Mongabay.co.id

2025, Sampah Plastik Berkurang 70 Persen?

 

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, mengamanatkan tugas kepada Pemerintah Indonesia untuk menjalankan target penanganan sampah laut berkurang hingga 70 persen pada 2025 mendatang.

Dengan waktu tersisa dari sekarang, maka Pemerintah memiliki kesempatan kurang dari tiga tahun untuk bisa mengejar target yang sudah ditetapkan. Tentu bukan pekerjaan yang mudah, bahkan bisa dibilang sulit untuk bisa diwujudkan.

Salah satu yang menjadi persoalan, adalah masih adanya data yang tidak sinkron antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang ada di 34 provinsi. Tidak itu saja, data yang masuk ke pusat pun, pada kenyataannya tidak semuanya berasal dari daerah.

Demikian kesimpulan yang diungkapkan Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova saat menjadi salah satu pembicara pada kegiatan “Road to G20: Beating Plastic from Source to Sea” di Bali, awal November lalu.

Kepada Mongabay seusai acara, dia menyebut bahwa pengelolaan sampah di Indonesia memang sudah lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun sayang, data yang sudah tersaji saat ini dinilai masih belum maksimal.

Padahal, dengan luas wilayah Indonesia yang melebihi kawasan Eropa Barat, penyajian data yang lengkap dan komprehensif sangat dibutuhkan. Hal itu agar bisa diambil kebijakan yang tepat dalam melaksanakan pengelolaan sampah.

“Sampah laut itu asalnya dari darat. Kalau di darat tidak dikelola dengan baik, maka tidak ada harapan untuk memperbaiki pengelolaan di laut,” ucap dia.

baca : Indonesia Perlu Aktif dalam Negosiasi Perjanjian Internasional soal Plastik

 

Kawasan pantai utara Kabupaten Tuban, Jatim, mempunyai panjang sekitar 65 km. Sampah yang mencemari kawasan ini selain dari pemukim warga, adanya perkembangan industri yang pesat dan kegiatan pertambangan yang ekstraktif turut mempengaruhi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Reza Cordova kemudian memaparkan, berdasarkan data yang ada sampai 2021, dari 415 kabupaten/kota yang sudah mengumpulkan data tentang pengelolaan masing-masing, baru sekitar 50 persen saja yang sudah bagus.

Itu berarti, lebih dari 200 kab/kota saat ini sudah memiliki data tentang pengelolaan sampah di daerahnya masing-masing. Semua data tersebut sudah divalidasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sisanya, harus diakui masih tidak terlalu bagus datanya. Itu akan membuat pengelolaan sampah juga tidak maksimal,” jelas dia.

Melalui data yang lengkap dan komprehensif, dia yakin pengelolaan akan lebih maksimal dan tepat sasaran. Analisis tersebut diungkapkan, karena setiap daerah di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk kelompok masyarakat yang ada di dalamnya.

Contoh sederhana yang bisa dipelajari, adalah perbedaan kebiasaan, budaya, dan pemikiran di setiap daerah dengan daerah yang lain. Fakta tersebut bisa diatasi jika data yang dikumpulkan sangat baik, lengkap, dan komprehensif.

“Kita tidak bisa menyamaratakan semua data yang ada. Itu akan berpengaruh pada pengelolaannya nanti,” ucap dia.

baca juga : Indonesia Kejar Target Bebas Sampah Plastik 2025

 

Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Timbunan sampah di pantai dan kegiatan pembakaran sampah di tepi sungai tersebut memprihatinkan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Persoalan data juga tidak selesai sampai di situ. Dia mengakui kalau di lingkup internal Pemerintah juga masih menghadapi persoalan serupa. Sampai sekarang, belum ada sinkronisasi data yang sudah terkumpul di setiap kementerian/lembaga (K/L) Negara.

Dengan kata lain, tidak adanya sinkronisasi itu menjadi salah satu penyebab masih kurangnya data tentang pengelolaan sampah. Penyebab lainnya, adalah karena belum banyak juga data yang dikumpulkan dari aktivitas yang ada di laut atau pesisir.

“Begitu juga dengan hasil penelitian tidak bisa diungkap ke publik, kecuali itu sudah dipublikasikan. Padahal, hasil penelitian juga bisa menjadi masukan untuk membuat kebijakan,” tambah dia.

Reza menyebutkan, data tentang sampah plastik dan laut yang ada di Indonesia, sampai saat ini masih bersumber dari Indonesia National Plastic Action Partnership (NPAP), Bank Dunia, BRIN, dan Tim Koordinator Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL).

Jika tidak ada upaya untuk melakukan pembenahan data terkait sampah, maka bisa saja target yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia tidak akan bisa tercapai. Walaupun, sejak 2018 sudah dilakukan beragam upaya untuk bisa mencapai target 70 persen bebas sampah plastik pada 2025.

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar pada sesi diskusi panel yang sama mengatakan, walau Indonesia kini sudah memiliki Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dikelola langsung KLHK, namun data yang masuk juga masih belum maksimal.

Selain data dari daerah yang masih rendah, laporan dari organisasi non Pemerintah (NGO) tentang pengelolaan sampah juga masih belum bisa diambil secara menyeluruh oleh Pemerintah Indonesia. Padahal, data tersebut juga tak kalah pentingnya untuk menjadi bagian dari SIPSN.

Paling utama, dia menyebut bahwa kegiatan pengumpulan data tentang pengelolaan sampah laut harus terus diperbaiki, karena fokusnya masih dilakukan di laut. Padahal, sampah laut itu sumbernya berasal dari sampah yang ada di daratan.

baca juga : Upaya Penanganan Sampah Laut: dari Plastik hingga Mikroplastik

 

Seorang anak bermain di antara sampah di Jakarta Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Persoalan lainnya, adalah berkaitan dengan alokasi anggaran yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Sampai sekarang, Pemerintah Daerah masih mengalokasikan kurang dari satu persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

“Padahal, jika itu bisa minimal lima persen saja, akan berpengaruh banyak pada pengelolaan sampah. Itu masih menjadi pekerjaan rumah,” ucap dia.

Tanpa pengelolaan yang baik, sampah diyakini masih akan terus menjadi persoalan di masa mendatang. Pasalnya, saat ini saja sampah sudah menjadi persoalan seperti gunung es di laut. Bisa terlihat kecil dari permukaan laut, namun ternyata sangat besar kalau dilihat di dalam air.

Hal tersebut diungkapkan CEO dan Pendiri Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano saat mengisi sesi tambahan di hari yang sama. Menurut dia, sampah yang tidak dikelola dengan baik akan memicu banyak persoalan Kesehatan di masyarakat, kerusakan lingkungan, dan kerugian materi yang tidak sedikit.

Melansir data yang diterbitkan KLHK pada 2015, dia menyebut bahwa produksi sampah di Indonesia sudah mencapai angka 63,8 juta ton per tahun. Rinciannya, sebanyak 54,2 persen adalah sampah organik, dan sisanya adalah sampah anorganik.

Produksi sampah anorganik tersebut, menjadi sumber asal dari sampah plastik yang berakhir di laut. Berdasarkan data KLHK tersebut, sampah plastik dari anorganik jumlahnya mencapai 17 persen. Angka tersebut lebih banyak dari kertas yang produksinya 12 persen dan sampah lainnya dengan 16,8 persen.

Dari semua sampah yang ada di Indonesia sepanjang tahun, Mohamad Bijaksana Junerosano memaparkan bahwa ada yang dilakukan pengelolaan melalui cara kompos (7,5 persen), penimbunan (10 persen), dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan dibakar (5 persen).

Dari semua cara pengolahan itu, sampah paling banyak dibawa langsung ke TPA dengan persentase mencapai 69 persen. Sementara, sebanyak 8,5 persen diketahui masih belum dikelola dengan baik dan menjadi persoalan yang harus diselesaikan.

baca juga : AZWI Ajak Hentikan Solusi Palsu Pengelolaan Sampah Plastik

 

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dominasi Daratan

Khusus untuk produksi sampah plastik, sebanyak 80 persen di antaranya diketahui berasal dari produksi yang ada di wilayah darat. Fakta tersebut, membuat pengelolaan sampah plastik harus melibatkan darat dengan maksimal.

Catatan yang sampai sekarang menjadi persoalan dalam pengelolaan sampah di Indonesia, adalah masih rendahnya pengakuan kepada tenaga kebersihan. Mereka semua masih menghadapi persoalan kesulitan ekonomi sampai saat ini.

Padahal, dia meyakini kalau pengelolaan sampah tanpa ada tenaga kebersihan yang rajin dan cekatan, tidak akan berjalan baik. Tegasnya, aktor utama pengelolaan sampah di Indonesia masih menghadapi persoalan kemiskinan.

Dengan memahami apa yang terjadi saat ini dalam praktik pengelolaan sampah, maka bisa disimpulkan bahwa tata kelola sampah di Indonesia ibarat gunung es di laut. Bagian yang terlihat secara kasat mata, adalah gunungan sampah di seluruh daerah.

Sementara, yang tidak terlihat adalah perilaku mengelola sampah, tata kelola dalam pengelolaan sampah, keberpihakan birokrasi dan politik, dan nilai moral yang berlaku secara nasional. Persoalan yang terakhir, menjadi sangat penting karena semua pihak harus bersatu untuk memperbaiki tata kelola sampah.

Ketua NPAP Tuti Hadi Putranto saat pembukaan kegiatan yang sama, mengatakan bahwa upaya membantu Pemerintah Indonesia dalam mengejar target pengurangan sampah hingga 70 persen pada 2025, pihaknya membangun sebuah basis data (database).

Tujuannya, agar seluruh inisiatif yang sudah dijalankan oleh NPAP dan juga aksi yang sudah dilakukan pada anggota bisa dicatat secara detail. Dengan demikian, diharapkan itu bisa menjadi acuan untuk rencana langkah berikutnya.

perlu dibaca : Menangani Sampah Laut dari Pelabuhan

 

Sampah yang dibuang sembarangan di tepian sungai atau laut, rawan masuk dan mencemari perairan. Sampah-sampah plastik itu antara lain bisa jadi mikroplastik yang membahayakan. Foto: Ecoton

 

Adapun, hasil riset yang sudah dilakukan sejak 2019 itu didapatkan data bahwa NPAP melalui seluruh anggota sudah berhasil mengumpulkan lebih dari 400 ribu ton sampah plastik; menghindari lebih dari dua juta ton penggunaan plastik; mendaur ulang 450 ribu ton sampah plastik; dan memberikan dampak bagi lebih dari 500 ribu orang di Indonesia.

Kemudian, dalam membantu pelaksanaan Rencana Aksi Multipihak, NPAP telah membentuk 5 gugus tugas (task force) yang dipimpin secara bersama oleh pemerintah dengan swasta, maupun lembaga keuangan.

“Kelima gugus tugas tersebut saat ini sudah membuat lima peta jalan (roadmap) mengenai keuangan, inovasi, kebijakan, perubahan perilaku, dan pengukuran,” terang dia.

Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengatakan kalau NPAP telah menjadi platform multi-stakeholder yang membawa dan menghubungkan pembuat kebijakan, pakar, pemimpin bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi melalui lima gugus tugas.

“Hingga 2022, lima gugus tugas telah meluncurkan peta jalannya untuk menuju satu tujuan bersama yaitu, mengurangi kebocoran plastik laut sebesar 70 persen pada 2025,” ungkap dia.

Nani Hendiarti memaparkan, Sekretariat TKN PSL telah menghitung capaian pengurangan sampah plastik yang masuk ke laut sejak 2018 hingga 2021. Hasilnya, sudah 28,5 persen berhasil berkurang, dari proyeksi pengurangan hingga 30,50 persen pada akhir 2022.

menarik dibaca : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Seekor hiu paus sedang memakan ikan kecil termasuk sampah plastik. Foto : shutterstock

 

Untuk menghitung capaian pengurangan sampah plastik pada 2022, TKN PSL akan mempertimbangkan kebocoran sampah plastik dari aktivitas di laut, seperti alat tangkap yang ditinggalkan, hilang, dibuang (ALDFG) dari sektor perikanan tangkap dan budi daya.

Dia mengungkapkan, walau sebagian besar pencemaran plastik laut berasal dari kebocoran dari aktivitas di darat, namun tidak boleh mengabaikan kebocoran dari laut, yang berpotensi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem laut.

“Kita sadar bahwa upaya pengurangan sampah plastik tidak dapat dilakukan sendiri. Oleh karena itu, kami mengapresiasi pihak swasta, asosiasi, akademisi, dan inovator yang turut serta mendukung pengurangan sampah plastik di laut,” ucap dia.

Namun demikian, Nani menyebut kalau Pemerintah juga melakukan beragam upaya pada semua sektor. Pada sektor hulu misalnya, upaya untuk melahirkan kebijakan alternatif penggantian bahan plastik terus dilakukan.

Tujuannya, agar bisa menghasilkan produk dan kemasan yang ramah lingkungan untuk memitigasi timbulan sampah. Kemudian, di sektor hilir, dilakukan dengan meningkatkan rasio penanganan sampah melalui kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pendauran ulang, dengan pendekatan prinsip ekonomi sirkular.

Secara khusus, dia menyebut komitmen serius yang dijalankan Pemerintah saat ini, tidak lepas dari PP 83/2018 yang di dalamnya mengatur lima strategi utama yang perlu dilakukan oleh 16 Kementerian/Lembaga untuk mencapai target 70 persen penanganan sampah laut pada 2025.

Upaya tersebut, kemudian didukung oleh produsen plastik melalui kontribusi dengan menghasilkan produk dan/atau kemasan. Diharapkan, upaya tersebut bisa mewujudkan target pengurangan sampah sebesar 30 persen pada tahun 2029, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK No.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Oleh karena itu, NPAP yang dibentuk pada 2019 diharapkan bisa menjadi barometer pengelolaan sampah dengan melibatkan Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Selain itu, NPAP juga harus bisa mendorong munculnya lebih banyak kolaborasi dan investasi untuk mencapai target nasional.

 

Menko Marves Luhut B. Pandjaitan dalam acara Road to G20 Beating Plastic Pollution from Source to Sea”, awal November di Bali mengatakan melalui NPAP, komitmen pengurangan sampah plastik berdampak pada 34 juta orang dan valuasi sekitar Rp1 triliun atau ekuivalen sekitar USD66,7 juta. Foto : Kemenko Marves

 

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan saat menutup kegiatan dua hari tersebut, mengaku semakin optimis penanganan sampah plastik bisa berjalan baik dan sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.

Kehadiran NPAP sejak tiga tahun lalu, diakuinya ikut mendorong upaya percepatan dalam pengurangan sampah plastik di Indonesia. Komitmen yang sudah dibangun di antara para pemangku kepentingan, diharapkan bisa mempertahankan konsistensi untuk fokus mengurangi sampah plastik.

“Saya sangat menghargai semua komitmen yang telah kita buat hari ini, di mana sekitar 38 organisasi berkumpul dan berjanji untuk menciptakan ekonomi plastik sirkular,” ungkap dia.

Komitmen tersebut diperkirakan mencapai dan berdampak langsung pada lebih dari 34 juta orang dan valuasi sekitar Rp1 triliun atau ekuivalen sekitar USD66,7 juta. Dia yakin, tindakan kolaboratif ini akan menentukan masa depan Indonesia.

Tentang NPAP, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut bahwa aliansi tersebut sudah tumbuh dan berkembang menjadi multistakeholder lokal yang menyatukan para pembuat kebijakan, pakar, pemimpin bisnis, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil terkemuka di negara ini.

“Ini menjadi momentum untuk menjawab tantangan global untuk mengalahkan polusi plastik. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia siap mengambil bagian dari babak baru ini,” pungkas dia.

 

Exit mobile version