Mongabay.co.id

Sarwidi, Mantan Pemburu Jadi Juru Selamat Penyu

 

Setiap sore, jika hujan tidak turun dengan deras, Sarwidi (57) pasti menelusuri bibir pantai dengan ATV-nya sampai dia melihat belukar cemara udang yang dahannya lebat dan menggantung rendah. Sarwidi mematahkan dan mengumpulkan dahan-dahan itu untuk dibawa pulang dan diberikan kepada kambingnya.

Setelah menaruh dahan ke dalam kandang, Sarwidi kembali berangkat ke pantai untuk mengumpulkan kayu-kayu yang terdampar. Dari banyak warga pesisir, dia adalah satu-satunya yang masih menggunakan kayu untuk memasak.

“Kalau pakai gas harus keluar uang, Mas,” balasnya ketika saya tanya alasan memilih barang-barang yang disediakan oleh alam.

baca : Inisiatif Anas dan Harapan Baru Konservasi Penyu di Pulau Lanjukang

 

Sarwidi mengikat setumpuk dahan cemara udang untuk makanan kambingnya. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Pria yang akrab dipanggil Min itu lebih memilih repot-repot mengumpulkan sendiri daun, dahan, dan kayu ketimbang membeli pakan kambing dan gas di toko sebab dia perlu memperhitungkan pengeluarannya dengan ketat.

Sarwidi bukan penduduk pantai biasa. Dia adalah orang yang menginisiasi kegiatan konservasi penyu Pantai Pelangi, Desa Parangtritis, Kecamatan kretek Kabupaten Bantul, Yogyakarta,. Ribuan tukik selamat dari perburuan karena usahanya. Sudah dua belas tahun Sarwidi menggeluti aktivitas itu dan dia mengaku melakukan semuanya dengan sukarela.

Padahal, sebelum menjadi penyelamat penyu, Sarwidi adalah seorang pemburu layaknya banyak warga pesisir Bantul. Dia berkisah bahwa dahulu daging dan telur penyu adalah salah satu sumber pangan lokal utama.

“Jadi memang aneh dulu itu. Penduduk sini gak bisa nangkep ikan walaupun tinggalnya dekat laut. Yang mudah ditangkap ya penyu itu sama telurnya,” tutur Sarwidi sembari menghisap puntung rokoknya.

Satu malam di tahun 2009, Sarwidi bermimpi didatangi oleh seorang wanita dari laut yang memintanya menjadi juru selamat penyu. Sarwidi mengingat mimpi itu sebagai sebuah wahyu. Mendengar ceritanya, saya teringat dengan sosok Nyi Roro Kidul, ratu mistis laut selatan Jawa yang bermukim di kedalaman Samudra Hindia.

baca juga : Tantangan Konservasi Penyu Sumbawa Barat : Pejabat hingga Pelajar Doyan Makan Telur Penyu (Bagian 1)

 

Ruang depan rumah Sarwidi yang sering dipakainya untuk tidur. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Sebulan kemudian, dia menemukan satu sarang penyu berisi puluhan telur. Sebagian dari telur itu dipakainya untuk konsumsi sehari-hari. Namun, dia mencoba menetaskan sebagian lainnya. Secara mengejutkan, telur-telur itu berhasil menetas. Tukik-tukik yang baru lahir kemudian dilepaskan oleh Sarwidi untuk kembali ke laut.

Selama dua belas tahun Sarwidi melakukan patroli untuk mencari sarang penyu ketika musim pendaratan tiba, yaitu dari Bulan April sampai September. Setiap malam, dia berjalan kaki sejauh delapan kilometer pada gelap yang sangat pekat.

Jumlah telur yang Sarwidi rawat semakin banyak dan dia mulai berpikir untuk mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menjaga kelestarian penyu atau setidaknya tidak memakan hewan itu.

 

Strategi Konservasi

Sarwidi punya berbagai strategi dalam mengajak warga di sekitarnya untuk menjaga penyu.

Dia sering mengajak anak-anak yang tinggal di sekitar pantai untuk ikut melepaskan tukik ke laut. Gagasan Sarwidi adalah untuk mengedukasi generasi muda yang belum terkungkung oleh pandangan bahwa penyu adalah makanan sehari-hari.

Dia juga berharap agar anak-anak yang diajaknya dapat bercerita kepada teman dan anggota keluarga mereka masing-masing.

Kepada para masyarakat dewasa, Sarwidi punya pendekatan lain yang menuntut lebih banyak pengorbanan. Dia bersedia mengganti setiap telur penyu yang ditemukan warga dengan harga dua ribu rupiah.

Saya tidak merasa itu harga yang tinggi sampai saya tahu kalau satu sarang penyu bisa berisi seratus telur lebih. Tidak jarang Sarwidi perlu mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk mengganti telur dari seseorang. Satu hari, dia bahkan perlu menjual kambingnya untuk mengganti 700 buah telur yang sepadan dengan nominal Rp1,4 juta.

“Waktu dia datang, saya bilang saya sedang gak ada uang. Terus saya bilang ke dia tunggu sampai besok. Saya buru-buru jual dulu kambing satu buat ganti telur. Itu juga susah, Mas, karena siapa yang mau beli kambing waktu pandemi?” Sarwidi bercerita ketika ditanya bagaimana cara dia mengganti telur itu.

Itulah mengapa Sarwidi perlu menghitung pengeluarannya dengan ketat. Penghasilannya bukan hanya dibagi kepada dirinya sendiri dan keluarga, tapi juga kepada penyelamatan telur penyu.

baca juga : Komitmen Konservasi Penyu di Tengah Pandemi di Cilacap

 

Dua di antara tiga penyu yang dirawat Sarwidi. Satu ekor penyu lain yang buta berada di bak terpisah. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Selain untuk mengganti telur, penghasilan Sarwidi juga dibagi dengan tiga ekor penyu yang tidak dilepasnya, semuanya merupakan spesies penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Sarwidi perlu memberi makan dua kali sehari dan mengganti air baknya dua kali seminggu. Masing-masing menuntut biaya yang tidak bisa dibilang sedikit.

Sarwidi paham bahwa penyu merupakan hewan yang dilindungi dan secara hukum seharusnya tidak ada orang yang boleh menangkarkannya. Namun, dia berpendapat bahwa aturan tidak selalu ideal untuk aplikasi langsung di lapangan.

“Yang ini buta, Mas. Digigit sama tukik lain waktu masih kecil. Kalau saya lepas ya apa bisa dia hidup sendiri?” Sarwidi memutuskan untuk tidak melepas ketiga penyu itu ketika menetas karena khawatir mereka tidak akan selamat di alam.

Selain itu, dia memandang bahwa penyu-penyu itu adalah sarana edukasi bagi wisatawan. Dari sana, tidak jarang dia mendapat donasi pengunjung domestik dan mancanegara. Uang itu dipakai oleh Sarwidi untuk melanggengkan kegiatan konservasi rintisannya.

baca juga : Kesetiaan Pokmaswas Jalur Gaza Flores Timur Lakukan Konservasi Penyu

 

Sarwidi sedang membersihkan tempurung penyu yang dirawatnya. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Dukungan Keluarga dan Rekan-Rekan

“Ya untung ibu support. Dia ngerti walau saya harus sampai jual kambing untuk penyu itu. Kalau nggak, ya kita udah selesai dari lama,” ucap Sarwidi ketika saya tanya mengenai pandangan keluarganya tentang kegiatan konservasi penyu.

Harwanti, istri Sarwidi, mendukung penuh kegiatan konservasi suaminya. Dia membantu pemasukan keluarga dari menjaga warung di rumah mereka. Bangunan sederhana keluarga itu dirancang sebagai tempat pengunjung beristirahat, mulai dari wisatawan, mahasiswa yang melakukan acara, sampai orang yang menaruh dupa pada tengah malam.

Tapi, pengunjung yang pasti memenuhi rumah mereka setiap hari selama 24 jam adalah para pemancing karena Pantai Pelangi merupakan lokasi memancing yang cukup populer. Mereka menjadikan satu bangunan di samping rumah Sarwidi sebagai markas.

Sarwidi mengajak rekan-rekan pemancingnya untuk ikut melestarikan penyu. Dia berpesan kepada mereka untuk langsung menghubunginya jika menemukan penyu mendarat ketika sedang memancing.

Nugroho (55), salah satu pemancing asal Kotagede, Kota Yogyakarta, bahkan terlibat aktif dalam kegiatan konservasi penyu. Pria yang akrab dipanggil Balung ini selalu menetap di Pantai Pelangi setiap kali musim pendaratan penyu datang. Dia berbagi tugas dengan Sarwidi dalam melakukan patroli. Jika Sarwidi pergi ke barat, maka Nugroho pergi ke timur.

“Aku tidur di sini sampai enam bulan itu sukarela. Yang penting penyu lestari,” ujar Nugroho.

baca : Kesetiaan Pedan Wutun Mengkonservasi Penyu

 

Nugroho sedang memeriksa sarang semi-alami tempat menetaskan telur-telur penyu dengan aman. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Semua usaha Sarwidi dan orang-orang yang membantunya tentu tidak sia-sia. Kegigihan mereka untuk melestarikan penyu menarik perhatian banyak pihak, khususnya anak muda dan beberapa perusahaan lewat program corporate social responsibility (CSR) mereka.

4K Yogyakarta merupakan salah satu komunitas yang paling aktif mendukung pelestarian penyu. Komunitas ini berisi anak-anak muda yang ingin mendukung program konservasi Pantai Pelangi.

Dari badan pemerintah, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) bersama Balai Konsevasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi DIY mendukung pembentukan Kelompok Konservasi Pantai Pelangi sebagai salah satu dari empat Program Kerja Masyarakat (Pokmas) yang fokus pada kegiatan konservasi penyu di sepanjang pesisir Kabupaten Bantul.

Untuk mendukung kegiatan Kelompok Konservasi Pantai Pelangi, baik badan-badan pemerintah ini kerap melakukan pemantauan dan pendampingan kegiatan konservasi.

Daerah seluas 133,32 hektare juga telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). Pantai Pelangi bersama dengan rumah Sarwidi berada di dalamnya.

Bersama dengan penetapan KKP3K, badan-badan pemerintah memberikan bantuan pada Kelompok Konservasi Pantai Pelangi, khususnya dalam pengadaan fasilitas dan pendampingan. Dinas ikut menyediakan berbagai perlengkapan konservasi, mulai dari tempat penetasan semi-alami, ATV, hingga tugu penyu sebagai penanda lokasi pelestarian penyu.

 

Sarwidi membawa ATV yang difasilitasi oleh DKP untuk mengangkat pompa ke pantai ketika akan mengganti air bak penyu. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Hari ini, Kelompok Konservasi Pantai Pelangi bersama 4K Yogyakarta sedang berambisi untuk untuk membangun kegiatan ekowisata yang berlandaskan konservasi penyu. Bagi Sarwidi, ekowisata merupakan tonggak yang penting untuk dicapai oleh kegiatan konservasi Pantai Pelangi.

Kegiatan ekowisata memberikan setidaknya dua manfaat bagi Kelompok Konservasi Pantai Pelangi. Yang pertama adalah sebagai penyebar luas edukasi mengenai pelestarian penyu pada khalayak umum. Kedua, ekowisata bisa menjadi tumpu utama bagi tuntutan operasional konservasi agar pelestarian penyu bisa terus berlanjut. Bersambung.

 

Sarwidi ketika memantau proses penggalian sumur untuk mengganti air bak penyu. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

*Finlan Adhitya Aldan, wartawan lepas domisili di Yogyakarta

 

Exit mobile version