Mongabay.co.id

Kajian Forest and Finance: Uang dari Negara Maju Berisiko bagi Hutan

 

 

 

Baru-baru ini, Forest and Finance melakukan kajian terhadap ratusan perusahaan dan lembaga keuangan—dominan dari negara-negara maju–, termasuk yang tergabung dalam G20. Hasilnya, Forests & Finance menemukan, bank menyalurkan kredit US$267 miliar pada periode 2016-September 2022 kepada 300 perusahaan yang memproduksi dan gunakan komoditas yang berisiko terhadap hutan di tiga kawasan hutan tropis terbesar di dunia, yakni, Amerika Latin, Afrika Barat dan Afrika Tengah serta Asia Tenggara, termasuklah Indonesia.

Kajian ini juga mengambil studi kasus komoditas bubur kertas dan kertas di Indonesia serta daging sapi di Brasil. Ia juga menganalisis kinerja penyandang dana utama dalam mengadopsi kebijakan perlindungan hutan dan hak asasi manusia (HAM).

Laporan ini memperlihatkan, komoditas-komoditas ini terkait degradasi dan kebakaran lahan gambut di Indonesia juga laju deforestasi maupun konflik sosial yang memecahkan rekor di Brasil.

Temuan Forests & Finance juga menunjukkan, para penyandang dana terbesar sektor bubur kertas dan kertas di Indonesia dan daging sapi di Brasil memiliki kebijakan sangat lemah dan hanya memberikan beberapa perlindungan untuk mencegah degradasi lingkungan yang memicu kebakaran hutan dan lahan.

“Kebijakan mereka, juga lemah dalam menegakkan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, termasuk dalam memastikan perusahaan tak mengeksploitasi orang atau anak melalui kerja paksa,” kata Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia dalam konferensi pers hybrid bersama Walhi Nasional dan Jikalahari, Oktober lalu.

 

Baca juga: Kala Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

 

Desakan bagi negara G20

Dalam November ini di Bali, Indonesia, berlangsung pertemuan G20. Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, sebagian bagian dari F&F menuntut komitmen negara anggota forum kerja sama multilateral atau G-20 agar menerapkan sektor keuangan berkelanjutan.

“Kreditur 90% yang menyalurkan utang dan penjaminan kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan berasal dari negara G-20,” kata Edi.

Komoditas yang berisiko bagi hutan itu antara lain, sapi, sawit, kayu, kedelai, karet, bubur kertas. Di Asia Tenggara, sekitar 91% untuk membiayai komoditas sawit dan bubur kertas.

Sementara, para kreditur besar berasal negara-negara seperti Brazil US$107,2 miliar, Indonesia US$27,7 miliar, Tiongkok US$21,3 miliar, Amerika Serikat US$19,1 miliar, dan Jepang US$18,1 miliar.

Lembaga-lembaga keuangan itu seperti Banco do (Brazil), Bradesco (Brazil) dan Rabobank (Belanda). Sedangkan perbankan di Indonesia, seperti Bank Mandiri US$6,2 miliar berada di urutan ke sembilan.

Selain itu, katanya, US$39,8 miliar obligasi dan pengusaan saham yang disediakan perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan, 55% berada di Asia Tenggara. Ia tersalurkan kepada perusahaan sawit 47%, 23% bubur kertas, karet 12%, kedelai 4%, kayu 4% dan daging sapi 10%.

Investor terbesar yang menyediakan obligasi dan jadi pemegang saham bagi perusahaan dengan komoditas yang merugikan hutan terdiri atas Amerika Serikat US$11,6 miliar, Malaysia US$11 miliar, Brazil US$3,2 miliar, Chili US$3,1 miliar, dan Jepang US$2,2 miliar. Termasuk di dalamnya, dana pensiun, perusahaan asurasi dan manajer aset.

Untuk investor, antara lain Permodalan Nasional Berhad (Malaysia) US$5,3 miliar, Employees Provident Fund (Malaysia) US$2,6 miliar, Banco de Creditor Inversiones (Chili) uS$2,5 miliar, BlackRock (Amerika) US$1,9 miliar dan Vanguard (Amerika) US$1,8 miliar.

“Sebanyak 54% investor dari Negara G-20. Amerika Serikat US$11,6 miliar, Brazil US$3,2 miliar, Jepang US$2,2 miliar dan Uni Eropa US$2 miliar dan Indonesia US$0,4 miliar,” kata Edi.

 

Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Gajah hamil tua mati mengenaskan di konsei HTI di Bengkalis. Foto:Rimba Satwa Foundation

 

Sebanyak US$ 91 miliar dana tersalurkan dalam bentuk utang dan penjaminan kepada perusahaan dengan komositas yang merisikokan hutan di Asia tenggara.

Sedangkan kreditur di Asia Tenggara berasal dari Indonesia US$27,2 miliar tersalurkan melalui Bank Mandiri US$6,2 miliar, BRI US$5,6 miliar, BCA US$4,5 miliar, dan BNI US$3,8 miliar. Sedangkan Tiongkok US$14 miliar mengalir melalui Eversea Chinese Bank Corporation.

Malaysia menyalurkan US$12,4 miliar melalui Malayan Banking US$5,3 miliar, CIMB Group US$3,1 miliar. Jepang US$8,2 miiar sebagian tersalurkan ke Mitsubishi UFJ Financial US$2,5 miliar, dan Mizuho Financial US$3 miliar. Singapura US$6 miliar.

Sementara perusahaan yang mendapat utang dan penjaminan terbesar Sinar Mas Group US$30,3 miliar, disusul Sinochen Group US$7,7 miliar, dan Royal Golnden Tagle Group US$6,9 miliar. Kemudian, Salim Group US$5,5 miliar, COFCO US$3,4 miliar dan Perkebunan Nusantara Group USD 3,3 miliar.

Sampai September 2022, sebanyak US$21,6 miliar obligasi dan penguasaan saham investor, 91% ke perusahaan dengan komoditas sawit, bubur kertas 3%, karet 5% dan kayu 1%.

 

Dokumen: Kajian Forest and Finance

 

***

Sejumlah perbankan melakukan penilaian terhadap perusahaan penerima pinjaman dalam bidang lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST). Bank Mandiri menilai PT Lestari Tani Teladan, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AALI) di Sulawesi Tenggara. Antara lain dengan nilai rata-rata cukup baik dalam pengelolaan lingkungan hidup, sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati maupun aspek kepatuhan administrasi.

Nilai terendah, kata Edi, pada aspek tata kelola dan sosial. Perusahaan ini, tak penuhi minimal 20% pembangunan kebun masyarakat dari luas area izin usaha perkebunan. Namun, tak ada kejelasan penyelesaian sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

“Pada banyak kasus kepatuhan adminstrasi tak sebanding lurus dengan kepatuhan lingkungan, sosial dan tata kelola,” katanya.

Sedangkan Bank Mandiri, menilai anak Astra Agro Lestari, PT Agri Nusa Abadi rata-rata buruk. Aspek terendah aspek administrasi, tata kelola dan sosial. Perusahaan, katanya, tak memiliki legalitas pengusahaan lahan dan legalitas usaha perkebunan. Juga ada tumpang tindih lokasi usaha perkebunan dengan konsesi lain dan hak masyarakat.

Dia bilang, proses penegakan hukum tak mudah, apalagi menyangkut taipan dan menjelang pemilu 2024. Dengan begitu, katanya, perlu konsolidasi masyarakat sipil untuk monitoring dan menyodorkan bukti. Kemudian, usaha mendorong aparat penegak hukum menindak pelanggaran hukum bagi perusahaan perusak lingkungan.

Pemerintah, kata Edi, harus serius dan bikin terobosan dengan menjerat lembaga keuangan yang membiayai perusahaan yang melakukan kejahatan.

Selama ini, katanya, di Indonesia belum ada lembaga jasa keuangan yang bertangung jawab atas pendanaan yang mereka berikan pada sektor yang berisiko rusak hutan maupun langgar HAM.

“Ahli hukum harus membuat terobosan hukum baru. Lembaga keuangan harus bertanggung jawab karena sudah jadi fasilitator kejahatan.”

 

Baca juga: Buruh Perempuan Tewas Kena Terkam Harimau di Konsesi HTI di Riau

Kebun sawit perusahaan PT Pasangkayu, salah satu anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Harus bertanggungjawab

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, negara maju harus turut bertangunggjawab karena telah menghancurkan dan merusak lingkungan hidup.

Pemerintah Indonesia, katanya, harus menagih tanggung jawab negara maju yang merusak hutan/lingkungan hidup dan melanggar HAM.

AALI melalui 41 anak perusahaan beroperasi di delapan provinsi. Selama lima tahun, Walhi mengadvokasi kasus kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM PT Mamuang, PT Lestari Tani Teladan (LTT), PT Agro Nusa Abadi (ANA) di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

Pola mereka sama, lingkungan rusak sampai kriminalisasi warga seperti Gusman dan Sudi, petani asal Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara.

Parahnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Gusman dan Sudi enam bulan. Padahal, ANA selama 16 tahun beroperasi tanpa hak guna usaha (HGU), hanya mengantongi izin lokasi Pemerintah Morowali Utara. Bahkan, ANA menguasai lahan petani 5.000 hektar luasan dari izin lokasi 19.675 hektar.

“Mencaplok ruang hidup dan kelola masyarakat di Sulteng, dan Sulbar,” katanya.

 

 

Penerima manfaat dari bisnis ini, katanya, antara lain, keluarga besar yang tinggal di Inggris. Untuk itu, dia meminta negara maju yang tergabung G-20 bertangungjawab atas praktik bisnis yang melanggar HAM dan merusak lingkungan di Indonesia.

Dalam advokasinya, Walhi melayangkan surat, mendesak enam consumers brand meliputi Danone, Nestle, PnG, Colgate, Loreal, Pepsico untuk menangguhkan AALI. Namun, baru Nestle yang membuat surat terbuka untuk menyetop sawit yang berasal dari AALI. Mereka menilai, AALI terbukti melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan lingkungan.

Sebaliknya, Pemerintah Indonesia menuduh organisasi masyarakat sipil malah melakukan kampanye hitam sawit. Padahal, merek produk konsumen seperti Nestle, mengakui ada praktik buruk dalam kelola sawit.

“Investor dan kreditor, sebagian besar bagian dari negara G-20. Negara maju, yang turut terlibat mengkriminalisasi, menyebabkan konflik, perampasan tanah, dan deforestasi.”

Uli menilai, kebijakan pemerintah selama ini mengakomodasi pelanggaran hukum. Karena, katanya, perusahaan sawit yang mencaplok kawasan hutan, tidak ditindak justru ada ruang untuk ‘melegalkan.’

“Penegakan hukum makin gelap. Perlu kolektif konsolidasi masyarakat sipil membongkar kejahatan lingkungan. Membuat gerakan politik rakyat yang besar.”

Walhi pun mendesak, perusahaan perusak lingkungan yang berpraktik tanpa izin ditindak tegas. Perusahaan juga wajib melakukan pemulihan hutan yang mereka rusak.

“Indonesia mengorbankan lingkungan dan hak rakyat atas pola konsumsi,” katanya.

 

Proses pencarian Sehat, buruh perusahaan HTI yang kena terkam harimau. Kawasan ini hutan di lahan gambut di Riau. Foto: BBKSDA Riau

 

Sementara Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), juga bagian dari aliansi F&F memaparkan soal perusahaan di Riau, yang produknya berisiko pada hutan.

Temuan lapangan Jikalahari, sepanjang 2008-2019, sebanyak 20 korporasi terlibat dugaan korupsi kehutanan.

Koalisi Eyes on the Forest (EoF) pada Januari 2022, melakukan investigasi dua pemasok kayu APP di Riau, yakni PT Arara Abadi dan PT Sekato Pratama Makmur. Ditemukan vegetasi alam dan perluasan HTI di dalam cagar biosfir UNESCO Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Kabupaten Siak, Riau.

Ditemukan tumpukan kayu yang akan jadi bubur kertas dan kayu. Ada jejak kaki gajah dan harimau, HTI berada di wilayah jelajah satwa yang seharusnya tak boleh masuk tanaman akasia. Lintasan satwa, seharusnya dibuatkan koridor khusus.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak terbuka dalam meninjau analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Kasus lain yang mengungkap penggunaan kawasan hutan untuk kebun sawit dengan tertangkapnya, Surya Darmadi, bos PT Duta Palma Group oleh Kejaksaan Agung,

Surya didakwa gunakan kawasan hutan dan lahan seluas 37.095 hektar di Riau sejak 2003.

“Menunggu drama taipan masuk penjara. Untuk keadilan mereka yang meninggal karena asap, tanah masyarakat adat yang dirampas korporasi,” katanya.

Untuk kajian ini, FnF merekomendasikan sektor jasa keuangan menyusun Indikastor LST lebih detail. Juga, meninjau secara berkala penerima dana pada indikator berkala disertai ujii lapangan yang kemprehensif.

“Membangun transparansi terkait informasi indikator LST dan menyediakan mekanisme komplain bagi publik,” kata Edi.

Sedangkan bagi regulator jasa keuangan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mereka sarankan, membangun hub-informasi untuk indikator LST– merupakan bagian transparansi publik termasuk mekanisme komplain.

Hub-informasi juga penting, katanya, untuk menghubungkan kementerian/lembaga terkait dengan lembaga regulator keuangan. Kemudian, membangun mekanisme penyelesaian konflik terpadu yang melibatkan kelompok masyarakat sipil.

“Harus ada konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikastor LST,” kata Edi.

 

 

*******

 

 

Exit mobile version