Mongabay.co.id

Perlindungan Laut dan Pengelolaan Perikanan Bisa Berjalan Beriringan?

 

Babak baru konservasi laut dan pengelolaan perikanan di Indonesia kini resmi dimulai. Upaya untuk menjaga ekosistem laut dan pesisir, sekaligus memanfaatkannya untuk kepentingan dunia, kini bisa dilaksanakan dengan menggunakan model baru bernama Blue Halo S.

Pemerintah Indonesia yang memimpin inisiasi tersebut menjamin bahwa model tersebut akan menjadi harapan baru untuk bisa menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan ekologi pada sektor kelautan dan perikanan.

Pengenalan model baru tersebut dilakukan pada sesi khusus Konferensi Ocean20 yang digelar pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Negara 20 (G20) dan berlangsung di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022).

Blue Halo S dikembangkan agar di masa mendatang kegiatan konservasi dan pengelolaan perikanan bisa dibiayai secara mandiri. Untuk itu, di masa mendatang model tersebut ditargetkan bisa mengumpulkan dana minimal senilai USD30 miliar dengan skema pendanaan bersama atau blended financing.

Untuk menjalankan model tersebut, dana sebesar USD1,5 juta yang berasal dari Green Climate Fund (GCF) akan dikucurkan. Bersama GCF, turut bergabung pula Conservation Internasional (CI), dan Yayasan Konservasi Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, diterapkannya Blue Halo S menjadi bagian dari upaya pengelolaan laut yang mandiri di Indonesia. Itu kenapa, pengenalan dilakukan pada momen Ocean20, karena itu menjadi kerangka kerja baru untuk skala global tentang pengelolaan laut mandiri.

“Indonesia berkomitmen penuh untuk menjadi negara yang terdepan dalam isu perubahan iklim melalui proteksi ekosistem dan produksi perikanan yang terintegrasi,” ungkap dia.

baca : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan dalam acara peluncuran Blue Halo S dalam acara Ocean20 pada side event KTT G20 di Bali Minggu (13/11/2022). Foto : Kemenko Marves

 

Dia meyakini, inisiasi Blue Halo S akan mendukung ekonomi kelautan Indonesia yang tangguh melalui penyelarasan secara insentif dari sisi ekologi dan ekonomi secara lebih baik. Dia optimis kalau model baru tersebut akan membawa keuntungan bagi Indonesia di masa mendatang.

Melalui penerapan model Blue Halo S, Indonesia akan bisa mendorong terciptanya pembiayaan multilateral dan sekaligus menarik investasi ekonomi biru lebih banyak lagi. Optimisme itu muncul, tidak lepas dari kebijakan yang sudah dibuat oleh Indonesia.

Menurut dia, sektor perikanan akan segera menerapkan kebijakan penangkapan ikan berbasis kuota. Kebijakan tersebut akan sangat menguntungkan Indonesia, karena itu adalah berkelanjutan dan didasarkan pada kuota penangkapan.

“Itu juga (akan) menghasilkan ekonomi baru dari karbon biru yang akan mendukung sektor laut,” jelas dia.

Model Blue Halo S adalah pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif untuk mengelola konservasi sumber daya alam kelautan dan perikanan. Termasuk, di dalamnya adalah lingkaran ekologi dan ekonomi antara produksi dan perlindungan laut.

Saat bekerja, Blue Halo S di Indonesia akan fokus untuk menjalankan perlindungan sumber daya dan ekosistem, memproduksi karbon biru, mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, dan mendukung kemajuan ilmu kritis.

Kemudian, Blue Halo S juga akan fokus untuk memberdayakan masyarakat lokal, mendorong investasi di perikanan tangkap, dan menciptakan pasar yang lebih besar untuk produk perikanan yang diproduksi di seluruh Nusantara.

baca juga : Awal Pendanaan Biru Semakin Dekat 

 

Menko Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan (tengah),
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (dua dari kanan) bersama Director Global Climate Fund Mitigation and Adaptation Division, Green Climate Fund German Velasquez (paling kiri), President Conservation International M. Sanjayan (paling kanan), dan Senior Vice President & Executive Chair of Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany (kedua dari kiri), dalam peluncuran Program Blue Halo S pada rangkaian G20 di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022). Foto : KKP

 

Bagi Luhut, model baru tersebut memang dinilai sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Mengingat, Indonesia adalah negara yang diapit dua samudera, Hindia dan Pasifik, dengan luas wilayah lautnya mencapai 6,4 juta kilometer persegi (km2).

Dengan fakta tersebut, Indonesia memiliki potensi ekonomi senilai USD1,3 triliun yang berasal dari laut. Potensi tersebut muncul dari tujuh sumber daya alam dari bidang kelautan dan perikanan dengan nilai mencapai USD0,8 triliun.

“Saya menekankan pentingnya momen ini untuk menghasilkan inovasi kerja sama pembiayaan multilateral melalui blended finance kebijakan strategis ekonomi biru yang kongkrit,” terang dia.

Pernyataan tersebut diungkapkan, karena Indonesia berkeinginan menjadi pusat pendanaan bersama secara global seperti yang pernah diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, dia meminta semua pihak untuk berpartisipasi dengan komitmen tersebut.

Salah satu upaya untuk mewujudkan komitmen itu, adalah dengan mendorong pembiayaan multilateral dan investasi ekonomi biru untuk pertumbuhan ekonomi secara cepat dan tegas, serta perlindungan dan pemulihan sumber daya alam laut.

“Semua di sini harus menjadi pelopor blended finance dengan platform ekonomi biru global yang dimulai di Indonesia, dan sekarang waktu untuk memulainya,” tegas dia.

Tentang inisiasi Blue Halo S, Luhut menerangkan bahwa itu adalah inisiasi yang bertujuan untuk mengumpulkan modal secara masif dan berjumlah USD30 miliar. Semua dana tersebut akan dipakai untuk mendukung pembangunan proyek yang berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs).

Saat Blue Halo S dijalankan, dia menjamin bahwa pengelolaan laut tidak hanya dilaksanakan dengan berkelanjutan. Lebih dari itu, program tersebut juga akan fokus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Saya selalu meyakinkan kepada semua orang dalam berbagai pertemuan termasuk G20, bahwa Indonesia mengelola lingkungannya dengan baik,” tegasnya.

baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dukungan tersebut, juga akan datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi pemimpin untuk pengelolaan laut secara berkelanjutan. KKP dinilai sudah bekerja maksimal dengan mengawasi sumber daya laut Indonesia dari ancaman kerusakan, salah satunya dari praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal.

“Pengawasan dilakukan melalui patroli langsung dan juga menggunakan perangkat teknologi berbasis satelit yang dinamai Integrated Maritime Intelligent Platform,” tutur dia.

 

Dua Elemen

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang hadir dalam acara Ocean20 (O20) di Bali, menambahkan lebih detail tentang Blue Halo S. Model tersebut, akan mengintegrasikan dua elemen pengelolaan kelautan yang selama ini dianggap bertentangan.

“Keduanya adalah perlindungan lingkungan dan produksi ekonomi,” tutur dia.

Dengan Blue Halo S, dua elemen yang bertentangan tersebut dijamin akan bisa berjalan sama baiknya. Hal itu, karena manfaat ekonomi dari pengembangan sumber daya kelautan yang berkelanjutan akan digunakan kembali untuk investasi dalam perlindungan lingkungan.

Dia meyakini, saat masanya tiba, proses penggabungan dua elemen pengelolaan tersebut akan bisa meningkatkan sumber daya alam yang bisa mendukung produksi komersial dengan hasil berlimpah. Kerangka kerja dengan metode perlindungan-produksi itu menjadi dasar pendekatan Blue Halo S.

Jika melihat prinsip yang akan dijalankan, Blue Halo S akan bisa diterapkan di kawasan konservasi perairan (KKP) yang dikelola KKP. Di Kawasan konservasi tersebut, akan ada layanan lingkungan dan ekologi yang bisa berdampingan dengan baik.

“Kawasan konservasi yang dikelola dengan baik akan meningkatkan kesehatan laut dan menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal,” tegas dia.

Jika kedua elemen pengelolaan tersebut berhasil dijalankan secara bersamaan, dia yakin hasilnya akan bisa mewujudkan kesehatan laut dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

baca juga : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam acara peluncuran Blue Halo S dalam acara Ocean20 pada side event KTT G20 di Bali Minggu (13/11/2022). Foto : KKP

 

Tegasnya, KKP ingin agar penerapan model tersebut tidak hanya fokus pada perlindungan kawasan konservasi saja. Namun juga, fokus untuk membantu pemberdayaan masyarakat pesisir, agar laut bisa tetap sehat dan lestari, namun tetap bernilai ekonomi tinggi.

Penerapan ekonomi biru yang menjadi fokus KKP saat ini, juga menjadi alasan kenapa Blue Halo S sangat tepat untuk diterapkan. Terlebih, karena agenda utamanya adalah menjalankan strategi perluasan kawasan konservasi hingga 30 persen pada 2045 mendatang.

“Perluasan kawasan konservasi ini di antaranya untuk menjaga keberlanjutan populasi perikanan dengan menghadirkan area pemijahan ikan yang bebas dari aktivitas manusia,” papar dia.

Selain itu, dia menyebut kalau kawasan konservasi juga berperan besar untuk bisa menahan laju perubahan iklim yang saat ini dampaknya dirasakan seluruh dunia. Jika itu berhasil, maka kesejahteraan masyarakat akan muncul melalui ekosistem laut dan pesisir yang sehat.

Atas semua manfaat itu, pelaksanaan Blue Halo S dijamin mendapat kemudahan dari KKP. Misalnya, kemudahan untuk perizinan, penyediaan sumber daya manusia (SDM), dan meningkatkan kapasitas masyarakat di kawasan konservasi yang akan dilibatkan dalam Blue Halo S.

“Peningkatan kualitas sumber daya dilakukan melalui fasilitas pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang ada di KKP,” terang dia.

perlu dibaca : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Ketua Pengurus Yayasan Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany menjelaskan kalau Blue Halo S akan diterapkan sebagai uji coba di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 572 di perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda.

Uji coba yang dimaksud, di antaranya mencakup investasi dalam perlindungan dan rehabilitasi ekosistem karbon biru (EKB); dukungan untuk perluasan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan laut; pengelolaan perikanan berkelanjutan; dan pembangunan ekonomi biru yang inklusif.

“Semua hal itu diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan mitigasi, adaptasi, dan ketahanan iklim di Indonesia,” ucap dia.

Penerapan model baru tersebut, menjadi penegas bahwa Indonesia adalah negara pemimpin di dunia dalam upaya perlindungan laut. Model tersebut dinilai bisa meningkatkan kemampuannya secara mandiri dan bisa diterapkan di lokasi lain.

“Indonesia telah lama menjadi yang terdepan dalam perlindungan laut, jadi kami senang melihat kerangka kerja Blue Halo S dilakukan uji coba sini. Kami optimis ke depannya model ini juga dapat diadaptasi untuk ekosistem laut di wilayah lain di dunia,” tegas dia.

 

Kebutuhan Kritis

Menurut Direktur Utama Conservation Internasional M. Sanjayan, penerapan Blue Halo S mendesak untuk dimulai, karena ada kebutuhan kritis untuk melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati laut.

Kebutuhan mendesak tersebut, karena model baru tersebut menjadi peluang untuk bisa meningkatkan kesejahteraan dan berkelanjutan bagi masyarakat. Bagi dia, Blue Halo S bisa berfungsi sebagai cetak biru untuk mendorong perkembangan secara bersama.

Sebagai model pengelolaan yang baru pertama kali akan diterapkan di dunia, Blue Halo S akan mendapat dukungan dana melalui blended financing. Pendekatan pendanaan tersebut akan mendorong masuknya dana publik dan filantropi secara bersamaan dengan jumlah yang besar.

“Mobilisasi dana gabungan tersebut akan mendorong investasi swasta dalam kegiatan konservasi laut dan sekaligus pembangunan yang berkelanjutan,” terang dia.

 

Perahu nelayan berarak-arakan menuju ke laut untuk mengikuti prosesi larung sesajen. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sanjayan menyebut, Pemerintah Indonesia akan melakukan pengawasan kegiatan lintas kebijakan, dan sekaligus memantau keuangan yang inovatif. Semua kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh Kemenko Marves dan KKP secara bersamaan.

Sementara, Direktur Eksekutif GCF Yannick Glemarec menjelaskan bahwa penyusunan proposal pendanaan akan dikoordinasikan oleh CI, di mana organisasi tersebut juga akan berkontribusi senilai USD350 ribu untuk membiayai secara bersama persiapan proyek Blue Halo S di Indonesia.

Dia meyakini, penerapan model baru pengelolaan laut dan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia, akan menjadi inisiatif yang inovatif. Model tersebut akan menjadi contoh untuk melaksanakan konservasi dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di dunia.

“Ini adalah contoh dari apa yang dapat dicapai dengan bekerja secara bermitra dan dengan jelas menunjukkan efek halo – perlindungan lingkungan dan produksi ekonomi tidak perlu saling eksklusif,” kata dia.

Blue Halo S ditargetkan bisa mengumpulkan dana hingga USD300 juta yang berasal dari GCF dan sumber lain untuk skema blended finance. Mencakup skema dana hibah untuk Mekanisme Adaptasi Ekosistem Biru (BEAM), dan pinjaman biru (blue bond) yang dikembangkan bersama dengan Pemerintah Indonesia.

Diketahui, inisiasi Blue Halo S diperkenalkan pada Tri Hita Karana Forum, side event dari KTT G20 dan Konferensi O20 yang merupakan pertemuan dari para pemimpin 20 negara dengan fokus pada isu kelautan.

Rencana penerapan model tersebut di Indonesia, semakin menegaskan Indonesia sebagai negara pemimpi isu kelautan. Di panggung dunia, Indonesia dikenal sebagai pengelola wilayah laut dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan, untuk melestarikan ekosistem laut dan pesisir, serta sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Fakta lain, Indonesia sudah berkontribusi terhadap ekonomi kelautan global dengan menyumbang pendapatan USD33 miliar, atau berkontribusi 2,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.

 

Seorang penyelam diantara keindahan terumbu karang di perairan di perairan,Raja,Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Selain itu, laut Indonesia juga berkontribusi hingga 3,3 persen terhadap kegiatan ekspor secara global, dengan pendapatan senilai USD5,7 juta. Tak lupa, dari semua potensi tersebut, sumber daya ikan (SDI) menjadi paling utama dengan potensi tahunan sebanyak 12,01 juta ton.

Kemudian, ada juga kekayaan biota laut lainnya, seperti 590 spesies karang yang mewakili 75 persen spesies karang dunia. Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara segitiga karang dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Kekayaan lainnya, Indonesia memiliki kawasan mangrove seluas 3,5 juta hektare, 39.500 km2 luas terumbu karang, dan 3.000 jenis ikan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.700 jenis (90 persen) hidup di perairan laut, dan sisanya 300 jenis (10 persen) hidup di perairan air tawar dan payau.

Namun demikian, semua potensi dan kekayaan alam tersebut berbanding lurus dengan resiko yang sedang dihadapi sekarang, yaitu perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia dengan resiko tertinggi terhadap perubahan iklim.

 

 

Exit mobile version