Mongabay.co.id

Maleo dan Prioritas Utama Konservasi di Sulawesi

Maleo. Foto: Akun Facebook Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

 

Max Lela membuka pintu pagar besi yang sedikit karatan, tidak tergembok. Kami pun bergegas menyusuri jalan setapak melalui pintu tersebut. Di samping kanan, terlihat sebuah rawa kecil yang mengepulkan uap air panas.

Setelah menyeberangi jembatan kecil, di hadapan kami tampak dua bangunan persegi yang di belakangnya terhampar tanah kering dengan rimbunan pohon gamal dan Mallotus.

“Bangunan ini berfungsi sebagai bak penetasan telur maleo semi alami atau hatchery. Telur maleo yang kami dapatkan di lokasi peneluran, dipindahkan ke bangunan ini agar tidak dimangsa predator seperti biawak,” jelasnya, baru-baru ini.

Max Lela [58], belum genap setahun pensiun sebagai ranger di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW]. Namun kecintaannya pada maleo, satwa yang dia jaga dan teliti lebih dari separuh hidupnya, membuatnya tak bisa lepas dari burung unik asli Sulawesi ini.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, seluas lebih dari 282 ribu hektar, terletak di Provinsi Sulwesi Utara dan Gorontalo. Taman nasional ini merupakan kawasan konservasi darat terluas di Sulawesi. Simbolnya bergambar maleo, menandakan burung ini adalah maskot sekaligus prioritas utama konservasi di area ini.

Lokasi peneluran maleo yang kami kunjungi ini berada di Tambun. Terdapat enam lokasi peneluran maleo aktif di kawasan ini, yang lima diantaranya dipantau langsung secara intensif oleh Balai TNBNW.

“Itu hatchery tua, tempat penelitian awal maleo pada 1980-an,” terang Max sembari menunjuk beberapa bangunan hatchery yang sebagiannya hancur, di sisi utara lokasi peneluran ini. Max merupakan bagian generasi awal tim Balai TNBNW yang mendampingi para peneliti maleo saat itu, seperti René Dekker dan Marc Argeloo.

Baca: Bukan Cara Biasa Menjaga Maleo

 

Butuh dua hari, anak maleo yang baru menetas menembus timbunan pasir untuk naik ke permukaan. Foto: Hanom Bashari

 

Pada 2001 silam, Max dan kolega bersama mitra kerja Balai TNBNW, dari Wildlife Conservation Society [WCS], memulai program konservasi maleo di taman nasional ini. Tambun lokasi pilihan pertama.

Iwan Hunowu [49], saat ini sebagai North Sulawesi Program Manager WCS, merupakan personil yang masih aktif terlibat langsung, program konservasi maleo di TNBNW hingga sekarang.

“Kami masih memiliki catatan, telur pertama dalam program konservasi maleo ini di Tambun, kapan diperoleh dan menetas,” terang Iwan, pertengahan November 2022.

“Tidak mudah saat awal itu,” tambah Max. “Bahkan, telur pertama yang kami dapatkan, bukanlah telur yang kami peroleh langsung dengan mencari dan menggali dari area peneluran Tambun. Justru, kami dapatkan dari petani setempat, yang saat itu umumnya terbiasa mengambil telur maleo di lokasi ini.”

Baca: Melindungi Maleo Harus Ada Aksi Bersama

 

Hamparan pasir tempat maleo bertelur di Sulawesi. Foto: Hanom Bashari

 

Hari Maleo Sedunia

Burung maleo [Macrocephalon maleo] memang istimewa. Telurnya yang seukuran telapak tangan orang dewasa, diletakkan induknya dalam timbunan tanah dan pasir, lalu ditinggalkan. Jika predator seperti biawak tidak dapat mendeteksi, telur ini selamat. Berikutnya, telur yang dirimbun itu, mendapatkan panas alami yang bersumber dari geothermal dan atau sinar matahari dalam proses inkubasinya.

Sekitar 60 hari telur menetas. Sang piyik [anakan maleo] butuh sekitar dua hari menggali pasir yang menimbun tubuhnya untuk bisa muncul ke permukaan. Saat ia menghirup napas bebas pertamanya, sudah banyak predator mengancam, mulai biawak, ular phyton, maupun elang di angkasa.

Jika lolos dari sergapan, anakana maleo yang telah memiliki kemampuan terbang instan, segera menuju hutan terdekat. Dia menghadapi kerasnya kehidupan, sendirian tanpa sang induk, tanpa bantuan.

Pada Januari 2020 silam, Balai TNBNW dan para mitra berdiskusi, merancang strategi terbaik untuk mempertahankan dan meningkatkan populasi maleo di kawasan ini, serta seluruh Sulawesi. Hingga, tercetuslah ide peringatan Hari Maleo Sedunia [World Maleo Day], sebagai bentuk kepedulian bersama, bahkan dunia.

“Kami memilih 21 November sebagai Hari Maleo Sedunia. Anak maleo pertama yang kami lepasliarkan, hasil penetasan semi alami di hatchery Tambun, pada 21 November 2001,” terang Dini Rahmanita [40], tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai TNBNW.

Ini hanya tanggal pengingat, momentum merayakan dan menyebarluaskan isu konservasi maleo.

“Kami ingin, Hari Maleo dirayakan seluruh pegiat konservasi maleo di Sulawesi, Indonesia, bahkan dunia. Kementerian LHK telah mencanangkan secara resmi Hari Maleo Sedunia saat Festival Maleo di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pada 2020 lalu,” lanjutnya.

Melalui program konservasi dan pemantauan maleo di Tambun sejak 2001, dapat diperkirakan jumlah rata-rata pasangan maleo dalam setahun yang datang untuk bertelur. Ada catatan positif, yaitu kenaikan mencapai 150 persen dalam 18 tahun, yaitu dari 27 pasang pada 2002 menjadi 69 pasang pada 2020.

“Bahkan pada 2015, pernah tercatat jumlah tertinggi, yaitu 93 pasang maleo datang bertelur dalam setahun,” ujar Dini.

Baca juga: Maleo Senkawor, Burung Romantis yang Setia pada Pasangannya

 

Maleo senkawor [Macrocephalon maleo] merupakan burung khas Sulawesi. Foto: Hanom Bashari

 

Aksi nyata

Aliansi Konservasi Tompotika [Alto], sebuah lembaga kemitraan internasional yang bertujuan memperbaiki pertalian antara manusia dan alam semesta, telah melakukan aksi nyata penyelamatan maleo, di Luwuk, Sulawesi Tengah.

Alto sangat aktif dalam mengelola dan memantau lokasi peneluran maleo di pantai Libuun, sejak 2006 silam. Area peneluruan tersebut berstatus sebagai Kawasan Konservasi Perairan sejak 2014, dan sejak 2013 telah diajukan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial.

“Silakan naik ke menara untuk melihat maleo, tapi bergantian dua-dua orang,” jelas Pandji Kresno. Di atas menara, Vivi Tan Oga sudah menanti. Pandji dan Vivi merupakan staf Alto.

Dari lubang intai menara, terlihat hamparan pasir putih bersih seperempat hektar, dikelilingi rimbunan vegetasi. Di hamparan itu, sekitar 50-an individu maleo tampak berlarian, saling kejar, namun ada juga yang menggali lubang telur.

“Setiap jam kami mencatat kehadiran maleo di lokasi ini,” terang Vivi. Bahkan menurut Pandji, pada Desember 2021, terpantau 118 maleo dalam satu kesempatan.

“Kami hanya memantau maleo bertelur, tanpa memindahkannya. Kami juga tidak mengusir predator, kecuali mencegah manusia yang akan mengambil telur maleo,” jelas Pandji.

Keberhasilan konservasi maleo di lokasi ini, tak lepas dari usaha penyadartahuan yang digerakkan bersama oleh Alto, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat.

Dalam sebuah tulisan ilmiah yang diterbitkan di Jurnal Global Ecology and Conservation pada 2021 lalu, Tasirin dkk. menyatakan bahwa terjadi peningkatan perkiraan jumlah maleo yang berkunjung di pantai Libuun, sebanyak empat kali lipat dalam 14 tahun.

Usaha nyata konservasi maleo sesungguhnya tidak hanya dilakukan di TN Bogani Nani Wartabone dan pantai Libuun. Seluruh Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional darat di lingkup Sulawesi, menjaga dan mengelola lokasi-lokasi peneluran maleo di kawasannya.

 

Sepasang maleo yang terpantau di habitatnya. Foto: Dok. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Kritis

IUCN – lembaga konservasi dunia, memasukkan maleo dalam status Kritis [CR – Critically Endangered] atau selangkah lagi menuju kepuhanan. Status ini belum lama bertengger, sejak Desember 2021, sebelumnya sejak 2002 menyandang status Genting [EN – Endangered].

Dalam justifikasi status Kritis, IUCN menjelaskan bahwa lebih dua pertiga dari lokasi peneluran yang diketahui telah tidak aktif dan terjadi pengurangan yang cepat dalam jumlah kunjungan maleo di lokasi aktif tersisa selama tiga generasi terakhir.

Meski begitu, di beberapa lokasi peneluran maleo yang dikelola aktif, tidak terjadi eksploitasi, sehingga diperkirakan masih bertahan. Namun, hilangnya hutan dataran rendah dengan laju sedang hingga cepat, tetap mendorong maleo menjadi kritis.

BirdLife International, lembaga konservasi international untuk pelestarian burung, memperkirakan populasi global maleo saat ini berkisar 8.000 – 14.000 individu dewasa, dengan kecenderungan populasi menurun.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan maleo sebagai satu dari 25 satwa terancam punah prioritas yang ditingkatkan populasinya 10 persen periode 2015–2019, berdasarkan SK Dirjen KSDAE Nomor: 180 Tahun 2015.

Maleo pun termasuk satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor: P.106 Tahun 2018. Kementerian LHK juga telah mensahkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Maleo Senkawor 2020–2030, berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor: 76 tahun 2022.

Hari Maleo Sedunia merupakan momentum tahunan kita bersama untuk melestarikan warisan dunia, yang hanya ada di Indonesia.

 

Hanom Bashari. Pemerhati ekologi dan konservasi burung liar. Saat ini aktif dalam Forest Programme III Sulawesi di Sulawesi Tengah.

 

Exit mobile version