Mongabay.co.id

Burung Jembang, Penghuni Sejati Hutan Pulau Bangka

 

 

Jembang, begitu sebutan masyarakat kepada spesies burung berwajah biru, penghuni sejati hutan rimba Pulau Bangka. Nama ilmiahnya Lophura ignita. Genus Lophura yang dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai burung sempidan biru,  yang banyak menghabiskan waktunya di permukaan tanah.

“Dulu saat hutan masih lebat, kami sering melihat jembang saat mencari madu hutan. Gerakannya cepat dan lincah, langsung hilang dalam sekejap mata,” kata Saem [73], Ketua Adat Desa Serdang, Kabupaten Bangka Selatan, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Burung jembang dikenal pemalu, jarang terlihat di luar kawasan hutan. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk mengais dedaunan kering, mencari semut, rayap, atau buah hutan yang jatuh di lantai hutan, sebagai makanan favoritnya.

“Jembang hanya bisa ditemui di hutan lebat yang jarang dimasuki manusia,” lanjut Saem, yang sering menginap di kebun ladanya dekat Rimba Keratung, hutan larangan di Desa Serdang.

Rimba Keratung merupakan hutan tersisa di Desa Serdang, luasnya sekitar 23 hektar. Menurut Matro [38], pemilik kelekak/kebun dekat hutan di sekitar Rimba Keratung, sebelum tahun 2000-an, dirinya masih sering berpapasan dengan burung jembang.

“Saya yakin, jembang masih ada di rimba keratung, karena beberapa kali saya mendengar suaranya,” lanjutnya.

Mirip cerita di Rimba Keratung, burung jembang juga mulai jarang terlihat sejak tahun 2000-an di hutan Rimba Mambang, hutan tersisa di Desa Dalil, Kabupaten Bangka.

Menurut Iswarjono, dari Kelompok Sadar Wisata [Pokdarwis] Desa Dalil, dulunya Rimba Mambang menjadi habitat alami jembang.

“Tahun 2017 lalu, warga yang mencari madu di hutan Rimba Mambang pernah melihat. Jumlahnya sedikit saat ini,” lanjutnya.

Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Burung jembang [Lophura ignita] di PPS Alobi. Saat ini populasinya terus menurun, akibat hilangnya habitat serta perburuan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 2021 lalu, PPS Alobi bersama BKSDA Sumatera Selatan melakukan pelepasliaran 2 ekor burung jembang jantan, di Taman Nasional [TN] Gunung Maras.

Langka Sani, Ketua PPS Alobi mengatakan, saat ini belum ada data pasti populasi jembang di Pulau Bangka, akan tetapi diperkirakan populasinya menurun akibat degradasi habitat [hutan] dan perburuan.

“Habitat jembang berada di hutan yang menjadi wilayah larangan masyarakat, serta sejumlah kawasan hutan konservasi seperti TN Gunung Maras,” katanya.

Berdasarkan dokumen SLHD [Status Lingkungan Hidup Daeah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2014, luas kawasan hutan di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 657.380 hektar. Sementara, dalam dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, luas kawasan hutan tahun 2015 tersisa 235.585,8 hektar, atau berkurang 421.794,2 hektar setahun.

Luasan tersebut terus mengalami penurunan, hingga tersisa 197.255,2 hektar. Artinya, kurang waktu enam tahun [2014-2020], Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 hektar.

Baca: Mengkubung yang Tak Lagi Nyaman di Hutan Bangka Belitung

 

Spesies Lophura ignita berperan penting dalam proses meregenerasi hutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Populasi menurun 

Secara umum, panjang tubuh burung sempidan berkisar 40-90 sentimeter. Jantan umumnya berbulu panjang serta memiliki kulit berwarna di sekitar muka yang akan mengembang saat musim berbiak. Sedangkan betina berwarna cokelat suram, berguna untuk menyamar saat mengerami telur di sarang yang terletak di atas tanah. Spesies ini juga mampu terbang rendah dalam jarak dekat.

Merujuk situs resmi IUCN Red List, burung sempidan hanya ada di daratan Asia. Total 11 spesies, yang 6 jenis ada di Indonesia, yakni Lophura inornata [Sumatera], L. leucomelanos, L. diardi, L. edwardsi, L. bulweri [Kalimantan], L. pyronota [Kalimantan], L. erythrophthalma [Sumatera], L. nycthemera, L. ignita [Bangka dan Kalimantan], L. rufa [Sumatera], dan L. swinhoii.

Dikutip dari situs yang sama, semua spesies sempidan menunjukkan tren penurunan populasi akibat degradasi hutan, yang diirigi ancaman perburuan liar.

Baca juga: Mitos yang Menjaga Kelestarian Rimba Mambang

 

Hutan yang sangat penting bagi habitat satwa liar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bahkan berdasarkan status di IUCN Red List, sejak tahun 2020, status Lophura ignita [Bangka dan Kalimantan] menjadi Vulnerable atau Rentan, yang sebelumnya pada 2014-2016 berstatus Near Threatened atau hampir terancam.

“Spesies ini dianggap berisiko tinggi dan sangat mudah diakses pemburu, dengan perkiraan pengurangan populasi karena perburuan 57,9 persen selama 15 tahun,” tulis IUCN Redlist.

Berikut status terakhir spesies Lophura, dikutip dari situs datazone.birdlife.org; Lophura leucomelanos [Risiko Rendah], Lophura nycthemera [Risiko Rendah],  Lophura swinhoii [Hampir Terancam], Lophura diardi [Risiko Rendah], Lophura bulweri [Rentan], Lophura erythrophthalma [Terancam Punah], Lophura pyronota [Terancam], Lophura ignita [Rentan], Lophura rufa [Rentan], Lophura edwardsi [Terancam punah], dan Lophura inornata [Hampir Terancam].

 

Kawasan hutan di Pulau Bangka yang terkotak-kotak oleh perkebunan sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Belum dilindungi

Langka Sani mengatakan, sudah sepatutnya sempidan biru yang ada di Pulau Bangka, masuk kategori satwa dilindungi.

“Hal ini merujuk pada tren populasinya yang terus menurun, serta ancaman perburuan yang masih terjadi,” lanjutnya.

Di sisi lain, burung jembang berperan sangat penting dalam mendukung ekosistem dan meregenerasi hutan.

Sempidan biru berperan dalam proses penyebaran benih tumbuhan hutan karena makanan utamanya biji-bijian. Biji yang tidak tercerna sempurna keluar bersama fesesnya, lalu tumbuh dan bertambah besar.

“Perannya luar biasa untuk hutan. Apalagi jika melihat kondisi hutan Pulau Bangka hari ini, yang terus terdegradasi oleh aktivitas penambangan timah serta perkebunan skala besar,” tegas Langka.

 

Exit mobile version