Mongabay.co.id

Kala Belasan Organisasi Masyarakat Sipil Protes Pelarangan Peneliti Surati Menteri Siti Nurbaya

 

 

 

 

 

Sekitar 18 organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Akademik melayangkan surat keberatan administratif kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Kamis (1/12/22). Mereka mendatangi Manggala Wanabhakti, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, menyampaikan keberatan atas tindakan kementerian ini yang mengeluarkan surat larangan kepada beberapa peneliti asing melakukan penelitian di Indonesia. Tim advokasi menilai,  sikap kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya ini melakukan pembatasan terhadap kebebasan akademik sebagai kebijakan anti-sains.

Para peneliti orangutan yang mendapatkan’surat pencekalan’ dari KLHK adalah Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.

Herlambang Wiratraman dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik mengatakan,  peristiwa ini bukan kali pertama, tak mengejutkan dan oleh aktor yang sama. “Apa yang dilakukan Erik Meijaard dkk itu sebuah produksi pengetahuan. Pelarangan dan pencekalan itu bentuk kebijakan anti sains. Sangat disayangkan,” katanya.

Kalau ada perbedaan, kata Herlambang, seharusnya jadi kesempatan berharga untuk memberikan penjelasan kepada publik tanpa harus membatasi atau mencekal peneliti yang membuat riset atau artikel.

Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, mengatakan, publik berhak mendapatkan kedua informasi yang sama. “Tidak ada upaya untuk menghalang-halangi satu dan informasi yang lain dengan tuduhan bahwa informasi lain mendiskreditkan pemerintah. Atau pernyataan lebih luas bahwa informasi di luar versi pemerintah adalah informasi yang tidak dapat dipercaya,” katanya.

Jihan Fauziah Hamdi, pengacara publik LBH Jakarta, mengatakan,  surat keberatan ini dilayangkan karena surat KLHK menunjukkan sebuah bentuk kebijakan anti-sains dan membatasi kebebasan akademik sebagai bentuk kontrol kekuasaan atas produksi pengetahuan.

“Surat KLHK juga bukti tidak digunakannya riset sebagai basis pembuatan kebijakan, hanya bisa menerima hasil penelitian yang sesuai selera, kehendak dan kepentingan pemerintah,” katanya.

Tim advokasi kebebasan akademik dalam surat keberatan administrasi mendesak KLHK mencabut surat pengawasan penelitian satwa, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik, dan menghentikan praktik pembatasan kebebasan akademik. Juga memfasilitasi pertemuan untuk membahas tren populasi orangutan secara terbuka, transparan, dan akuntabel.

 

Baca juga: Menyoal Surat ‘Daftar Hitam’ Peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup

Paya, orangutan Tapanuli lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru, Senin (9/12/19), setelah sembuh dari luka-luka diduga kena senjata tajam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Surat keberatan berbagai organisasi masyarakat sipil ini diserahkan melalui Biro Umum Setjen KLHK. Adapun 18 organisasi yang tergabung dalam tim advokasi kebebasan akademik, antara lain, Amnesty International, Greenpeace Indonesia, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Jaringan Advokasi Tambang, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, SAFEnet, Perdulem, STHI Jentera dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Pers, Walhi Jawa Timur, dan lain-lain.

 

 

Respon KLHK?

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, setiap peneliti asing perlu menjalankan ketentuan dan peraturan. “Untuk masuk kawasan konservasi, setiap peneliti perlu mendapatkan Simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi),” katanya saat ditemui di KLHK. Alue tak merespon spesifik soal KLHK mengeluarkan ‘surat cekal’ kepada beberapa peneliti itu.

Menurut Alue,  setiap peneliti asing juga perlu mempresentasikan proposal dan menyerahkan laporan hasil penelitian sesuai prosedur dan regulasi di Indonesia.

Dia berharap, penelitian itu tidak bisa dari jarak jauh dengan data sekunder.

Setiap penelitian akan menghasilkan intellectual property rights (IPR) yang menjadi perhatian Indonesia. “Kalau mengolah data sekunder, fabrikasi data menggunakan remote sensing tanpa pernah ke lapangan itu tidak bagus,” katanya.

Dalam rilis Sabtu (3/12/22), KLHK menyatakan, mendukung penelitian berbasis sains, namun akan bersikap tegas terhadap para peneliti asing yang tak taat aturan.

Sehubungan  dengan penelitian-penelitian atas nama Erik Meijaard dkk, berdasarkan pendalaman pada semua jajaran unit kerja KLHK terkait, surat tertanggal 14 September itu perihal pengawasan penelitian satwa, merupakan perintah eksekutif kepada seluruh Kepala UPT Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) guna menegakkan peraturan perundang-undangan bidang perizinan penelitian dan pengembangan khusus obyek satwa liar Indonesia.

 

Dokumen: Surat Keberatan atas Surat Edaran KLHK

Tim Advokasi Kebebasan Akademik melayangkan surat keberatan administratif kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada Kamis (1/12/22). Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

KLHK mengklaim pertimbangan penerbitan surat itu karena ada indikasi Erik Meijaard dkk tidak memenuhi beberapa ketentuan yang diatur UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Juga, PP No. 46/2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing.

“Hingga perlu diambil langkah-langkah penertiban. Hal itu telah disampaikan kepada instansi berwenang untuk proses tindak lanjut sesuai peraturan perundangan,” bunyi rilis itu.

Para peneliti asing itu, KLHK sebut tak memenuhi ketentuan dalam menjalin kemitraan dalam negeri, mekanisme kerjasama dengan mitra peneliti lokal tidak transparan, serta tidak melaporkan berbagai hasil penelitian. Hal-hal itu, memberikan gambaran kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Pemerintah Indonesia.

Rilis itu juga mengklaim kalau surat yang KLHK keluarkan tidak bermaksud menghalang-halangi penelitian, ataupun mencederai independensi riset, dan bukan kebijakan anti-sains seperti yang Tim Advokasi tuduhkan.

KLHK berdalih,  surat itu sebagai bentuk penertiban kegiatan penelitian yang bertujuan mengoptimalkan kemanfaatan hasil-hasil penelitian untuk pengayaan khasanah ilmu pengetahuan.  Klaimnya juga surat itu untuk mendukung upaya konservasi jangka panjang tentang tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.

Kementerian ini nyatakan,  surat itu merupakan surat internal dari atasan kepada bawahan,  yaitu dari Plt. Direktur Jenderal atas nama menteri kepada Kepala UPT guna pengawasan pengendalian, dan penataan administrasi dalam tata kelola pemerintahan Indonesia.

 

 

Miris

Pembatasan ini, kata Herlambang,  menjadi pukulan serius bagi kebebasan akademik. Pemerintah, katanya,  harus mencari arah kebijakan yang berlandaskan sains, bagaimana ilmu pengetahuan penting dalam memadu kehidupan.

“Jika kita tidak sungguh-sungguh terhadap ini, kita menegasikan kemanusiaan itu sendiri. Yang paling ditakutkan adalah kebijakan menjauh dari upaya kemanusiaan.”

Menurut Damar, publik berhak mengetahui arah kebijakan lingkungan dan perlu melibatkan pihak lain yang kompeten, antara lain, peneliti dan akademisi. Adapun pihak yang dilibatkan bukan pihak yang kemudian harus dipertentangan jika ada berbeda temuan lapangan.

Seharusnya, pemerintah berperan sebagai aktor yang mendorong keterbukaan informasi. “Sayangnya, saat ini malah sebuah kemunduran.”

Dia berharap, pada di akhir Pemerintahan Joko Widodo, iklim informasi tak makin tertutup. “Jangan sampai menyisakan legacy buruk dan menambah ketertutupan pemerintah terhadap keterlibatan partisipasi publik,” kata Damar.

Pada Oktober lalu dalam diskusi publik “Menggugat Kebijakan Anti Sains,” Lilis Mulyani, peneliti BRIN, mengatakan,  prihatin terhadap pencekalan ini dan menganggap ini tidak adil.

“Jelas ini sangat kontraproduktif terhadap upaya-upaya yang sedang dilakukan dan dibangun oleh lembaga riset pemerintah. Kita ingin kolaborasi global dan mau membangun ekosistem riset tapi ada proses hasil riset dan penelitian .”

Pencekalan terhadap peneliti asing di Indonesia, kata Lilis,  sudah beberapa kali terjadi. Biasa ada alasan kuat, seperti mengambil sumber biogenetik tanpa izin atau ada peneliti tidak boleh riset di daerah yang dianggap rawan namun peneliti pakai jalur lain.

Kali ini, pencekalan periset karena ada perbedaan data. “Data harusnya dibandingkan dengan data. Jangan sampai ada pencekalan dan jangan menyerang pada personal. Tapi fokus pada hasil penelitiannya,” kata Lilis.

Erik Meijaard  mengatakan,  sudah 30 tahun meneliti konservasi dan menulis hasil riset dan opini di media masa di Indonesia tetapi tak pernah ada masalah.

Pemerintah Indonesia, katanya,  sudah melakukan banyak progres positif terkait konservasi, seperti penurunan laju deforestasi. “Tapi pemerintahan yang baik itu butuh monitoring yang baik dan membutuhkan saintis independen, bukan dipengaruhi oleh uang dan politik.”

Peneliti ilmiah, katanya,  harus berbicara data,  transparan dan ada proses peer-review. “Ini bukan persoalan tentang saya, tapi sains di Indonesia. Ini pasti akan membuat para peneliti, termasuk kolaborator, ragu dengan situasi di Indonesia.”

Herlambang mengatakan, sains itu seharusnya dialektik. Jadi, katanya, tidak bisa bilang salah atau kurang obyektif karena proses dialektik terjadi dalam keseharian.

Dia miris, di Indonesia, dunia akademik jadi sasaran samsak ‘dipukuli’ terus atau diserang.  Anti sains, kata Herlambang, menguat dalam konteks pemerintahan sekarang diikuti tekanan-tekanan terhadap kebebasan akademik pada peneliti.

“Jika tidak ada dialog bersama, darimana tahu ada hal yang berbeda? Siapa yang benar? Publik juga berhak mendapatkan data yang bisa dipercaya berdasar sains,” katanya.

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

*********

 

Exit mobile version