Mongabay.co.id

Rumah Panggung yang menyelamatkan Dayi dari Gempa Cianjur

 

Penyesalan selalu datang tiba-tiba. Seperti pada sore yang basah di atap rumah milik Dayi Mahmudin (40), perasaan itu seketika muncul. Sembari membetulkan genteng yang pecah pasca digoyang gempa, warga Kampung Sarampad, Desa Sarampad, Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu sesekali menyeka air matanya yang sudah mengering.

“Entah saya mesti menyesal atau bersyukur dengan (kondisi) ini,” tutur Dayi datar saat ditemui Mongabay-Indonesia pada Kamis (24/11/2011) lalu.

Dayi dan istrinya, Neneh Suminar (40) selamat dari peristiwa mengerikan di siang bolong itu. Begitu juga dengan keenam buah hatinya aman meringkuk dalam naungan rumah panggung.

“Karena punya anak kembar baru lahir 7 bulan lalu, unggal siang tos kedah aya di bumi (setiap siang sudah harus berada rumah). Kebetulan istri saya sedang sakit jadi selalu siaga,” katanya. Pasca guncangan kuat Dayi buru-buru merangkul anak-anak dan istrinya. “Hanya itu yang kepikiran untuk dilakukan.”

Menyoal gempa, Dayi tak pernah punya pengalaman. Pasrah. Bingung. Panik. Semua melebur dalam ketidaktahuan. Namun, mereka tak menyangka bahwa rumah yang dibangun 18 tahun lalu ternyata menyelamatkan hidup saat urat bumi “menggeliat”.

Guncangan yang tak pernah diduga itu memicu teriakan sahut-menyahut. Dayi, mendengar itu tapi tak berani keluar. “Saya setengah sadar melihat seisi rumah hancur berantakan. Ketika gempa terjadi, rumah seperti mengikuti kemana arah guncangan itu.”

baca : Saat Gempa Cianjur Memberi Sinyal Literasi dan Mitigasi

 

Ahmad (45) menunjukan rumah panggung yang menyalamatkan hidupnya dari gempa di Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebetulnya, Dayi sudah ada niatan merenovasi rumah berukuran 7 x 5 meter itu sejak saban tahun. Alasannya, karena bangunan semacam itu kerap dilabeli keluarga dibawah garis kemiskinan. Dia tak ingin keluarga malu, sekalipun Dayi bekerja serabutan. Setidaknya ingin memberikan rumah yang layak, katanya.

Namun kini, ketidakmampuan merenovasi justru berubah menjadi rasa syukur tiada tara. Rumah peninggalan orang tuanya tersebut menjadi juru selamat bagi keluarga kecilnya.

Berjarak 2 kilometer di situ, banyak warga yang kehilangan buah hati. Dan tangisan Ahmad Asikin (45), warga Kampung Cigintung, Desa Mangunkerta adalah salah satunya. Setelah hilang selama 4 hari, akhirnya jenazah putri keduanya Ashika Nur Fauziah (7) ditemukan di antara bangun beton yang ambruk.

Kemarahan yang terpendam dan kemudian teremas begitu tampak pada raut Ahmad. Lantaran lokasi penemuan anaknya hanya berjarak 15 meter dari tempat Ahmad dan istri berlindung ketika itu.

“Padahal dia sedang bersama saya sebelum gempa. Tapi dia merengek minta jajan. Mungkin pas keluar berlari menyelamatkan diri hingga tertimbun di antara tembok,” tuturnya lirih. Sebelumnya, anak bungsu Ahmad ditemukan selamat sesaat setelah gempa. Diduga sang adik berlari mengikuti kakaknya namun terjebak di antara lemari dengan bangunan berbeda.

Ahmad hampir tak percaya. Kampung nun jauh di kaki Gunung Gede, tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 5,6 skala Richter. Kejadian itu telah mengubah paras tenang perkampungan dalam 30 detik saja. Segala yang tertib mendadak poranda. Suasana tenang tercabik jerit ketakutan, rasa ngeri yang tak terperi.

Ketika lempeng di dasar bumi yang menggeliat, bergerak saling menyesuaikan diri, menjadi episentrum yang menyebabkan sekian ribu rumah runtuh serentak. Di bawah bangunan yang kemudian berserak itu, penghuninya nyaris tak sempat menyelamatkan diri.

baca juga : Kota Vertikal, Kepadatan Penduduk, dan Realita Gempa Bumi di Negara Kita

 

Kondisi pemukiman warga pasca gempa Senin 21 November 2022, di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kondisi pemukiman warga pasca gempa Senin 21 November 2022, di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, di tengah poranda itu di beberapa rumah panggung yang masih dipertahankan melindungi penghuninya. Termasuk rumah dimana Ahmad berlindung.

Sepengetahuannya, rumah itu dibangun oleh sang kakek. Hanya bagian dapur yang ditembok. Selebihnya dibiarkan alami.

“Jika bukan berada di sini, saya tidak tahu nasib bakal seperti apa?” katanya pilu. Lokasi rumah panggung itu sejajar dengan rumah milik Ahmad yang justru ambruk tak berbentuk. “Karena saya membikin rumah baru, jadi rumah ini dipakai hanya untuk produksi. Saya jualan agar-agar keliling kang...”

 

Pengetahuan yang ditinggalkan

Hampir di semua rawan gempa tektonik dan gempa vulkanik memiliki teknologi warisan nenek moyang yang sangat bernilai. Sayangnya, narasi-narasi lokal itu rata-rata memudar dan kehilangan daya untuk mitigasi bencana.

Salah satunya adalah rumah panggung. Pengetahuan lokal yang tidak terwariskan itu menyebabkan tingginya korban jiwa dalam bencana Cianjur.

Memasuki hari ke-10 pasca gempa Rabu (30/11/2022), merujuk data BNPB diidentifikasi rumah rusak 88.022 rumah dan menyebabkan 327 warga meninggal dunia, 663 warga luka-luka, dan 13 orang dalam pencarian. Sebanyak 108.720 jiwa juga tercatat masih mengungsi. Sebagian besar dari mereka bahkan kehilangan tempat tinggal.

Menurut, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mayoritas bangunan di sekitar episentrum gempa Cianjur memang tidak disiapkan untuk bangunan tahan gempa. Hal itu dibuktikan dari reruntuhan bangunan tanpa dilengkapi konstruksi tiang penyangga. Untuk itu, pihaknya sedang berupaya mengumpulkan riset terapan yang bisa diaplikasikan sebagai langkah mereduksi dampak gempa bumi.

Ambruknya bangunan akibat gempa bumi memang tidak semata-mata disebabkan magnitudo gempa. Namun, selain kekuatan gempa, jarak sumber gempa, dan jalur penjalaran gelombang, ada pula dipengaruhi kondisi tanah setempat.

baca juga : Rumah Tambi, Kearifan Lokal Masyarakat Lore Terhadap Gempa

 

Tim Gabungan mengevakuasi korban gempa di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pasca 10 hari gempa Cianjur, korban meninggal dunia sudah ditemukan 327 dan 13 orang masih dinyatakan hilang. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dosen Politeknik Energi & Pertambangan (PEP) Bandung, Oman Abdurahman, berpendapat, jika dibandingkan dengan deretan gempa bumi yang telah berulang terjadi di negeri ini, magnitudo gempa di Cianjur tergolong kecil. Semisal, gempa di Palu sebesar M 7,4 pada 2018 dan Gempa Yogyakarta M 5.9 pada 2006 lalu.

Dan fenomena gempa sebetulnya hanya siklus alam yang berulang, katanya. Mengingat lempeng Benua Eurasia dengan kecepatan ± 0,4 cm/tahun dan Lempeng Samudra Hindia – Australia bergerak relatif ± 7cm/tahun. Tumbukan yang berarah tegak lurus ini menghasilkan palung atau zona subduksi seperti sesar. Bumi bergerak untuk mencari keseimbangan.

“Namun, siklus alam itu menjadi bencana ketika ada korban jiwa,” terang Oman.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting upaya mitigasi baik struktural atau fisik maupun non struktural atau non fisik. Upaya mitigasi tersebut harus dilakukan secara terus menerus bertujuan untuk meminimalkan risiko bencana gempa bumi.

Di sisi lain, lokasi patahan gempa serta perilaku geraknya perlu diteliti dan dipetakan lebih detail. Karena hal ini sangat menentukan peta zonasi bahaya gempa. Setidaknya informasi ini menegaskan bahwa masyarakat hidup di atas lempengan.

Sebetulnya pemahaman geologi lingkungan, kata Oman, sudah diketahui melalui kearifan lokal. Namun, pengetahuan yang diturunkan itu luntur karena kurang dipelihara masyarakat.

Pada Urang Sunda, misalnya, interaksi manusia dengan lingkungan sudah diturunkan nenek moyang melalui kearifan menentukan standar bangunan tahan gempa. Karuhun mereka juga tahu mana saja wilayah yang mesti dibangun rumah sehingga konsepnya tidak asal membangun.

“Apabila kita teliti lebih lanjut, bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih banyak mengacu pada kesadaran lingkungan,” kata Oman. Artinya, resiko sudah diperhitungkan sebelum membangun. Sebab, pengaturan tata ruang tradisional Sunda, tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang tercermin dari kosmologinya. Itu dapat dilihat dari setiap pembangunan rumah selalu terintegrasi secara harmonis dengan alam lingkungan sekitarnya.

Mungkin kedepan, kata Oman, upaya yang bisa dilakukan adalah mereduksi dampak dengan membangun rumah tahan gempa. “Alternatifnya bisa dibikin tradisional atau semodern mungkin.”

baca juga : Erupsi Semeru: Waspadai Lava, Lahar dan Awan Panas

 

Kondisi pemukiman warga pasca gempa Senin 21 November 2022, di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, Anggota Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Sugeng Triyadi, mengatakan, pengetahuan tradisional membangun rumah sudah hampir dipastikan hilang pada masyarakat Sunda. Dua dasawarsa lalu masih banyak rumah dengan konsep murni tradisional, tapi kini satu per satu rumah dimodernkan dengan bangunan tembok.

Padahal, warisan arsitektur adalah wujud kebudayaan, karena didalamnya terkandung wujud sosial dan wujud material yang terpadu. Kehidupan masyarakat dahulu pun, kata Sugeng, sangat menyatu dengan alam sehingga perilaku alam sangat menjadi perhatian. Gempa menjadi salah satu pemicu mereka untuk membuat rumah yang aman dan nyaman. Rumah mereka dibangun dengan pengetahuan turun-temurun yang terus disempurnakan.

“Pemahaman tentang tata ruang berbasis ekologi itu berbanding lurus dengan teknologi yang mereka gunakan,” ucapnya. Teknologi bangunan yang mereka miliki telah teruji oleh waktu dan terbukti andal. “Kunci utama bangunan Sunda terletak pada tiang kokoh dan berbentuk persegi. Bagi saya itu kontraksi sudah melampaui zaman karena bentuk box (kotak) adalah salah satu syarat bumi tahan gempa. Selain pemilihan bahan yang ringan.”

Sugeng bilang, pengetahuan lain masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau perkampungan baru. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagaimana letaknya, kemiringannya, warna dan aroma tanah, serta bentuk alamiah lahan tersebut. Semua itu akan memberi pengaruh kepada para penghuninya.

“Mungkin pemahamam semacam itu masih relevan dihidupkan kembali. Cuman, pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menggali literasi yang sudah jauh ditinggalkan atau bahkan punah dari kehidupan masyarakat,” imbuh Sugeng.

 

Foto udara pemukiman warga pasca gempa Senin 21 November 2022, di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, tanda-tanda dari kearifan lokal masih sulit untuk dirumuskan atau digeneralisasi. Ancaman gempa adalah risiko hidup di jalur gempa faktor bahayanya (kapan persisnya dan seberapa besar terjadi, serta di mana saja yang akan terlanda gempa) sangat sulit untuk diketahui. Namun, sebenarnya cukup banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resikonya.

Pemerintah pusat bakal memberi bantuan kepada korban penyintas gempa untuk membangun rumah tahan gempa. Mengutip laman setkab.go.id, bantuan tersebut terdiri atas tiga jenis yang disesuaikan dengan tingkat kerusakannya mulai dari Rp10 – Rp50 juta. BNPB merinci ada 12 kecamatan yang terdampak.

 

Kekeliruan

Meski Indonesia terbilang sering dilanda bencana alam, termasuk dalam skala korban yang besar, sejak dulu, tak banyak literasi yang diamini sebagai rujukan. Bahwa bencana gempa Cianjur bukanlah yang penghabisan.

Mungkin bagi para penyintas gempa bumi memiliki trauma kolektif. Trauma yang menyebabkan situasi dan kondisi batin mereka kehilangan harapan. Jalan seolah buntu, masa depan gelap. Maka seharusnya trauma itu menjadi sejenis mood management yang menggerakan perubahan.

Toh, sains modern tidak selalu melihat bencana dengan segala turunannya yang menyebabkan jumlah korban sebagai hukuman atau murka Tuhan. Tapi sebuah dinamika dan mekanisme alami bumi. Mungkin akibat manusia lalai karena menempati daerah rawan gempa dengan membangun infrastruktur tidak berbasis kaidah mitigasi.

 

Foto udara pemukiman warga pasca gempa Senin 21 November 2022, di Kecamatan Cugena, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebetulnya atas nama alam kita hanya boleh pasrah, karena memang bukan harus dilawan. Dengan mempertimbangkan banyak hal itu, perhatian jangka panjang mutlak segera dipikirkan.

Gempa Cianjur menjadi pelajaran di masa depan. Hidup manusia di kawasan rawan bencana tak pernah mudah.

Untuk itu, perencanaan tata guna lahan dan pembangunan harus memperhatikan aspek kerawanan bencana. Demikian pula dengan peraturan bangunan aman gempa harus diterapkan. Dengan begitu, risikonya bisa direduksi. Syaratnya, selalu adaptif dengan beragam upaya alternatif.

 

 

Exit mobile version