat Witoelar, Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim dan Presiden COP 13 di Bali tahun 2007;

**Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, mantan Negosiator UNFCCC, Pengamat Perubahan Iklim;

***Farhan Helmy, Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS-Indonesia), mantan Negosiator UNFCCC

 

Exit mobile version