Mongabay.co.id

Musyawarah Rakyat Pulau Kecil NTT Hasilkan Deklarasi Bubuatagamu. Apa Isinya?

 

Perwakilan rakyat pulau-pulau kecil di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama WALHI NTT menyelenggarakan Musyawarah dan Festival Rakyat Pulau-Pulau Kecil di Desa Bubuatagamu, Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur sejak Kamis (20/10/2022) hingga Sabtu (22/10/2022).

Perwakilan yang hadir berasal dari Pulau Semau, Rote, Sabu, Adonara, Besar (Koja Gete), Alor, Lembata dan Pulau Solor.

Vero Lamahoda, Direktur Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) yang mendampingi masyarakat pesisir Desa Bubuatagamu, Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur mengaku awalnya sulit mengajak masyarakat mengawasi laut.

“Nelayan pesisir tidak peduli soal laut bahkan ikut merusaknya. Jarak penangkapan ikan sesuai besarnya kapal juga tidak dipatuhi nelayan dari luar Desa Bubuatagamu,” sesalnya.

Vero sapaannya menyebutkan, nelayan kecil hanya bisa mengeluh, entah takut atau tidak tahu aturan.Nelayan lokal juga mengeluh dengan adanya penagkap gurita dari luar Pulau Solor.

Dia menjelaska satu kapal bisa membawa 4-6 sampan dengan pemancingnya. Lautnya sudah rusak tetapi menjadi berebut wilayah tangkapan ikan.Sementara pemerintah mau mengurus tapi dengan cara yang tidak masuk akal sementara masyarakat bersifat masa bodoh.

“Bagaimana menjadikan tantangan ini sebagai sebuah kekuatan bersama dan saya ingin tawarkan membangun strategi menggapai wilayah kelola rakyat dengan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal,” sarannya.

baca : Tangkapan Ikan Nelayan Flores Timur Terus Menurun, Apa Penyebabnya?

 

Musyawarah rakyat dan festifal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT di Desa Bubuatagamu, Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Musyawarah Rakyat

Kegiatan yang berlangsung di desa pesisir pantai selatan Pulau Solor ini diawali dengan diskusi publik bertemakan “Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil”.

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan musyawarah rakyat pulau-pulau kecil bertujuan untuk refleksi pengalaman antar nelayan tradisional, petani, pemuda dan perempuan.

Musyawarah juga melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah desa  tingkat akar rumput terkait tata kelola alam pesisir dan pulau-pulau kecil, dampak serta  peluang dan tantangan untuk menjadi pembelajaran bersama

Musyawarah juga bertujuan menemukan format yang tepat tentang sistem perlindungan sumber daya alam (SDA) sesuai kebutuhan lokal yang tidak bertentangan dengan regulasi formal tata kelola SDA pesisir dan pulau-pulau kecil.

Selain itu, untuk merumuskan hasil refleksi pengalaman dan merekomendasikan pada pemerintah dan DPR di semua level termasuk di level desa

Musyawarah menyepakati  poin-poin penting untuk diperbincangkan dengan para pemangku kepentingan di wilayah masing-masing.

“Disepakati musyawarah masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai agenda rutin memperbincangkan tantangan dan solusi pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT,” jelasnya.

Umbu Wulang menambahkan hasil yang diperoleh dari musyawarah ini yakni adanya rekomendasi buat WALHI NTT dan pemerintah hingga pembentukan jaringan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.

Selanjutnya jaringan ini, akan melakukan pertemuan lanjutan untuk melakukan kerja advokasi perlindungan dan penguatan pulau pulau kecil.

“WALHI NTT dipercaya untuk menjadi dinamisator untuk penguatan kerja advokasi jaringan ini,” ungkapnya.

baca juga : Kembali Ditangkap, Nelayan Pengebom Ikan di Flores Timur

 

Pulau Konga di perairan pantai selatan Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT yang disewakan kepada perusahaan Jepang untuk budidaya mutiara. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kerja Bersama

Sonya Belleh, perwakilan dari Pulau Semau menyambut baik kegiatan dan rencana tindak lanjut ini. Dalam musyawarah, dia menyampaikan bahwa keterbatasan-keterbatasan di pulau kecil seharusnya dipandang pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam memastikan keselamatan ekologis di pulau pulau kecil.

Penihas Wila Huky, perwakilan dari Pulau Sabu mengutarakan, ada banyak kearifan lokal di pulau-pulau kecil sebagai bagian untuk penguatan daya tahan pulau-pulau kecil dari ancaman krisis.

“Ada banyak peristiwa di masa lampau dan masa kini. Dimana kearifan lokal yang digunakan sungguh bermanfaat untuk menjaga pulau-pulau kecil dari kerusakan bahkan kehancuran,” ujarnya.

Hal yang sama diungkapkan Yohanes N. Hayon, perwakilan dari Pulau Solor. Dia menambahkan pentingnya membangun kesadaran masyarakat untuk perlindungan pesisir, laut dan pulau kecil di NTT.

Menurut Yohanes, kesadaran masyarakat ini agar mampu menjaga pulau-pulau kecil dari ancaman dampak perubahan iklim dan pembangunan yang tidak pro pada lingkungan hidup dan aspirasi rakyat pulau kecil.

Umbu Wulang menjelaskan, musyawarah dan pembentukan jaringan ini sebagai momentum untuk melakukan kerja bersama bagi pulau-pulau kecil yang sering diabaikan dalam pembangunan di NTT.

“Kalau kita lihat Rencana Pembangunan Jangka Manengah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang provinsi NTT, soal-soal keselamatan pulau-pulau kecil praktis sangat minim dan samar,” ucapnya.

Padahal pulau-pulau kecil di NTT mengalami keterancaman yang luar biasa, mulai dari perubahan iklim, pemanasan global, krisis ekologi lain hingga rencana ekspansi investasi yang abai pada daya dukung dan daya tampung lingkungan pulau-pulau kecil.

baca juga : Potensi Gurita Menjanjikan, sayangnya Nelayan Ende Masih Gunakan Alat Tangkap Seadanya

 

Perairan pantai selatan Pulau Solor tepatnya di Desa Bubuatagamu, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur, NTT yang selalu ramai oleh aksi pengeboman ikan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Deklarasi Bubuatagamu

Perwakilan masyarakat dari 8 pulau kecil di NTT yakni Pulau Sabu, Solor, Semau, Adonara, Rote, Lembata, Alor dan Pulau Besar (Kojagete) membacakan Deklarasi Bubuatagamu.

Jaringan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT, menyadari kerusakan lingkungan telah memberikan dampak terhadap keseimbangan alam dan mengancam kehidupan.

Dalam deklarasi yang disaksikan Mongabay Indonesia dikatakan kerusakan yang diawali dari kegagalan negara memberikan pengaturan yang adil, mengobral sumber daya alam dan pengasingan terhadap nilai-nilai lokal.

Selain itu, pengalihfungsian hutan, proyek mega infratruktur, hingga pengelolaan sampah yang buruk, intrusi air laut, abrasi pantai, mundurnya garis pantai adalah hal paling mengancam keberlanjutan ruang hidup kami.

“Kami dan anak-cucu harus menanggung beban kerusakan yang tidak pernah kami buat,” sebut mereka.

Disebutkan, berangkat dari kesadaran bersama, kami berdiri di sini demi satu tumpuan cita akan “Kampungku, Masa Depanku”. Untuk itu, perlu perombakan ulang atas tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi dalam pranata sosial hari ini.

Kesatuan cita ini seiring sejalan dengan tegaknya negara untuk mengakui dan melindungi kedaulatan masyarakat adat atas wilayah kelolanya.

Perwujudan cita-cita haruslah dilaksanakan dengan mengusung tinggi prinsip Ta’an Tou, Mira Ked’di Hari Do Memude Para Lai, Witi Kikir Remah Epak, Tenangeli Mulenoa, Nusi In Dake, Mai Takabubue Ues demi keterlibatan semua pihak baik orang tua, tetua adat, orang muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan.

“Kami percaya hanya melalui tutur adat ini, cita-cita itu dapat terlaksana dengan baik dan benar. Bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari jati diri kami,” ungkap mereka.

Mereka berkomitmen memperjuangkan kelestarian lingkungan dan pengakuan negara terhadap kedaulatan mereka atas wilayah kelola rakyat.

Berkomitmen untuk mengelola alam secara arif sesuai dengan pengetahuan lokal yang diwariskan leluhur-leluhur mereka. Untuk itu, mereka akan membangun solidaritas dan kekuatan rakyat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.

 

Exit mobile version