Mongabay.co.id

42 Tahun Walhi: Rumah Gerakan Bersama untuk Keadilan Ekologis

 

 

Organisasi lingkungan hidup, Walhi memasuki usia 42 tahun pada 15 Oktober lalu. Tak berlebihan kalau dikatakan Walhi adalah gerakan lingkungan hidup tertua di Indonesia. Dengan eksekutif daerah ada di 28 provinsi, 487 anggota organisasi, dan 203 anggota individu, Walhi bisa disebut sebagai organisasi lingkungan terbesar di Indonesia.

Pendirian Walhi pada 1980, tak lahir dari ruang kosong. Ada beberapa faktor pendorong. Pertama, dalam konteks global, delapan tahun sebelumnya ada deklarasi internasional pertama tentang lingkungan hidup, yang disebut dengan deklarasi Stockholm.

Isinya, mencakup 26 prinsip yang mendesak seluruh negara-negara di dunia menjaga keadilan dan kelestarian lingkungan hidup.

Kedua, 18 tahun sebelum Walhi lahir, kesadaran dunia internasional dibangunkan oleh buku Silent Spring karya Rachel Carson, penulis Amerika Serikat yang mengulas krisis lingkungan hidup akibat penggunaan pestisida skala besar oleh industri pertanian.

Ketiga, pada 1968, Seyyed Hossein Nasr, seorang ilmuwan Muslim, menulis buku Man and Nature, menjelaskan, akar krisis lingkungan hidup global dari perspektif filsafat.

Menurut dia, kehancuran planet bumi terjadi karena manusia kehilangan penghayatan spiritual terhadap alam. Alam hanya dikalkulasi dengan pendekatan untung rugi.

 

Alat berat mulai meratakan lahan buat persiapan tanam sawit. Walhi Malut mendampingi warga yang berkonflik lahan dengan perusahaan sawit ini. Foto: Walhi Malut/ Mongabay Indonesia

 

Keempat, sebelum tahun 1970-an, telah dikembangkan pandangan deep ecology atau ekologi dalam, satu konstruksi filsafat lingkungan hidup sekaligus gerakan sosial berdasarkan pada keyakinan, manusia harus secara radikal mengubah relasi dengan alam. Dari relasi yang menghargai alam semata-mata karena kegunaan bagi manusia, jadi relasi yang mengakui alam memiliki nilai yang melekat pada dirinya sendiri. Pendirinya adalah seorang Filosof Norwegia bernama Arne Naess.

Deep ecology sering memperlawankan posisi filsafatnya dengan apa yang disebut sebagai shallow ecology atau ekologi dangkal. Menurut deep ecology, gerakan ekologi arus utama sebelumnya hanya peduli dengan berbagai masalah lingkungan hidup seperti polusi, kelebihan penduduk, dan konservasi, sejauh masalah itu memiliki efek negatif yang mengganggu kepentingan manusia. Inilah yang disebut sebagai antroposentrisme, sebuah pandangan dunia yang mengandung pandangan instrumentalis tentang alam dan pandangan manusia sebagai penakluk alam.

Antroposentrisme telah menyebabkan degradasi lingkungan di seluruh dunia. Karena itu, harus diganti dengan ekosentris (berpusat pada ekologi) atau biosentris, sebuah pandangan dunia yang berpusat pada kehidupan, di mana biosfer menjadi fokus perhatian utama.

Kelima, pendirian Walhi pada 1980 juga lahir dalam situasi dimana negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sedang berada dalam puncak keberingasan ideologi developmentalisme. Di mana, sumber daya alam tereksploitasi atas nama pembangunan serta untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.

Pada titik ini, eksploitasi sumber daya alam hanya menempatkan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, sebagai penyuplai barang mentah dalam rantai perdagangan global. Dampaknya, kemiskinan masyarakat dan krisis lingkungan hidup terus terjadi tanpa tahu kapan semua itu akan berakhir.

 

Walhi NTT bersama berbagai organisasi masyarakat dan mahasiswa melakukan penanaman bakau menyikapi perubahan iklim.Foto : Walhi NTT

 

Kiprah empat dekade

Selama 42 tahun, Walhi telah melakukan kerja-kerja penyelamatan lingkungan di Indonesia, baik melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi.

Kelahiran UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, merupakan salah satu hasil kerja Walhi untuk melindungi lingkungan hidup sekaligus melindungi para pejuang lingkungan hidup.

Tak hanya itu, Walhi bersama dengan jaringan di seluruh Indonesia berhasil menggugat UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ke Mahkamah Konstitusi pada 2010 yang memuat pasal-pasal privatisasi serta swastanisasi wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Kalau UU ini tak digugat, banyak sumber daya pesisir dan laut yang selama ini dikelola masyarakat akan dikuasai serta dirusak oleh korporasi skala besar.

Selama empat dekade, Walhi telah berhasil menyelamatkan lebih dari 1,2 juta hektar hutan dan dikelola oleh masyarakat. Selain itu, Walhi terus menyelenggarakan pendidikan bagi generasi muda agar memiliki kesadaran kritis dan bergerak untuk menyelesaikan krisis lingkungan hidup.

Telah banyak anak-anak muda yang menjadi bagian penting dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup.

Kenapa Walhi bertahan selama 42 tahun? Karena Walhi adalah gerakan lingkungan hidup dari masyarakat, dimiliki masyarakat, dan diarahkan untuk sebesar-besar kemaslahatan berbagai lapisan masyarakat.

 

 

Durian, banyak tumbuh di pekarangan maupun hutan warga di Desa Aik Berik, yang jadi dampingan Walhi NTB. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Tantangan terkini

Sampai saat ini, ideologi developmentalisme terus dijalankan oleh pemerintah. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, terus tereksploitasi. Pada saat sama, beragam regulasi yang tak demokratis terus diproduksi. UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara, dan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja merupakan dua contoh regulasi yang tak demokratis.

Eksploitasi sumber daya alam terbukti melahirkan bencana ekologis, terutama banjir dan longsor. Sepanjang 2000-2019, terjadi banjir 9.394 kali. Dampaknya, sebanyak 5.023 orang meninggal dunia, sebanyak 263.605 orang luka-luka, dan 29.537.476 orang harus mengungsi.

Tak berhenti sampai di situ, krisis iklim terus mengancam Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Lebih dari 12.000 desa pesisir di Indonesia terancam tenggelam akibat kenaikan air laut.

Dalam pada itu, lebih dari 5.416 desa pesisir sudah tenggelam banjir rob sepanjang 2017-2020. Krisis iklim juga akan mengancam kedaulatan pangan masyarakat, baik di darat maupun di laut.

Dalam situasi krisis ini, Walhi menegaskan diri sebagai rumah gerakan bersama untuk mewujudkan keadilan ekologis.

Maknanya, krisis lingkungan hidup global, termasuk di dalamnya krisis iklim tak bisa dihadapi dan diselesaikan oleh gerakan secara sendiri-sendiri.

Masyarakat merupakan kelompok yang paling terdampak oleh krisis ekologis. Pada saat yang sama, masyarakat adalah kekuataan utama dalam menghadapi dan menyelesaikan krisis lingkungan hidup, termasuk di dalamnya krisis iklim, yang disebabkan eksplotasi sumber daya tanpa henti.

Sekarang dan seterusnya, Walhi terus mengajak berbagai lapisan masyarakat untuk menjadi bagian penting dalam gerakan bersama melawan krisis lingkungan hidup demi mewujudkan keadilan ekologis.

 

Penulis: Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi

 

 

Exit mobile version