Mongabay.co.id

Instrusi Kapal dari Negara Lain Masih Sulit Dihentikan di Laut Indonesia

 

Perairan Laut Natuna Utara (LNU) yang menjadi kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia non sengketa, masih menjadi lokasi favorit bagi kapal ikan asing (KIA) dari Vietnam untuk melaksanakan aktivitas penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).

Sepanjang periode Juli sampai September 2022, kehadiran kapal ikan dari negeri komunis itu masih terus terjadi, walau pada periode-periode sebelumnya selalu ada yang tertangkap oleh kapal patroli milik Indonesia.

Tetapi, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mendeteksi kalau pergerakan yang signifikan justru dilakukan oleh kapal patroli negara itu. Kapal milik Pemerintah Vietnam bernama Vietnamese Fisheries Resources Surveillance (VFRS) itu diketahui berjumlah 12 unit.

Semua kapal patroli itu masuk ke wilayah LNU untuk melakukan pengawalan terhadap kapal ikan dari negara mereka yang sedang melakukan aktivitas illegal fishing. Itu kenapa, walau jumlah kapal ikan Vietnam menurun pada periode Juli-September 2022, namun kapal VFRS justru bertambah banyak.

CEO IOJI Mas Achmad Santosa pada Senin, 31 Oktober 2022 menjelaskan, hadirnya armada kapal dari Vietnam tersebut, mempertegas bahwa perairan LNU menjadi incaran para pencari ikan dari banyak negara. Pengawasan berlipat dengan keterlibatan aparat penegak hukum, menjadi hal yang mutlak untuk dilaksanakan.

baca : IOJI: Ada Dugaan Kapal Patroli Vietnam Lindungi Illegal Fishing di Natuna

 

Kapal asing Vietnam yang berhasil ditangkap Bakamla pada Desember 2021. Foto : Bakamla

 

Selain armada kapal dari Vietnam, LNU juga diincar oleh negara lain di Asia. Pada periode Juli-September 2022, negara yang dominan memperlihatkan aktivitasnya adalah Cina, melalui kapal pengawas China Coast Guard (CCG) 5403.

Menurut dia, apa yang dilakukan oleh kapal Cina tersebut menjadi bentuk gangguan terhadap pemanfaatan hak berdaulat Indonesia atas sumber daya ikan (SDI) di LNU. Kemudian, Negeri Tirai Bambu juga diduga kuat melakukan bentuk pelanggaran lain yang merugikan Indonesia.

Khusus di perairan LNU, aktivitas kapal pengawas Cina berfokus di sekitar kawasan sisi timur, tepatnya di area garis batas landas kontinen Indonesia dan Malaysia. Namun, selain di LNU, Cina juga terdeteksi melakukan pergerakan pada kapal riset pengendali misil dan satelit jarak jauh.

Di luar wilayah LNU, IOJI mendeteksi pergerakan kapal riset pengendali misil dan satelit jarak jauh milik Pemerintah Tiongkok (7 September 2022), bernama Yuan Wang 5, yang melintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)-I.

“(Bentuk) pelanggaran kewajiban perlintasan kapal survei militer Cina di alur laut kepulauan Indonesia I atau ALKI I,” sebutnya.

Mas Achmad Santosa kemudian memaparkan, dari pengamatan citra satelit dan sistem identifikasi otomatis (AIS) yang dilakukan sepanjang Juli-September 2022, KIA berbendera Vietnam yang melakukan illegal fishing pada September 2022 di LNU jumlahnya sebanyak 54 kapal.

baca juga : KKP dan TNI AL Tangkap Kapal Ilegal, Nelayan Natuna Terus Menjerit

 

Deteksi Kapal Ikan Vietnam di ZEE Indonesia non sengketa Laut Natuna Utara pada 2021 – 2022. Sumber : IOJI

 

Semua kapal tersebut terdeteksi melakukan kegiatannya di ZEEI non sengketa yang letaknya ada di bagian utara LNU. Jumlah tersebut belum termasuk empat KIA Vietnam yang sudah melakukan illegal fishing di lokasi yang sama sebelum periode Juli-September 2022.

Metodologi pengamatan yang dilaksanakan IOJI tersebut, menjelaskan lebih detail bagaimana KIA Vietnam bergerak secara berpasangan menuju arah yang sama dengan jarak antara kapal mencapai 300 hingga 400 meter.

Cara tersebut kemudian dikombinasikan dengan kecepatan rendah yang rerata mencapai 2 hingga 3 knot. Temuan tersebut menghasilkan kesimpulan yang diperoleh IOJI, bahwa KIA Vietnam beroperasi dengan pola penangkapan ikan pair trawling selama di ZEEI non sengketa.

Menurut Mas Achmad Santosa, hal itu sejalan dengan temuan Petri Suuronen yang menyebut bahwa sebanyak 10.000 hingga 15.000 KIA berbendera Vietnam sudah beroperasi saat menangkap ikan dengan menggunakan metode pair trawling.

“Tren operasi KIA Vietnam di ZEEI non-sengketa sudah berlangsung sejak tahun 2021 hingga September 2022,” terang dia.

Apa yang dilakukan oleh KIA Vietnam itu, melanggar pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia memiliki hak berdaulat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati atau non hayati di ZEEI.

Itu berarti, Pemerintah Indonesia memiliki wewenang dan kewajiban utama untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menindak pelanggaran pemanfaatan SDI di ZEE Indonesia. Termasuk, dengan melakukan penangkapan kapal dan penuntutan pidana.

baca juga : KIA Vietnam Makin Berani di Natuna, Nelayan: Kami Mau Makan Apa?

 

Salah satu kapal asing Vietnam yang ditangkap TNI AL pada Januari 2022. Foto : Humas TNI AL

 

Berdasarkan kertas analisis yang diterbitkan IOJI, penindakan harus dilakukan karena penggunaan alat penangkapan ikan (API) trawl dengan cara berpasangan (dua kapal) terbukti sudah berdampak pada penurunan stok ikan di wilayah perairan Vietnam.

Akibat stok yang terus berkurang di perairan negara tersebut, kapal-kapal perikanan kemudian bondong-bondong ke luar negara agar bisa tetap menangkap ikan. Hampir semua KIA Vietnam kemudian pindah beroperasi ke kawasan Laut Cina Selatan, dan kemudian LNU di ZEE Indonesia.

IOJI menyebut, API jenis pair trawl masuk kategori alat tangkap yang merusak SDI dan dilarang penggunaannya di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Dengan demikian, pelanggaran yang dilakukan KIA Vietnam dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp30 miliar.

Pergerakan kapal perikanan dari Vietnam tersebut saat berada di ZEEI, juga diketahui mendapatkan pengawalan dari kapal patroli negara tersebut, yaitu VFRS. Keberadaan kapal patrol tersebut diketahui ada di garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam, yang tidak jauh dari pusat intrusi KIA Vietnam di ZEEI non sengketa.

Seperti halnya kapal perikanan mereka, VFRS juga polanya terdeteksi beroperasi sepanjang tahun dai 2021 hingga September 2022. Aktivitas tersebut, seharusnya tidak dilakukan oleh Vietnam, karena mereka memiliki kewajiban internasional untuk menjalankan peran negara bendera dalam mencegah dan menekan kegiatan illegal fishing dari KIA Vietnam.

“Ada transponder AIS dan VMS (sistem pemantauan kapal) yang terpasang dalam KIA Vietnam. Itu seharusnya digunakan oleh Pemerintah Vietnam untuk menjalankan kewajibannya,” tegas dia.

Mas Achmad Santosa menambahkan, apa yang dilakukan VFRS tersebut sudah berlangsung selama beberapa tahun ini. Mereka diketahui mengawal dan memberikan perlindungan kepada kapal-kapal perikanan Vietnam saat melaksanakan kegiatan illegal fishing.

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam South China Sea Tribunal Award (2016), Pemerintah Vietnam dinilai melanggar kewajiban saling menghormati (due regard obligation) terhadap hak berdaulat Indonesia di ZEEI.

perlu dibaca : Patroli Bersama Belum Jangkau Laut Natuna Utara. Kenapa?

 

Kapal ikan asing vietnam yang terparkir di PSDKP Kota Batam. Kapal ini mulai hancur karena menunggu proses hukum dan masa lelang yang cukup lama. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Armada Cina

Selain Vietnam, ancaman terhadap keamanan laut juga datang dari kapal pengawas Cina (China Coast Guard/CCG) 5403 yang terdeteksi melaksanakan aktivitasnya pada 8 September 2022. Dari analisis IOJI, kapal tersebut melakukan pelayaran sekitar 750 meter yang berjarak dari sebuah kapal nelayan Natuna yang merekam kegiatan tersebut.

Kapal nelayan tersebut juga kemudian memberikan kesaksiannya tentang CCG 5403 tersebut. Saat berlayar, CCG 5403 sempat memotong haluan kapal nelayan yang berarti itu adalah kegiatan yang bisa membahayakan kapal nelayan tersebut.

Apa yang dilakukan CCG 5403 itu, bisa diartikan sebagai bentuk nyata gangguan terhadap pemanfaatan hak berdaulat atas sumber daya alam yang ada di ZEE Indonesia. Itu artinya, secara tidak langsung Pemerintah Cina sudah melanggar kewajiban due regard terhadap Pemerintah Indonesia.

Tak cukup di LNU, armada dari Cina juga terdeteksi melakukan kegiatan yang melanggar saat berada di perairan Indonesia pada periode Juli-September 2022. Kapal yang terdeteksi itu adalah Yuan Wang 5 yang terbukti melakukan pelanggaran kewajiban perlintasan di ALKI 1, tepatnya di perairan Selat Sunda.

Berdasarkan temuan IOJI, kapal Yuan Wang 5 adalah kapal dengan ukuran 25.000 gros ton (GT) yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan satelit dan misil Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). ICBM tidak lain adalah peluru balistik antarbenua yang memiliki jangkauan sangat jauh.

Dalam operasionalnya, kapal tersebut dikendalikan oleh salah satu matra angkatan bersenjata Cina, yaitu People Liberation Army Strategic Support Force (PLASSF). Saat beroperasi, Yuan Wang 5 bertugas untuk melaksanakan misi Telemetry, Tracking, and Control (TT&C).

“Melalui misi ini, PLASSF dapat memperoleh informasi mengenai status dan lokasi satelit di antariksa serta memberikan komando ke satelit tersebut,” sebut Mas Achmad Santosa.

Lebih rinci, dia memaparkan bahwa Yuan Wang 5 beroperasi di ALKI 1 di dekat pulau Sangiang dan pulau Tunda. Kehadiran kapal tersebut, diduga kuat melanggar norma yang berlaku di Indonesia dan internasional.

menarik dibaca : Diintimidasi Kapal Penjaga Pantai China, Nelayan Natuna Teriak NKRI Harga Mati

 

Pola pergerakan pelanggaran perlintasan Kapal militer laut Yuan Wang 5 milik China di ALKI Selat Sunda pada Juli – September 2022. Sumber : IOJI

 

Pertama, adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.

Kedua, adalah Pasal 53 (3) UNCLOS 1982 tentang kewajiban perlintasan dengan normal untuk transit terus menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.

Ketiga, adalah Pasal 7 (2) PP 37/2002 jo. Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM 130 Tahun 2020 tentang Penetapan Sistem Rute di Selat Sunda dan Pasal 53 (11) UNCLOS 1982 tentang kewajiban melintas dalam skema pemisah lintas/traffic separation scheme di ALKI.

Dari hasil analisis IOJI, kapal Yuan Wang 5 saat melintasi ALKI 1, kecepatan awalnya konsisten antara 15 sampai 20 knot. Namun kemudian kapal melewat pulau Sangiang dan mendekati pulau Tunda dengan kecepatan yang terus menurun signifikan antara 7-8 knot.

Dengan jarak yang hanya menyisakan 3,9 kilometer (km) dengan pulau Tunda, aktivitas perlintasan tersebut diduga kuat melanggar Pasal 4 ayat (1) PP 37/2002. Hal itu, karena kapal melakukan penurunan kecepatan yang signifikan; dan perlintasan yang semakin menjauh dan tidak sejajar dengan garis sumbu ALKI-I;

Selain itu, Yuan Wang 5 juga diduga melanggar, karena anomali lintasan jika dibandingkan dengan lintasan Kapal Yuan Wang 6 di ALKI-I pada April 2022. Saat itu, Yuan Wang 6 melintas di ALKI-I dengan kecepatan rata-rata 18 knot dan tidak menyimpang dari garis sumbu ALKI-I.

IOJI memaparkan, dengan melintas di sebelah timur pulau Sangiang, kapal Yuan Wang 5 sudah melanggar aturan mengenai traffic seperation scheme (TSS) di Selat Sunda. Pasal 53 ayat (11) UNCLOS 1982 yang mengatur setiap kapal asing saat melintas wajib menghormati TSS yang ditetapkan oleh Indonesia dengan cara melintas pada jalur TSS tersebut dan patuh terhadap berbagai ketentuan teknis yang ditetapkan saat melintas.

Adapun, jalur TSS Selat Sunda telah diadopsi oleh organisasi maritim internasional (IMO) dan lebih lanjut ditetapkan dalam Kepmenhub RI 130/2020. Aturan ini mewajibkan setiap kapal yang melintas di Selat Sunda untuk melintasi di sebelah barat pulau Sangiang.

baca juga : Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia

 

Tangkapan layar video nelayan memperlihatkan kapal penjaga pantai China berpatroli di perairan ZEE Indonesia. Sumber : video Dedi nelayan Natuna

 

Sedangkan Direktur Operasi dan Latihan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Bambang Irawan mengatakan, perlintasan kapal Yuan Wang 5 terus dimonitor oleh Bakamla dan dibahas dalam rapat koordinasi harian bersama instansi penegak hukum lain.

Dia mendesak agar Pemerintah Indonesia bisa menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Cina, atas dugaan pelanggaran perlintasan yang dilakukan kapal Yuan Wang 5. Cara tersebut harus dilakukan, agar ada perhatian dari negara tersebut.

Di sisi lain, agar operasi bisa terus membaik dan penegakan hukum bisa berjalan di laut, integrasi data antar instansi mutlak untuk dilakukan segera. Mengingat, kegiatan bersifat ilegal yang ada di laut akan terus berjalan oleh siapa pun, dan negara mana pun.

Sementara Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Arie Afriansyah menilai apa yang dilakukan oleh kapal patroli Pemerintah Vietnam di LNU, menjadi bagian dari perjuangan negara tersebut untuk klaim single line dalam perundingan batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam yang saat ini masih terus berlangsung.

Dengan fakta tersebut, maka diperlukan usaha penegasan oleh Pemerintah Indonesia terhadap wilayah yurisdiksinya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, termasuk klaim ZEE Indonesia.

“Dalam hal ini, aparat penegak hukum harus hadir dan meningkatkan usaha penegakan hukum yang lebih terintegrasi di wilayah perbatasan, ALKI dan terhadap adanya tindak pidana di laut,” tutur dia.

Sementara, terkait kegiatan yang diduga kuat sudah terjadi pelanggaran secara hukum oleh kapal pengawas milik Pemerintah Cina, CCG 5403, Ketua Center for Sustainable Ocean Policy (CSOP) FHUI itu menjelaskan kalau manuver yang dilakukan kapal tersebut berlindung pada kebebasan navigasi.

Dia berpendapat, jika kehadiran CCG 5403 ataupun kapal lain yang melakukan pelanggaran di wilayah yurisdiksi Indonesia, dan terbukti menghambat perikanan Indonesia, maka aparat penegakan hukum Indonesia wajib mengusir mereka.

Kemudian, terkait kapal Riset Cina Yuan Wang 5 (YW-5) yang terdeteksi melakukan pelayaran di perairan sekitar pulau Sangiang menuju pulau Tunda, dia menilai bahwa itu jelas sudah terjadi deviasi perjalanan, terutama dalam ALKI dan TSS selat sunda yang mendapat persertujuan IMO.

“Perlu ada protes dan penindakan pengusiran atas kapal riset tersebut,” pungkas dia.

 

Rekomendasi

Agar persoalan yang dipaparkan di atas bisa dipecahkan dan tidak berulang kembali, IOJI menyampaikan rekomendasi:

  1. Melaksanakan sinergi (concerted efforts) dalam menangani permasalahan keamanan laut di LNU;

Ketegasan Pemerintah RI terhadap sikap Pemerintah Vietnam sangat diperlukan. Preseden baik berupa sikap tegas RI dengan menghadirkan armada patroli gabungan ke sisi utara garis landas kontinen Indonesia – Vietnam berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 74 Tahun 2022 tentang Rencana Patroli Nasional Tahun 2022 perlu diteruskan

  1. Terhadap Kapal Yuan Wang 5

IOJI memandang penting bagi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan nota diplomatik kepada Pemerintah Cina dan meminta informasi rinci mengenai maksud dan tujuan perlintasan kapal Yuan Wang 5 tersebut.

Pemerintah juga perlu memperingatkan kepada Pemerintah Cina untuk menghormati ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia dan hukum internasional yang berkaitan dengan pelayaran. Mengingat, armada Yuan Wang (termasuk Yuan Wang 3, 5 dan 6) terdeteksi pernah melintas melewati ALKI.

  1. Peningkatan kemampuan deteksi terhadap kapal riset canggih yang melintas di ALKI.

Pemerintah RI harus segera memulai eksplorasi dan menguji teknologi yang dapat mendeteksi adanya penggunaan teknologi oleh kapal riset canggih saat melintas di sepanjang ALKI. Kemudian, Pemerintah perlu juga merumuskan strategi penempatan teknologi pendeteksian tersebut di atas kapal patroli dan/atau titik-titik tertentu di daratan agar wilayah pendeteksian dapat mencakup ALKI-I, ALKI-II dan ALKI-III. (***)

 

Exit mobile version