Mongabay.co.id

Ranperpres Reforma Agraria Dibahas, KPA Nilai Tidak Transparan

 

Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan presiden terkait percepatan pelaksanaan reforma agraria yang akan menggantikan Peraturan Presiden No.86/2018 tentang Reforma Agraria dan Peraturan Presiden No.88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88).

Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan bahwa tujuan dari kehadiran perpres ini adalah ingin mengatasi permasalahan mendasar dari pelaksanaan reforma agraria dan memperkuat materi pengaturan untuk mempercepat penyelesaian konflik.

“Kita ingin mengoptimalkan peran kelembagaan reforma agraria baik di pusat maupun di daerah, dan yang paling penting adalah mengintegrasikan aspek pemberdayaan dan akses untuk masyarakat melalui penyempurnaan materi pengaturan dari pelaksanaan reforma agraria,” katanya pada Diskusi Publik membahas Ranperpres Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian secara daring dan luring, Selasa (1/11/2022).

Menurutnya, upaya percepatan reforma agraria yang ditekankan melalui perpres ini adalah bagian dari komitmen Jokowi pada sidang tahunan 16 Agustus 2022 lalu yang menekankan agar reforma agraria, perhutanan sosial, dan sertifikasi tanah terus harus dilanjutkan.

“Tentunya di dalam kesempatan tersebut, presiden juga menyebutkan pentingnya program itu untuk bisa dituntaskan untuk bisa memberi manfaat kepada nelayan, petani, buruh, pekerja informal dan penyandang disabilitas,” ujarnya.

baca : Menteri Baru ATR/BPN, Bagaimana Penyelesaian Konflik dan Reforma Agraria?

 

Diskusi Publik membahas Ranperpres Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian secara daring dan luring, Selasa (1/11/2022). Foto: Kemenko Perekonomian.

 

Menurutnya, bicara tentang reforma agraria ada kaitannya dengan aset dan akses yang sangat penting dalam rangka mendorong pembangunan dan pemerataan ekonomi dalam proyek strategis nasional dan kemudian juga untuk mengantisipasi dan mencegah konflik.

Wahyu kemudian menyampaikan capaian terkait reforma agraria, di mana sudah dilakukan legalisasi aset seluas 4,5 juta hektar, yang terdiri dari tanah transmigrasi sebesar 0,6 juta hektar dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebesar 3,9 juta hektar.

Untuk distribusi tanah, terkait dua eks Hak Guna Usaha (HGU), tanah terlantar dan tanah negara sudah dilakukan sebesar 0,4 juta hektar, melebihi target yang ada. Sementara untuk pelepasan kawasan hutan sebesar 4,1 juta hektar masih di bawah target. Terkait target dan capaian Tanah Objek Agraria (Tora) dari Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH), dari target sebesar 5 juta hektar baru realisasi 1,36 juta hektar yang tercapai per Juni 2022.

“Ini menjadi catatan kita bagaimana bisa mendorong capaian legalisasi tanah transmigrasi dan redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan yang saat ini belum mencapai target. Kita masih punya waktu untuk mempercepat ini dan salah satu upaya mempercepat adalah melalui penyelesaian rancangan perpres yang akan didiskusikan ini.”

baca juga : Bank Tanah Ancam Agenda Reforma Agraria, Ini Alasannya

 

Realisasi di kawasan hutan baru 67 persen dari 4,9 juta hektar atau sekitar 2,7 juta hektar. Sumber : Ditjen PKTL KLHK.

 

Menurut Abetnego Tarigan, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan (KSP), reforma agraria adalah salah satu prioritas nasional dan menjadi agenda yang mendapat perhatian serius dari presiden di mana banyak harapan dan tuntutan agar pelaksanaan reforma agraria bisa disempurnakan.

Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi atensi dari pembahasan ranperpres ini yaitu terkait penyelesaian konflik, percepatan retribusi dan pemberdayaan. Tiga hal ini merupakan aspek kebaruan yang diharapkan muncul nanti di perpres reforma agraria ini.

“Selama ini kantor KSP memberikan dukungan bagaimana proses ini berjalan dan kemudian memastikan proses-proses konsultasi publik bisa dijalankan di dalam penyusunan kebijakan ini,” katanya.

Sedangkan Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan target dan capaian reforma agraria di setiap region di mana terdapat beberapa realisasi pelaksanaan Tora di kawasan hutan yang memerlukan percepatan untuk segera diselesaikan.

“Intinya dari catatan kami realisasi di kawasan hutan baru 67 persen dari 4,9 juta hektar atau sekitar 2,7 juta hektar. Kami harapkan tuntas dalam dua tahun ke depan,” katanya.

baca juga : KPA: RUU Cipta Kerja Ancam Reforma Agraria

 

Akis Nuru, dari Kampung Liku Dengeng, Desa Uraso, Kecamatan Mappedeceng, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang masih terus berupaya berjuang untuk memperoleh kembali lahan yang berada dalam klaim HGU untuk sawit PTPN XIV. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tidak Transparan

Proses penyusunan dan pengajuan ranperpres ini dinilai Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah mengabaikan azas perumusan yang memadai (adequate), transparan, dan berhati-hati/seksama (prudent).

“Ini kesekian kali Kantor Staf Presiden dan Kemenko Perekonomian mengabaikan tuntutan proses perumusan kebijakan reforma agraria yang memadai, transparan, dan berhati-hati sesuai dasar-dasar awal urgensi perubahan. Dari penelusuran kami, draf tersebut baru saja di-upload oleh Kemenko di laman resminya pada 26 Oktober 2022. Ironisnya, tidak ada pengundangan yang disampaikan oleh pihak Kemenko kepada KPA meski tercantum di dalam daftar kepesertaan,” ungkap Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, kepada media, Jumat (4/11/2022).

Selanjutnya Dewi menyampaikan 8 hal yang menjadi catatan KPA terkait perumusan dan pembahasan ranperpres tersebut. Pertama, pembahasannya terkesan tertutup dan tidak memadai dari sisi proses perumusan, dan tidak ada pelibatan gerakan reforma agraria secara aktif, setara dan substantif.

“Secara keseluruhan, tidak ada pelibatan organisasi masyarakat sipil yang bermakna secara substantif. Proses perumusan dan pembahasan juga mengabaikan sejarah mengapa tuntutan dan urgensi revisi,” ujar Dewi.

Kedua, ranperpres tersebut dinilai melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengkhianati UUPA 1960. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja (UUCK) telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sehingga pemerintah tidak diperbolehkan membuat produk regulasi baru turunan UUCK, apalagi yang menyangkut program prioritas nasional.

Ketiga, ranperpres tersebut menghilangkan tujuh tujuan reforma agraria sebagai bagian terpenting dan fundamental dalam Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria.

“Akibatnya, rancangan yang disusun pemerintah justru mengaburkan bahkan kembali menyesatkan tujuan reforma agraria di Indonesia.”

Keempat, Tora bersumber dari Bank Tanah dinilai sebagai bentuk penyimpangan reforma agraria oleh UU Cipta Kerja dan ranperpres.

“Menyamakan proses reforma agraria sebagai bagian dari proses pengadaan tanah untuk kelompok investor atau badan usaha besar adalah kesesatan yang dilakukan UU Cipta Kerja, dan sekarang hendak diadopsi oleh Ranperpres Reforma Agraria. Ini akibat lanjutan UUCK menjadi pertimbangan Ranperpres, dan bukan UUPA.”

 

Pemuda adat To Cerekeng membentuk Lembaga yang disebut Wija To Cerekeng (WTC) yang salah satu fungsinya melakukan patroli menjaga hutan adat mereka. Foto: Perkumpulan Wallacea

 

Kelima, tidak ada perubahan kelembagaan pelaksana reforma agraria. Makna utama revisi adalah menyadari masalah agraria itu kronis dan bersifat lintas sektor, sehingga secara kelembagaan pun pelaksanaan reforma agraria harus dipimpin oleh presiden.

Keenam, reforma agraria atas konflik agraria BUMN (PTPN/Perhutani) masih dilakukan seperempat hati oleh pemerintah, di mana belum ada terobosan hukum yang dirancang secara sungguh-sungguh untuk menuntaskan konflik agraria akut antara masyarakat dengan perusahaan BUMN, baik PTPN maupun Perhutani/Inhutani.

Ketujuh, ranperpres dinilai hanya melanjutkan kesalahan Perpres 86/2018, yang menjadikan kegiatan sertifikasi tanah sebagai reforma agraria. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN.

Kedelapan, tidak ada subjek prioritas reforma agraria untuk memastikan pelaksanaan reforma agraria betul-betul dinikmati rakyat yang berhak atau tepat sasaran, bebas dari para penumpang gelap dan mafia tanah.

Atas kedelapan catatan tersebut KPA kemudian mendesak pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan ranperpres dan harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.

“Kami juga meminta agar proses perumusan ranperpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan perpres reforma agraria yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan gerakan reforma agraria secara aktif, setara, dan substansial,” katanya.*

 

Exit mobile version