Mongabay.co.id

Warga Pohuwato Bergantung dari Tambang Emas, Nexus3: Bahaya, Bantu Alihkan Mata Pencarian

 

 

 

 

Siang itu, Rahmat Karim masih sibuk menggali tanah dengan linggis di perbukitan agak tinggi di Desa Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Saudaranya sedang menyedot air dari Sungai Tihu’o untuk disemprotkan ke tempat penggalian dengan pompa untuk membantu penggalian.

Bukit pun perlahan-lahan mulai terkelupas, tanah jatuh ke tempat penampungan berair yang sudah dibuat sebelumnya.

Tempat penampungan itu, terlihat seperti kali kecil yang jadi tempat air untuk mengencerkan tanah-tanah yang sudah tergali.

Saat tanah sudah berada di dalam kali kecil itu, Rahmat mengaduk-aduk pakai sekop agar tanah sedikit encer. Kemudian dia alirkan bersama air menuju saluran selebar sekitar satu meter.

Di dalam saluran itu, Rahmat menyusun batu-batu kecil berjenjang guna memperlambat aliran air agar tanah mudah terendapkan di dalam karpet. Kedua sisi karpet, disanggah menggunakan beberapa kayu balok agar tanah mudah terperangkap. Setelah itu, tanah yang terperangkap langsung diangkat dan masukkan ke dalam dulang.

Tanah yang masuk ke dulang kemudian digoyang-goyang bersama air untuk mengeluarkan butiran-butiran tanah kasar. Setelah itu akan tampak pasir hitam yang disebut “pasir penghantar emas”. Kemudian akan kelihatan serbuk-serbuk halus berwarna agak kekuning-kuningan. Rahmat bilang, itu yang disebut sebagai emas halus.

“Serbuk-serbuk halus yang berwarna kekuning-kuningan ini yang dikumpulkan sampai banyak agar bisa dijual. Sebelum dijual, kita harus memanaskan emas itu agar kotoran yang menempel di serbuk emas hilang,” katanya kepada Mongabay, Juli lalu.

Rahmat menambang emas dengan cara-cara tradisional. Model pertambangan itu dia lakukan sejak 1990-an dan masih banyak yang tetap melakukan hingga kini. Dia bilang, sesekali dia pakai air raksa atau merkuri untuk mempercepat pengelolaan.

 

Baca juga: Tambang Emas Ilegal Jarah Cagar Alam Panua

Pelang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk jaga lingkungan bersama. Foto: Sarjan lahay/Mongbay Indonesia

 

Setiap hari, dia bersama saudaranya bisa mendapatkan emas 1-2 gram. Satu gram, harga Rp600.000-Rp650.000. Dia jual emas sepekan sekali.

“Bertambang emas, sudah dari dulu saya lakukan. Kita hidup sampai hari ini karena tambang ini. Anak saya sudah ada dua orang yang berhasil menempuh pendidikan dengan hasil bertambang emas ini.”

Menjadi penambang, merupakan pekerjaan andalan Rahmat. Meski mengetahui dampaknya, Rahmat seakan tak ada pilihan lain, selain jadi penambang emas dengan mempertaruhkan nyawa.

Rahmat pernah jadi petani. Dulu, dia tanam buah-buahan dan bumbu-bumbu dapur yang dijual ke pasar. Karena kebutuhan keluarga makin besar, akhirnya tambang menjadi pilihan.

Kalau bertani, katanya, perlu waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan hasil. Dengan tambang emas, hanya perlu beberapa hari, keluarga bisa makan enak dan membiayai kebutuhan rumah tangga, termasuk pendidikan anak-anaknya.

“Kalau saya tidak nambang, anak dan istri saya mau makan apa? Hanya ini pekerjaan yang saya bisa lakukan. Rata-rata, masyarakat desa Karya Baru juga memiliki nasib yang sama dengan saya,” katanya.

Ratna Dunggio, warga Desa Karya Baru yang berdagang di wilayah itu mendapat berkah dengan ada pertambangan ilegal. Sejak tambang ada, Ratna sudah berjualan sampai sekarang.

Dengan ada tambang, ekonomi keluarga sangat terbantu. Dia bisa mendapatkan ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah dalam sehari berjualan.

“Jualan saya ini hanya makanan, minuman, dan rokok-rokok. Ada juga beberapa kebutuhan rumah tangga yang saya jual di sini. Alhamdulillah, jualan saya ini sangat laku tiap hari, banyak yang membeli,” katanya.

 

Baca juga: Kala Tambang Emas Ilegal Rusak Sungai Tihuo Dengilo dan Lahan Tani di Pohuwato

Lubang bekas tambang emas menganga begitu saja. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Ratna bilang, warga Desa Karya Baru, tergantung dengan pertambangan emas ini. Menambang, jadi pekerjaan utama memenuhi kebutuhan keluarga.

Di lokasi pertambangan itu, laki-laki bekerja sebagai penambang, perempuan biasa jadi pedagang, atau di tukang masak.

Mereka khawatir dengan isu penertiban dan penutupan pertambangan karena masih berstatus ilegal. Dia takut kehilangan pekerjaan yang sudah puluhan tahun digeluti.

“Warga takut terlibat dengan hukum, karena mayoritas tidak memiliki pendidikan memadai. Tapi, warga harus bertambang, karena tidak ada pekerjaan lain. Kami kerja di mana kalau tambang ini ditutup?”

 

***

Juni lalu, ada sembilan warga diamankan polisi karena pakai alat berat di lokasi pertambangan hingga masuk dalam Cagar Alam Panua. Delapan orang jadi pelaku utama dan satu operator alat berat. Sembilan orang itu diserahkan ke Polres Pohuwato untuk penindakan hukum.

Pada Mei lalu, Dit Reskrim Polda Gorontalo menangkap Ayub, yang sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena menambang emas tanpa izin di Desa Karya Baru.

Pertambangan ilegal di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Pohuwato ini sudah jadi bahasan lama. Bupati Pohuwato, Saipul Mbuinga pernah membuat surat melarang warga sekitar menambang emas tetapi masih berjalan hingga kini.

Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pohuwato mengatakan, pemerintah berkomitmen agar aktivitas tak merusak lingkungan. Namun, katanya, kalau bicara pertambangan rakyat, perlu masukan dari berbagai pihak dalam pengambilan keputusan. Apalagi, alasan warga menambang, karena masalah ekonomi.

Dia menyadari pertambangan ilegal di Dengilo masih berlangsung meski sudah ada larangan dari pemerintah daerah. Bahkan, katanya, pertambangan itu sudah merusak lingkungan dan mengancam lahan-lahan pertanian seperti sawah produktif di wilayah itu. Dia dilema mengambil keputusan.

“Kita bisa menindak pertambangan ilegal di Dengilo. Tapi, bagaimana kondisi masyarakat sekitar jika kehilangan pekerjaan? Salah satu pekerjaan mereka hanya bertambang. Kita sangat dilema,” kata Sumitro kepada Mongabay.

Jailani, dari UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah III Pohuwato juga merasakan hal sama. KPH yang mengawasi hutan produksi konversi tak bisa berbuat apa-apa ketika wilayah mereka sudah tergerus pertambangan ilegal.

Untuk ini, katanya, perlu ada ruang bersama membahas permasalahan dan mempertimbangkan ekonomi warga sekitar.

Saat mengambil tindakan, mereka sering memikirkan risiko bagi warga sekitar. Katanya, sudah puluhan tahun, warga bergantung hidup dari pertambangan.

Untuk itu, katanya, perlu ada kajian komprehensif sebelum mengambil tindakan penutupan aktivitas terlarang ini.

“Warga bertambang itu karena persoalan ekonomi. Kita juga sangat dilema soal itu, karena sudah menyangkut masalah perut. Jika lokasi itu di tutup, apakah pemerintah menyediakan pekerjaan kepada mereka? Itu pertanyaan yang muncul dari warga penambang,” kata Jailani.

Arief Abbas, antropolog dan Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo mengatakan, pertambangan ilagal di Desa Karya Baru, ini tak bisa dipandang hanya dari satu aspek keilmuan saja, harus menyeluruh. Misal, dari aspek ekonomi dan sosial kemasyarakat sekitar lokasi pertambangan ilegal itu.

Menurut Arief, dalam ilmu antropologi, pertambang rakyat sudah jadi satu kultur sistem pertanahan baru untuk masyarakat. Ekosistem pertambangan rakyat, katanya, tidak hanya menghidupi penambang, juga ikut menghidupi pedagang, ojek, dan pekerjaan turunan lain.

Sebenarnya, para penambang mengetahui risiko tetapi pertimbangan ekonomi mengalahkan keselamatan.

Pemerintah, katanya, tidak bisa langsung mengambil tindakan penutupan dan penertiban, tetapi harus mengintervensi mereka dalam segi pengelolaan. Pemerintah juga harus memahami konteks di lokasi pertambangan rakyat.

 

Baca juga: Tambang Emas Ilegal Rusak Rumah ‘Petani Hutan’ di Panua

Tutupan hutan hilang terbabat tambang emas ilegal di Pohuwato. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Jufri Hard, pegiat sosial di Gorontalo mengatakan, pemerintah pusat sudah memberikan izin wilayah pertambangan rakyat (WPR) sejak awal 2022 di lokasi itu.

Pemerintah mesti revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk menyesuaikan dengan lokasi yang sudah memiliki WPR.

“Kalau perusahaan, pemerintah secepat-cepatnya revisi RTRW, tapi kalau masyarakat yang meminta, pemerintah seperti slow respon. Ini harus jadi perhatian, pemerintah jangan pilih kasih,” katanya.

Kalau RTRW dan IPR sudah diberikan, pemerintah daerah harus mendampingi masyarakat dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan mengintervensi pengelolaan pertambangan sesuai UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dia bilang, intervensi pengelolaan pertambangan sesuai dengan kaidah tanpa alat berat. Penggunaan alat berat di WPR dan bagi pemilik IPR tidak boleh, karena bisa berdampak kepada lingkungan sekitar. Selain itu, pemerintah juga tidak memperbolehkan penggunaan merkuri dalam lokasi tambang rakyat itu.

Pemerintah hanya mengizinkan penggunaan sianida yang dibatasi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Kalau tak ada ntervensi pemerintah secara detail, katanya, bisa berisiko dan berdampak buruk terhadap masyarakat sekitar. “Itu salah satu cara membantu masyarakat, tanpa menutup pertambangan.”

Praktik ini, katanya, pernah dilakukan United Nations Development Program (UNDP) yang mengintervensi pengelolaan salah satu WRP di Gorontalo Utara. “Pemerintah Pohuwato bisa mengambil contoh itu.”

Sumitro bilang, pemerintah Pohuwato akan revisi RTRW menyesuaikan dengan WRP yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral awal 2022.

Saat ini, katanya, Pohuwato sedang mengkonsultasikan permasalahan ini kepada ahli-ahli pertambangan.

 

 

Bukan solusi, carikan mata pencarian pengganti

Yuyun Ismawati, Senior Advisor dan Co-founder Nexus3 Foundation mengatakan, pertambangan rakyat yang dilegalisasi berdasarkan WPR oleh pemerintah pusat dan daerah ternyata tak jadi solusi utama dalam meminimalisir kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan kepada penambang. Katanya, baik pakai merkuri atau sianida, kesehatan penambang tetap akan terancam.

Penggunaan sianida untuk pengolahan emas, katanya, tidak sepenuhnya bisa dilakukan masyarakat penambang secara baik dan sesuai protokol. Sejak 2010, dia melakukan penelitian dan temuan mengungkapkan, masyarakat penambang kerap mengabaikan aspek-aspek keselamatan kerja baik bagi diri mereka, keluarga maupun masyarakat sekitar pengolahan.

“Saat penambangan, para penambang kerap tanpa perlindungan apapun, baik pengolahan emas sianida ataupun mercuri. Kondisi ini dapat menimbulkan risiko pencemaran udara, tanah dan air,” kata Yuyun.

Dia bilang, masalah lingkungan luar biasa besar kalau masyarakat sekitar lingkar tambang maupun penambang tidak mengetahui bahaya dari merkuri dan sianida.

Merkuri dan sianida, katanya, merupakan bahan yang sama-sama berbahaya bagi kesehatan, hanya dampak yang dirasakan berbeda pada waktu.

Yuyun meyakini, walaupun pemerintah mengintervensi pengelolaan emas di pertambangan rakyat dengan sianida sesuai protokol kesehatan, tetapi tetap akan ada celah kerusakan lingkungan.

 

Tanah dan sungai digali untuk cari emas di Pohuwato. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, pasti ada penambang yang tidak pakai protokol kesehatan, dan sianida bisa mencemari air di lokasi pertambangan.

Walaupun demikian, katanya, tak semua penambang di pertambangan rakyat pakai sianida. Pengolahan emas dengan mercuri akan tetap berjalan, karena tersedia di pasaran dalam berbagai ukuran dan kemasan, dibanding sianida.

Menurut dia, hal itu yang harus jadi perhatian pemerintah kalau benar-benar ingin menyelamatkan masyarakat dari ancaman kesehatan dan kerusakan lingkungan.

Menurut hukum Indonesia, merkuri masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memerlukan izin untuk impor dan digunakan untuk tujuan yang dibatasi.

Pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan Indonesia Bebas Merkuri 2030 dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM).

Perpres itu merupakan implementasi Konvensi Minamata tahun 2017 yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik.

Yuyun bilang, komitmen ini seharusnya dijaga dan dilaksanakan seluruh daerah termasuk Pemerintah Pohuwato untuk menanggapi pertambanga ilegal di wilayahnya.

Dia beberapa kali melakukan penelitian merkuri di Indonesia dan mengumpulkan sampel di sejumlah wilayah antara lain, Petelu (Nusa Tenggara Barat), Minahasa Utara (Sulawesi Utara), Mandor (Kalimantan Barat), Sekotong (Lombok Barat), Sukabumi, dan Garut (Jawa Barat).

Sampel yang diambil, merkuri di air, tanah, sedimen sungai, udara, ikan, beras, rambut, kulit dan darah.

Hasilnya, 70% masyarakat di sekitar tambang emas, rambutnya mengandung merkuri di atas 1 ppm masuk dalam kategori tinggi, karena melebihi angka aman sesuai standar World Health Organization (WHO).

 

 

Untuk merkuri di air, tanah, sedimen sungai, udara, ikan, beras, kulit dan darah juga sudah berada di atas standar.

Saat ini Indonesia, masuk peringkat kedua dengan kelompok populasi memiliki merkuri tinggi. Sayangnya, Indonesia tak memiliki sistem mekanisme informasi kepada publik soal kandungan merkuri yang sudah mencemari wilayah sekitar tambang.

“Sebetulnya, merkuri yang sudah mencemari lingkungan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Ini akan berdampak besar kepada kesehatan dan pertumbuhan manusia.”

Merkuri, katanya, dapat menyebabkan penyakit kronis dan akut. Penyakit kronis itu yaitu, disfungsi hati, penurunan leukosit, kelumpuhan anggota gerak, mati rasa, dan tremor (parkinson disease). Tremor merupakan keadaan tangan dan kaki selalu gemetar, selain itu otot wajah, dan bibir sering bergerak dengan tak sadar.

Selain itu, merkuri juga dapat menurunkan gairah beraktivitas, sulit tidur, emosi kadang memuncak, daya ingat kurang, kram pada saat kondisi cuaca dingin, dan sering merasa cemas. Sedangkan penyakit akut yang timbul seperti keracunan akut, diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit mata, vertigo, keguguran kandungan, dan penyakit kulit.

Merkuri akan menyerang sistem saraf pusat, hingga para penambang akan mengalami kerusakan saraf pusat, dan mengalami nyeri pada lengan dan paha. Kadang merasa lemah, sulit berdiri, gerakan lambat sulit bicara, mengalami gangguan mental, sakit kepala yang menusuk, serta hipersalivasi.

Bukan hanya itu, merkuri sangat berpengaruh secara signifikan terhadap urin seorang penambang emas. Artinya, para penambang berpotensi tak mendapatkan keturunan, atau keturunan cacat saat lahir jika terpapar merkuri pada konsentrasi tinggi.

Penyebaran merkuri bisa melalui perairan, dan mudah masuk ke dalam dan berpindah ke biota air lain, bahkan bisa ke lahan pertanian berupa sawah yang menjadi air itu sebagai sumber irigasi.

 

Seorang penambang emas dari Lombok yang menunjukkan merkuri yang dipakai dalam pengolahan emas. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Yuyun, manusia dapat terakumulasi merkuri melalui konsumsi makanan yang tercemar seperti dari ikan dan padi.

Selain itu, kata Yuyun, pertambangan rakyat hanya menjadi terminologi yang pakai untuk menutupi cukong-cukong yang menjadi pemodal.

Rakyat, katanya, hanya untuk jadi tameng agar dapat menguasai sepenuhnya wilayah pertambangan itu. Hal ini berdasarkan penelitiannya sejak 2010 hingga sekarang.

“Sebenarnya, itu bukan tambang rakyat, tapi itu tambang untuk cukong-cukong yang menjadi pemodal utama dalam aktivitas itu. Cukong-cukong itu berasal dari orang-orang yang memiliki kekuasaan di wilayah itu. Rakyat hanya pekerja dan yang paling berdampak kesehatannya,” kata Yuyun.

Karena itu, kata Yuyun, pertambangan rakyat atau biasa disebut sebagai pertambangan emas skala kecil (PESK) pada dasarnya menimbulkan dampak lingkungan. Seolah menguntungkan bagi masyarakat, tetapi memiliki biaya lebih tinggi daripada harga jual, baik dari segi kesehatan, kerusakan lingkungan maupun dampak sosial.

Menurut dia, alternatif terbaik bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan adalah pengalihan mata pencaharian dari pertambangan ke bidang lain.

Untuk itu, perlu edukasi dan pembinaan secara baik dan berkelanjutan untuk menemukan cara agar masyarakat di sekitar tambang bisa beralih ke bidang lain.

“Upaya penertiban baik lewat operasi maupun razia itu tidak cukup, karena hanya berhasil dalam jangka pendek. Karena itu, selama lebih dari 10 tahun isu ini tetap bertahan, bahkan meluas.”

Kemudian, katanya, perlu sinergi bukan hanya dari pemerintah daerah dan pusat, tetapi segala sektor.

Solusi lokalisasi dan legalisasi pertambangan harus dengan hati-hati agar tak bertentangan dengan Undang-undang, seperti soal kehutanan dan lingkungan hidup, serta kesehatan.

 

 

******

 

Exit mobile version