Mongabay.co.id

Kajian Sebut PLTU Baru Berpotensi Rugikan Ekonomi

 

 

 

 

 

Pemerintah berencana berencana pensiunkan pembangkit listrik batubara tua tetapi masih tetap  akan membangun beberapa PLTU baru, termasuk di Pulau Jawa termasuk di Pulau Jawa. Kajian Center of Economics and Law Studies memperlihatkan, PLTU menimbulkan risiko kerugian ekonomi tak hanya bagi negara, juga pemegang obligasi (surat utang). Risiko itu makin besar apabila pemerintah terus menambah PLTU baru.

Menurut CELIOS, kerentanan itu karena volatilitas harga batubara di pasar internasional. Pembiayaan bisa makin meningkat jika rencana pemerintah melepas harga batubara pada mekanisme pasar terealisasi pada 2023. Ketika harga pasaran batubara naik, anggaran subsidi untuk sektor ini juga akan ikut membengkak.

Akbar Fadzkurrahman, peneliti CELIOS mengatakan, pada 2022, perusahaan listrik negara (PLN) harus bergantung pada subsidi Rp56,4 triliun. Apabila, harus investasi PLTU baru, pemerintah diperkirakan perlu biaya sekitar Rp.72,4 triliun per tahun.

Kebutuhan investasi itu akan dipenuhi dari tiga sumber, yaitu, dana internal, pinjaman dan penyertaan modal negara (PMN).

“Melihat kondisi finansial PLN, tentu saja mereka tidak serta-merta menggunakan dana internal,” katanya dalam diskusi publik bertajuk “Peran Investor Obligasi (Surat Utang) dalam Percepatan Transisi Energi”, Jakarta, baru-baru ini.

Dari sisi keuangan, PLN masih disebut harus bergelut dengan cekaknya rasio likuiditas. Dia mencontohkan, rata-rata quick ratio (rasio cair) dan cash ratio (rasio kas) pada rentang 2016-2021, tidak sampai di angka 50%. Hanya working capital ratio (rasio modal kerja) yang persentasenya agak lebih baik, yakni di atas 50%.

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) yang menolak dampak buruk operasional PLTU I Indramayu berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Persentase working capital, katanya, sempat berada di kisaran 95% tahun 2019, sebelum turun jadi 59% pada 2021. Itu berarti, kata Akbar, aset lancar hanya mampu membiayai setengah kewajiban lancar yang harus ditunaikan PLN.

Meski secara umum rasio utang mengalami kenaikan, tetapi kondisi masih cukup terkendali. Pada 2021, misal, aset PLN dibiayai utang hanya 39%. Kalau pembangunan PLTU baru benar-benar terealisasi, maka surat utang harus kembali diterbitkan. Dampaknya, rasio aset yang dibiayai utang tadi juga akan ikut naik.

Menurut Akbar, sejumlah catatan tadi penting jadi rambu-rambu bagi pemegang obligasi untuk meminjamkan dananya. Namun, komitmen pemerintah untuk membantu PLN jika terjadi kesulitan likuiditas, membuat risiko-risiko tadi seakan kasat mata.

Beban keuangan juga memiliki kaitan dengan kontrak produsen tenaga listrik swasta atau Independent Power Producers (IPPs). Skema yang disepakati adalah take or pay. Artinya, digunakan atau tidak listrik, PLN harus tetap membayar sesuai ketentuan yang disetujui. Skema kerja sama ini dia nilai sebagai salah satu penyebab kelebihan suplai listrik di Indonesia.

Sisi lain, banyak negara dan lembaga keuangan telah menyatakan tidak akan lagi mendanai pembangunan PLTU batubara dan energi fosil lain. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok, berkomitmen menghentikan pembiayaan batubara di luar negeri.

“Kalau terus pembangunan PLTU, akan ada ketidakselarasan. Negara lain berusaha menghentikan tapi kita di Indonesia terus melanjutkan PLTU berbasis batubara,” katanya.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS menilai, data-data finansial tadi menunjukkan risiko kerugian ekonomi terbilang signifikan, dan berpotensi melunturkan kredibiltasi maupun reputasi pemegang obligasi sebagai manajer investasi.

 

Pembangkit listrik matahari di Likupang, Sulut. Foto: Pemerintah Sulut

 

Guna menghindari kerugian-kerugian tadi, pemegang obligasi didorong mengalihkan pembiayaan pada energi terbarukan. Sekaligus, mendorong percepatan phase out proyek-proyek yang masih bersinggungan dengan energi batubara.

Hal ini, katanya, punya peran signifikan mengubah arah kebijakan PLN. Karena kesulitan PLN dalam menutup financial gap utang jatuh tempo, salah satunya, bergantung pada minat pemegang obligasi dalam membeli surat utang.

Pada 2021, sesuai catatan CELIOS, kewajiban terkonsolidasi PLN mencapai Rp187 triliun (US$ 12,8 miliar) dari penerbitan obligasi atau sekitar 38,5% dari total utang jangka panjang.

“(Peran itu) belum terlihat. Artinya, selama ini pemagang obligasi bersikap pasif dan tidak mendukung transisi energi. PLN masih menikmati kucuran pinjaman dari pemegang obligasi. Belum ada tekanan,” katanya.

Menurut dia, peralihan pendanaan pada energi terbarukan merupakan solusi paling menguntungkan. Sampai semester I 2022, perusahaan-perusahaan yang memiliki environmental social governance (ESG) memperoleh imbal-hasil sebesar 4% atau lebih baik dari perusahaan-perusahaan non ESG.

Dalam konteks nasional, pembiayaan pada sektor tenaga surya, mikro hidro dan energi gelombang laut diyakini akan memberi banyak penghematan di masa depan.

Dia bilang, minat investasi di sektor ini meningkat. Pemerintah pun, katanya, perlu membuat regulasi berkaitan perizinan, insentif dan peraturan teknis.

Dia meminta pemerintah memaksimalkan pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan, mempercepat phase out batubara, juga merevisi kerja sama dengan skema take or pay.

“Sekarang, batubara 60%, energi terbarukan masih kecil, harusnya dibalik dalam 3-4 tahun ke depan. Karena kalau masih begitu, ya, dari sisi energi terbarukan banyak tidak tertarik.”

Transisi ke ekonomi hijau dipandang sebagai langkah penting untuk meminimalisir risiko krisis iklim global, yang mengancam pertumbuhan ekonomi dan serapan lapangan kerja.

Bagi Indonesia, biaya dampak krisis iklim diperkirakan memberi dampak pada 40% PDB nasional 2050. Namun, kerugian itu dapat dikurangi secara signifikan jadi 4% dari PDB selama tindakan mitigasi memenuhi target yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

“Secara singkat, transisi energi dari sumber energi primer berbasis fosil jadi salah satu langkah paling vital yang dapat diambil untuk mengurangi dampak negaif dari perubahan iklim,” kata Bhima.

Dalam diskusi publik itu, CELIOS juga menyampaikan tiga rekomendasi untuk PLN. Pertama, menahan pembangunan PLTU baru guna mengurangi risiko finansial dan non finansial. Kedua, PLN diharapkan membuat komunikasi efektif dengan pemegang obligasi untuk mencegah penurunan peringkat utang yang cukup vital bagi kelangsungan usaha PLN.

Ketiga, mengintensifkan gerakan transisi energi bersih. Tujuannya, untuk mengakomodasi eksternalisasi negatif dan risiko atas pembangunan PLTU baru yang masih pakai batubara sebagai sumber energi utama.

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

********

 

 

Exit mobile version