Mongabay.co.id

RUU Konservasi Diharap Akomodir Kepentingan Masyarakat Adat

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-undang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) sebagai revisi dari UU KSDAE No. 5 tahun 1990. Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan catatan terkait RUU ini, paling urgen terkait partisipasi masyarakat adat dan lokal.

Kehadiran RUU ini juga diharapkan bisa menyelesaikan berbagai konflik yang kerap terjadi di kawasan konservasi yang melibatkan negara dan masyarakat adat di dalamnya.

Tubagus Soleh Ahmadi, Kepala Divisi Penguatan Keorganisasian Eksekutif Nasional WALHI, menilai RUU ini secara semangat sudah memasukkan prinsip-prinsip tentang peran serta dan partisipasi masyarakat meski belum sepenuhnya memenuhi prinsip partisipasi jika dilihat dari tangga partisipasi yang ada.

“Partisipasi itu juga kan ada tangga-tangganya. Kalau kita lihat dalam rancangan ini partisipasi masyarakat masih belum penuh melibatkan masyarakat atau menempatkan masyarakat dalam akses dan kontrol terbatas. Ini masih belum mumpuni dan memadai dalam RUU yang ada saat ini,” dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring oleh Teras Mitra, Sabtu (5/11/2022) silam.

RUU ini juga dinilai masih setengah hati dalam menempatkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan utama, yang dari draf yang ada terlihat masih adanya ancaman perampasan hak masyarakat dengan dalih konservasi, padahal keberhasilan konservasi justru paling besar di wilayah yang berada di dalam wilayah kelola rakyat.

“Penting memang RUU ini sebagai basis untuk menyelamatkan kawasan ekologi yang tersisa, baik itu untuk dilindungi kemudian direstorasi atau dipulihkan tetapi seharusnya pengakuan sistem kelola rakyat harus didahulukan. Nah ruang ini belum cukup memadai.”

baca : Vonis Maksimal Hakim, Akankah Diberikan untuk Pelaku Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar?

 

Paradigma konservasi nasional berupa scientific forestry, yang tidak mengakomodasi keberadaan masyarakat adat, padahal mereka sudah melakukannya sejak dulu secara turun temurun, yang terbukti bisa menjaga hutannya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tubagus juga menilai masih kentalnya nuansa kolonial dalam penyelenggaraan konservasi saat ini.

“Kalau RUU ini masih menempatkan dan masih belum menjawab kebutuhan ekosistem dan kebutuhan rakyat, terlebih lagi ancaman perampasan hak rakyat, dirampas hak konstitusinya, maka nuansa kolonialnya masih tetap ada, yang tidak mengalami perubahan dari kebijakan konservasi sebelum-sebelumnya.”

Tubagus selanjutnya mengurai 5 prinsip utama yang penting dalam kebijakan konservasi. Pertama adalah pengakuan terhadap sistem konservasi lokal atau adat yang di berbagai daerah sejarahnya sangat panjang dalam membangun pengelolaan sumber kehidupan, baik itu dari dalam dan antar generasi.

“Berbagai budaya dan tata aturan lokal ini telah terbangun sebagai sebuah pengalaman empiris pengalaman interaksi komunitas dengan alam kehidupan. Jadi pengelolaan konservasi berbasis rakyat ini masih berlangsung di berbagai ekosistem di seluruh nusantara,” katanya.

Kedua, adalah hak untuk menentukan diri sendiri, ruang sumber-sumber kehidupan yang mengakui, menghargai, dan harus berdasarkan persetujuan dari komunitas masyarakat lokal atau adat.

“Menjadi hal yang sangat penting bagaimana negara sangat menentukan dalam ruang hidup secara mandiri kepada komunitas adat atau lokal tersebut.”

Prinsip ketiga terkait perlindungan ekosistem penting berupa kawasan ekologis yang situasinya kritis, yang sangat sulit ke kondisi semula, seperti kawasan karst, kerangas, mangrove, gambut, padang lamun, terumbu karang dan danau.

“Jadi penting untuk menempatkan kawasan-kawasan tersebut sebagai kawasan yang dilindungi dengan tetap mengacu pada sistem pengelolaan oleh komunitas lokal sebagai basis utama.”

baca juga : Mengapa Perdagangan Satwa Liar Ilegal di Indonesia Tinggi?

 

Petugas dari BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL) memasang GPS Collar pada gajah sumatera liar di hutan Ekosistem Leuser, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur pada 06 Maret 2019. Pemasangan GPS tersebut dilakukan pada salah satu gajah yang berkelompok untuk mengetahui jalur lintasan sehingga bisa membantu informasi untuk mitigasi konflik dengan masyarakat dan mencegah perburuan.

 

Prinsip keempat, terkait kelembagaan perlindungan dan konservasi alam. Ini dinilai menjadi hal yang cukup penting, termasuk juga bagaimana peran pemda diaktifkan karena selama ini perannya masih terbatas.

Kelima terkait penegakan hukum konservasi dengan tidak menghilangkan hak rakyat atas kawasan kelola, terutama komunitas lokal atau adat yang lebih dulu berada di kawasan konservasi, yang oleh Walhi disebut konservasi berbasis wilayah kelola rakyat.

Nadya Demadevina, Koordinator Penelitian Perkumpulan HuMa menjelaskan bahwa sekitar sepertiga konflik kehutanan saat ini adalah konflik antara Taman Nasional dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Hal tersebut terjadi karena tiga hal.

Pertama, karena paradigma konservasi nasional berupa scientific forestry, yang tidak mengakomodasi keberadaan masyarakat adat. Scientific forestry sendiri baru dikembangkan tahun-tahun terakhir ini, sementara masyarakat adat sendiri sudah melakukannya sejak dulu secara turun temurun, yang terbukti bisa menjaga hutannya.

Kedua, terkait pengakuan atas wilayah adat di kawasan konservasi. Dari 83 hutan adat yang sudah diakui paling sedikit berada di kawasan konservasi, sementara yang paling banyak di area penggunaan lain.

“Jadi setiap ada masyarakat yang mau ajuin hutan adat di kawasan konservasi pasti ada aja pejabat di KLHK yang mendorong ‘jangan hutan adat tapi kemitraan aja. Jadi di kawasan konservasi ini pengakuannya masih setengah-setengah.”

Penyebab ketiga adalah perlindungan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal masih sangat formalistis di dalam undang-undang. Di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dinyatakan bahwa pengetahuan tradisional dilindungi, meski kemudian tidak diimplementasikan.

“Kita lihat apakah itu bisa diimplementasikan sekarang? Tidak juga kan, karena kita lihat orang-orang yang bakar lahan untuk buka lahan dengan memerun itu masih dikriminalisasi sampai sekarang, karena perlindungan formalistis dengan cuma satu pasal bahwa pengetahuan tradisional masyarakat adat yang diakui dikecualikan dari ketentuan pidana ini namun ternyata tidak melindungi masyarakat adat hingga sejauh ini.”

baca juga : Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Tinggi, Pencegahannya?

 

Seorang warga melewati kawasan hutan mangrove di Desa Bahoi, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulut. Desa Bahoi mengembangkan ekowisata sebagai program konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Kejahatan Konservasi sebagai Kejahatan Terorganisasi

Menurut Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sejak tahun 1990 hingga sekarang atau selama 32 tahun ini undang-undang konservasi belum pernah melalui revisi atau pembaruan.

“Dari situ kita bisa melihat bahwa ketentuan yang ada setelah 32 tahun belum berubah pastilah belum memadai di berbagai aspek,” katanya.

Adrianus melihatnya UU konservasi yang ada saat ini dalam tiga hal. Pertama butuh pembaharuan, kedua berorientasi pada hukuman, bukan pada pemulihan atau konservasi itu sendiri dan ketiga hanya sebatas sarana bagi pembangunan saja.

“Ketiga hal tersebut tercermin pada uu konservasi yang ada sekarang yaitu UU No. 5 tahun 1990,” katanya.

Terkait revisi yang ada, terdapat sejumlah hal yang menjadi gagasan ICEL terkait aspek hukumnya.

Pertama, harus diatur kejahatan konservasi sebagai kejahatan yang terorganisasi, lalu ada pertanggungjawaban terhadap pemulihan dampak, karena selama ini kalau kita bicara terkait konservasi sumber daya alam sering kali kita menghukum tapi lupa kalau ada dampak yang perlu dipulihkan.

“Terus juga perbaikan regulasi bagi spesies yang dilindungi di daerah mana saja, perbaikan perumusan delik pidana terus penguatan kemudian dengan hukuman yang berorientasi ke pemulihan, jadi bukannya tidak sekedar dipenjara dan selesai seperti itu, padahal ada yang perlu dipulihkan dari situ. Berapa banyak kemudian spesies, jumlah atau populasi harimau yang perlu diperbaiki lagi dan sebagainya.”

Terakhir, terkait penegakan hukum yang harus lebih jauh menyasar aktor di balik kejahatan konservasi yang sebagian besar dikendalikan oleh korporasi.

Ia melihat ada kecenderungan penegakan hukum konservasi hanya menyasar pelaku lapangan yang biasanya adalah masyarakat lokal dan bahkan bisa menyasar masyarakat adat, padahal secara desain dalam sebuah kejahatan yang terorganisasi yang harus disasar seharusnya korporasi yang turut terlibat, apakah itu sindikat ataupun oknum-oknum yang ikut mengendalikan perdagangan.

“Dan seperti inilah yang sebenarnya bentuk-bentuk kejahatan, kalau lihat di undang-undang kehutanan, lingkungan, pembakaran hutan dan lahan, bukan orang-orang tradisional yang membakar di bawah 2 hektar tapi ikut ditangkap. Padahal yang target sebenarnya adalah korporasi besar seperti sawit, dsb. Nah ini yang kemudian luput kalau kita melihat dalam konteks penegakan hukum.”

 

 

Exit mobile version