Mongabay.co.id

Lanskap Adat, Berpotensi Menjadi Wilayah Konservasi di Pulau Bangka

 

 

Baca sebelumnya:

Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

Mengembalikan Peran Dukun, Jaga Keselarasan Manusia dan Alam

**

 

Melalui pengalaman dan pengamatan, masyarakat adat telah menciptakan sejumlah tempat bernilai, sebagai hasil hubungan intim mereka dengan alam, selama ratusan tahun.

Di Pulau Bangka, tempat-tempat tersebut dapat dibaca dari pembagian peran dukun di bukit, sungai, hingga laut. Dalam sebuah kesatuan lanskap, wilayah-wilayah tersebut dianggap penting untuk dijaga, demi keberlangsungan hidup di masa depan.

“Adanya dukun yang spesifik menangani sungai, bukit, hingga laut di Pulau Bangka, sebagai tanda kalau wilayah Bangka harus dilindungi. Baik yang kasat mata maupun tidak,” kata Janum, Ketua Adat Suku Jerieng di Desa Pelangas.

“Pentingya perlindungan Bangka dapat dilihat dari adanya sejumlah ritual khusus, seperti taber gunung [bukit-bukit], taber sungai [sungai-sungai], dan taber laut [lautan],” kata Janum.

 

Di sekitar kaki Bukit Mangkol, aktivitas penambangan mengubah lanskap sungai di sekitarnya. Foto drone: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam pendekatan masyarakat adat di Pulau Bangka, tempat-tempat bernilai yang menjadi lokasi ritual atau larangan, sebenarnya boleh dimanfaatkan masyarakat. Hanya, ada peraturannya, yang selama ini dijaga para dukun.

Mak Mun, dukun kampung di Desa Gudang, Kabupaten Bangka Selatan, pada setiap wilayah larangan, boleh mengambil kayu selagi tidak berlebihan dan digunakan untuk kebutuhan dasar hidup. Sebut saja untuk membangun rumah, pondok kebun, atau fasilitas umum.

Tapi membuka kebun harus di luar wilayah larangan, itu pun setelah berkonsultasi dengan dukun kampung, serta tidak boleh menanam satu jenis tumbuhan. Harus ada durian, manggis, jengkol, petai, dan sebagainya, yang selama ini disebut “kelekak”.

Hal demikian juga berlaku pada wilayah “ampak”, artinya wilayah tersebut tidak boleh di tambang timahnya.

“Pokoknya semua aktivitas terkait pengelolaan alam, harus konsultasi dengan dukun kampung,” kata Mak Mun.

 

Gambar cadas yang ada di batu granit di puncak Bukit Kepale dijadikan wilayah sakral bagi sejumlah masyarakat, sehingga terlindungi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dr. Fitri Ramdhani, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, keterhubungan antara tempat [tanah/wilayah adat] dengan masyarakat sekitar sangat kuat.

“Karenanya, gerakan pelestarian budaya juga harus terkait dengan usaha penetapan sebuah wilayah adat masyarakat tersebut, baik berupa hutan, bukit, sungai hingga laut,” katanya.

Selama ini, pelestarian budaya hanya sebatas pada “aksesoris budaya” itu sendiri, seperti baju adat, tarian, musik, kerajinan, dan sebagainya.

“Kita semua melupakan bahwa yang terpenting bagi masyarakat adat adalah tempat-tempat atau wilayah adat yang bernilai bagi mereka, baru kemudian lahir pengetahuan atau produk-produk kebudayaan tersebut,” lanjut Fitri.

Merujuk buku IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2021, berdasarkan status hutannya, belum ada sama sekali wilayah atau hutan adat yang diakui oleh negara di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Berdasarkan buku yang sama, luas penutup lahan hutan hanya tersisa 197.255,2 hektar  [termasuk mangrove] atau sekitar 12 persen dari 1,6 juta hektare luas daratan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

 

Lanskap adat di Pulau Bangka, selama ratusan tahun telah memberi hasil hutan bagi keberlangungan hidup manusia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan luasan kawasan konservasi di Pulau Bangka harus ditingkatkan lagi. “Terutama pada wilayah-wilayah yang dianggap penting bagi masyarakat lokal,” katanya.

Dengan diarahkannya praktik konservasi di sejumlah wilayah bernilai lokal, diharapkan dapat menekan deforestasi di Bangka Belitung. Tindakan ini juga akan lebih berdampak, mengingat masyarakat lokal telah membangun hubungan erat dengan wilayah tersebut.

Saat ini, ada sejumlah lanskap bukit atau gunung “sakral” yang dijadikan lokasi ritual masyarakat, berstatus sebagai kawasan konservasi. Diantaranya Taman Nasional Gunung Maras [16.806,91 hektar], Taman Hutan Raya Bukit Mangkol [6.009,51 hektar], dan Taman Wisata Alam Gunung Permisan [3.149,69 hektar].

Namun, hal tersebut belum cukup kuat dalam melindungi hutan di wilayah tersebut. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya lahan kritis pada kawasan lindung [9.379,436 hektar] dan seluas 23,519 hektar pada kawasan konservasi [IKPLHD 2021].

“Penetapan kawasan lindung serta pendekatan konservasi yang diterapkan pemerintah, nyatanya belum berdampak signifikan mencegah degradasi kawasan hutan di Pulau Bangka,” katanya.

 

Ritual dimaknai sebagai bentuk menjaga keselarasan antara manusia dan alam. Setiap titik ritual dianggap penting untuk dilindungi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi kehati

Di wilayah hutan yang masih terjaga karena kearifan masyarakat sekitar, seperti hutan larangan yang dijadikan lokasi ritual, seringkali menjadi sentra keanekaragaman hayati di Pulau Bangka yang masih tersisa.

Langka Sani, Ketua PPS [Pusat Penyelamatan Satwa] Alobi Foundation mengatakan, hingga saat ini ada lebih tujuh ribu ekor satwa yang telah dikembalikan ke habitatnya.

“Lokasi pelepasliaran berada di sejumlah lanskap bukit atau hutan larangan di Pulau Bangka, seperti di Gunung Maras dan Bukit Nenek. Hal ini karena kondisi hutan yang masih baik,” jelasnya.

Sejak 2014, Alobi aktif melakukan pendataan habitat serta penyelamatan satwa di Pulau Bangka. Menurut Langka, masih banyak kawasan hutan larangan di Pulau Bangka. Meskipun sebagian besar luasannya sudah banyak berkurang, wilayah larangan yang masih melekat pada masyarakat di Pulau Bangka, dapat menjadi informasi awal dalam rangka perluasan kawasan konservasi.

“Wilayah tersebut biasanya memiliki kondisi hutan yang masih terjaga dan menjadi habitat bagi sejumlah satwa langka, seperti mentilin [Tarsius bancanus], kukang [Nycticebus bancanus], binturong [Arctictis binturong], mengkubung [Galeopterus variegatus], hingga rusa sambar [Rusa unicolor],” katanya.

Senada Langka, menurut Henri, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung, sejumlah wilayah di Pulau Bangka yang merupakan sentra spiritual, memiliki jasa menjaga keanekaragaman hayati Pulau Bangka.

“Hutan larangan yang menjadi sentra spiritual masyarakat, biasanya terdapat tumbuhan atau pohon langka, seperti nyatoh [Palaquium rostratum], ulin [Eusideroxylon zwageri], meranti [Dipterocarpaceae], menggeris [Koompassia Excelsa], gaharu [Aquilaria malaccensis], serta berbagai jenis ara [Ficus annulate],” katanya.

 

Ratusan tahun, lanskap adat menjadi wilayah penting bagi kehidupan masyarakat di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

M. Dedi Susanto, Kepala Resor Konservasi Wilayah XVI Bangka-Balai KSDA [Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan mengatakan, “Kondisi wilayah-wilayah terlarang tersebut didapatkan informasi masih baik dan menyimpan keanekaragaman hayati tinggi. Informasi ini harus didukung data-data penelitian terkait potensinya di wilayah tersebut,” katanya.

Dia berharap, para akademisi dari lintas disiplin ilmu dapat memfokuskan penelitian pada sejumlah tempat yang mempunyai nilai penting bagi masyarakat lokal, seperti hutan larangan, khususnya di wilayah perbukitan.

“Upaya ini diharapkan dapat menjadi data pendukung, sehingga bisa memudahkan proses penetapan kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi. Sehingga, dapat menambah kawasan konservasi Pulau Bangka.”

Beberapa wilayah yang selama ini dijaga masyarakat, juga akan memudahkan proses perlindungan.

“Karena sejak dulu masyarakat sekitar mempunyai hubungan dengan wilayah tersebut, sehingga gerakan konservasi bisa berjalan secara kolektif,” lanjut Dedi.

 

Sejumlah lanskap adat yang dilindungi masyarakat menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya tumbuhan obat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi Geologi

Secara fisiografi Pulau Bangka termasuk Sundaland dan merupakan bagian terangkat dari peneplain Sunda. Di beberapa tempat, terdapat bukit-bukit yang tersusun dari batuan plutonik yang masih segar, merupakan batuan sisa dari hasil pelapukan dan erosi selama ratusan juta tahun.

Bukit-bukit tersebut antara lain adalah Bukit Maras [705 meter], terletak antara kota Pangkal Pinang dan Bangka Barat, Bukit Tebas [654 meter] di bagian tenggara pulau Bangka, Bukit Permis [510 meter] di Bangka Selatan, Bukit Menumbing [455 meter], Bukit Penyabung di Bangka Barat, dan Gunung Mangkol [398 meter] di kota Pangkal Pinang.

Berdasarkan jurnal berjudul “Studi Potensi Thorium pada Batuan Granit di Pulau Bangka” oleh Ngadenin dan kawan-kawan dari Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir [PTBGN] – BATAN pada  2014 lalu, diperkirakan usia granit di lanskap bukit tersebut berada pada periode Yura-Trias atau sekitar 200 juta tahun. Karenanya, batuan granit tersebut memiliki kandungan Thorium tinggi.

“Granit dianggap potensial thorium apabila mempunyai kadar thorium sekurangnya tiga kali kadar thorium dalam granit normal [15 ppm],” tulis jurnal tersebut.

 

Mentilin [Cephalopachus bancanus], salah satu satwa endemik dan langka di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kadar thorium pada batuan granit Gadung [Bangka Selatan] 76 ppm, granit Bebuluh [Bangka Tengah] 23,33 ppm, granit Mangkol [Pangkal Pinang] 42 ppm dan granit Pemali [Bangka] 35,40 ppm, granit Jebus 85,96 ppm, granit Pelangas 66,73 ppm dan granit Menumbing 67,03 ppm [dari Bangka Barat].

“Kondisi fisik granit di lapangan telah mengalami pelapukan tingkat lanjut. Hal ini memudahkan cara menambangnya, yaitu cukup dengan cara tambang semprot menggunakan air. Berdasarkan hasil tersebut Pulau Bangka layak dipertimbangkan dalam pengembangan eksplorasi Thorium,” tulis jurnal tersebut.

Thorium merupakan salah satu mineral langka selain uranium yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan reaktor nuklir, dan diklaim BATAN lebih ramah lingkungan, sehingga berpotensi sebagai sumber energi alternatif pembangkit listrik.

Potensi thorium di Pulau Bangka, akhirnya berbuntut pada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium [PLTT] di Pulau Gelasa yang secara administratif berada di Kabupaten Bangka Tengah.

 

Hutan tersisa di Pulau Bangka banyak berada di wilayah perbukitan yang menjadi titik ritual atau menjadi wilayah sakral masyarakat adat setempat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jessix Amundian, mengatakan sejumlah wilayah larangan yang merupakan hutan tersisa di Pulau Bangka, harus dijadikan sebagai kawasan konservasi.

“Hal ini dikarenakan wilayah seperti bukit-bukit granit di Pulau Bangka, memiliki kehati yang tinggi, merupakan hutan tersisa, serta menjadi wilayah penting bagi masyarakat adat di sekitar,” katanya.

Wilayah ini juga menjadi target eksploitasi logam tanah jarang [LTJ] seperti thorium, uranium, dan sebagainya. “Karenanya, wilayah ini harus dilindungi dan masyarakat adat harus diposisikan sebagai pemimpin dalam upaya konservasi di Pulau Bangka,” paparnya. [Selesai] *

 

* Liputan ini diproduksi atas dukungan Dana Jurnalisme Hutan Hujan [Rainforest Journalism Fund] yang bekerja sama dengan Pulitzer Center

 

Exit mobile version