Mongabay.co.id

Juliana Ojong, Bergerak Demi Bumi dan Sesama Lewat ‘Eco Enzyme’

 

 

 

 

“Semangatnya emang luar biasa. Kita kayak ketularan, gitu, sampai saya itu ke mana-mana ngomongin eco enzyme sekarang,” kata Dani Wahyu Munggoro, ideas creator, awal 4 November lalu.

Orang yang Dani maksud adalah Juliana Ojong. Juliana adalah pegiat eco enzyme nusantara. Dia mengkampanyekan eco enzyme di berbagai tempat. Dia pemimpin Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara Jakarta Pusat.

Dani kenal Julia saat acara lokakarya Faith Inspired Changemaking Initiative Indonesia (FICI)  di Bogor 26-30 Agustus lalu. Dalam acara itu, Dani jadi pemandu acara, sedangkan Julia sebagai peserta.

Di sela-sela acara, Julia membuat lomba kecil-kecilan di dapur villa itu. Dia mengajak para petugas dapur adu bersih dalam membersihkan alat-alat dapur. Mereka gunakan deterjen biasa, sedangkan Julia pakai cairan yang bercampur eco enzyme.

“Kemudian kelihatan yang pakai eco enzyme itu lebih mengkilau, lebih bersih dibandingkan pakai deterjen. Habis itu mereka menjadi kader eco enzyme di dapur si hotel (villa) itu.”

Sejak itu, Dani terpengaruh gerakan Julia. Dia mulai mencari beberapa produk eco enzyme.

Eco enzyme adalah cairan serba guna hasil fermentasi dari sampah organik: kulit buah, sayur-sayuran, dan gula. Formula pembuatan eco enzyme ditemukan oleh Rosukon Poompanvong, pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand, dan diperkenalkan lebih luas oleh Joean Oon, peneliti naturopathy dari Penang, Malaysia.

Di Indonesia, Julia dengan Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara menyosialisasikan dan memberikan pelatihan kepada para komunitas ibu rumah tangga atau lembaga pendidikan secara gratis sejak 2019, dua tahun pertama lebih banyak lewat zoom.

Formula ini tidak dipatenkan. Siapapun bisa membuat dan mendistribusikan.

Gerakan ini bertujuan turut serta menyelamatkan bumi sambil melakukan gerakan aksi kemanusiaan, menolong sesama.

“Ingin menyelamatkan sampah-sampah organik ini menjadi berguna. Ingin menyelamatkan bumi ini dari pemanasan global,” kata Julia kepada Mongabay.

Dia sering membawa sebotol kecil cairan eco enzyme untuk jaga-jaga kesehatan. Cairan itu juga bisa jadi sebagai obat pertolongan pertama karena bisa untuk menyembuhkan luka.

 

Produk eco enzyme yang menjadi shampo. Foto: Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara

 

Cairan itu bisa sebagai penetralisir air yang bau karena terkontaminasi berbagai zat kimia berbahaya. Tak jarang dia dan komunitasnya melarungkan cairan ini ke kali, got, atau sungai. Saat hujan,  mereka menuangkan eco enzyme secara serentak.

Meskipun menuang cairan saat hujan terkesan membuang, sejatinya itu berbagi terhadap alam.

Bila bicara kebersihan, katanya, penggunaan eco enzyme sebagai campuran cairan pembersih jauh lebih efisien dan hemat. Bila untuk jadi cairan pembersih lantai, misal, cairan harus dicampur dengan cairan pembersih lantai pabrikan dengan perbandingan 50:50.

Cairan organik ini lebih ramah lingkungan dan tak mahal.

Pembuatan eco enzyme, katanya,  untuk mengurangi sampah organik, maka semua jenis gula bisa dipakai. Cairan ini, katanya,  bisa sebagai penyubur tanah, pembersih lantai, sabun, obat luka, penetralisir air bau, dan lain-lain.

“Kalau selama ini kita beli organik itu mahal, nah ada cairan pembersih alami yang bisa kita buat sendiri di rumah yang bisa kita olah,” kata Julia.

“Alangkah indahnya (jika) semua rumah tangga … sudah melakukan semua ini, bukankah kali kita akan menjadi lebih bersih, lebih sehat, dan bukankah kesehatan itu penting untuk semua makhluk hidup.”

Gerakan Julia tak cukup hanya menyasar komunitas ibu rumah tangga atau lembaga pedidikan, tetapi juga masuk ke pemerintah untuk turut serta melakukan gerakan lingkungan.

Pada Agustus 2021,  mereka mulai masuk ke Pemerintah Jakarta untuk mengaudiensikan gerakan ini.

Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara ini telah membentuk jaringan di 27 provinsi di Indonesia, ada pengurusnya.

“Dengan eco enzyme, kebersamaan kita dapat, cinta kasih luar biasa, dengan memilah sampah juga membantu pemerintah,” kata perempuan yang juga Wakil Sekretaris Jenderal I Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara itu.

Komunitas ini berkolaborasi dengan Pemerintah Jakarta dalam pengelolaan sampah, mereka masuk jajaran kolaborator dalam program Kolaborasi Sosial Berskala Besar Persampahan (KSBBP).

“Kalau kita jaga alam, katanya ya, tentu alam jaga kita,” katanya.

Hening Purwati Parlan, Kepala Devisi Lingkungan Hidup, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, jadi saksi atas gerakan Julia.

Menurut dia, masalah bumi adalah masalah bersama. Bila bicara gerakan, seseorang harus punya teman untuk mengobrol, punya stimulus bergerak, dan punya media bergerak sebagai alat pergerakan. Dalam aksi, katanya,  harus ada koneksi, saling mendorong satu sama lain, dan saling menginspirasi.

“Ketika dia bertemu teman-teman, dia akan meluas. Kalau, misal, dia hanya bicara di faith (kepercayaan), dia tidak bergerak meluas. Dia tidak gunakan agama, hanya nilainya, bukan label agamanya.”

 

Produk Eco Enzyme buat lulur. Foto: Dokumen Komunitas Sosial dan Lingkungan Eco Enzyme Nusantara

 

Membuat eco enzyme

Bagaimana membuat eco enzyme?  Tidaklah sulit. Ada rumus paten yaitu 1:3:10,  jadi satu kilogram gula merah atau molase, tiga kilogram kulit buah-buahan atau potongan sayur-sayuran yang masih segar, dan 10 liter air. Bila mau membuat eco enzyme dalam jumlah lebih sedikit atau lebih besar, maka perbandingan harus sama.

Sampah organik sebagai bahan baku harus yang masih segar, masih belum dimasak, bila sudah dimasak tidak bisa jadi bahan baku.

Setelah bahan-bahan ditakar dan dicuci bersih, gabungkan bahan-bahan itu dan aduk, lalu letakkan di wadah kedap udara. Tutup rapat, tidak boleh terkontaminasi cairan lain.

Wadah yang disarankan 100% volume wadah, dengan 60% air dan 40% ruang kosong. Misal,  volume wadah 10 liter, maka air enam liter.

Minimal difermentasi paling singkat selama 90 hari, sedangkan makin lama makin baik selama belum tercampur air lagi. Selama wadah tidak terbuka, maka tidak akan kadaluarsa.

“Apa yang kita masukkan itu sangat berpengaruh. Kalau sayur yang lebih banyak, wangi berkurang. Kalau jeruk dan buah-buahan lebih banyak, wangi lebih bagus. Terus gula, gula merah kurang wangi. Kalau gula molase lebih wangi. Maka saya lebih suka molase,” kata Julia.

 

Julia Ojong saat mempresentasikan Eco Anzyme dalam lokalarya FICI di Bogor. Foto: Dokumen FICI

 

********

 

Exit mobile version