Mongabay.co.id

Ketika Tambang Nikel ‘Kuasai’ Hutan Halmahera Tengah

 

 

 

 

Bukit luluk lantak. Pohon-pohon bertumbangan di hutan Kao Rahai– dulu bernama Ake Jira–, perbatasan Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Maluku Utara. Puluhan truk mondar-mandir mengeruk tanah dan bawa ke pabrik pengolahan nikel.

Ruang hidup Orang Tobelo Dalam, yang hidup di dalam hutan pun makin tersingkir. September 2020, di hutan, misal, Tuba, Naiwate, dan Indah, merupakan istri, anak, dan cucu Bokumu, penjaga hutan Ake Jira, membawa sejumlah batang singkong untuk ditanam di sekitar mereka tinggal.

Melihat hutan sudah gundul, Tuba bersama anak dan cucunya bergeser dan mencari lokasi lain.

“Kami bertemu mereka saat mau protes ke perusahaan pada 2020. Di situ mereka hendak melewati lokasi itu membawa batang kasbi [ubi kayu] untuk ditanam. Karena melihat kita, mereka bergabung,” kata Novenia Ambeua, perempuan keturunan Tobelo Dalam, mengenang pertemuan dengan Tuba dan keluarga.

Entah bagaimana kondisi Tuba dan keluarga yang sudah kehilangan hutan mereka kini.

 

Hutan terbabat di Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Halmahera Tengah,  Maluku Utara bak madu bagi pengusaha tambang. Kabupaten seluas 227.683 hektar ini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar alias sekitar 60% Halmahera Tengah jadi industri tambang.

PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP),  kawasan industri nikel di Weda, Halmahera Tengah, salah satu pengelola nikel di Halmahera.

Perusahaan ini merupakan patungan dari tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.

Kawasan industri Teluk Weda di Halmahera Tengah ini,  masuk dalam proyek strategis nasional. Industri ini mengelola bahan tambang feronikel dan turunan jadi baterai untuk kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung, dan smelter.

Dokumen Kementerian ATR/BPN menyebutkan, Kawasan Industri Teluk Weda sebagai wilayah pusat pertumbuhan industri perlu lahan 866,44 hektar dengan pengelola IWIP. Dalam dokumen itu juga tertulis rencana detail tata ruang kawasan industri (RDTR KI) Teluk Weda bakal menyerap 100.000 tenaga kerja.

Agnes Megawati, Associate Director Media & Public Relations Department IWIP, mengatakan, investasi tahap pertama senilai US$5 miliar untuk kawasan industri ini.

Dia berharap,  Investasi ini berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi lokal seperti lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja lokal, pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB), serta meningkatkan perkembangan industri secara keseluruhan di Indonesia Timur.

“Nanti sisa US$ 5miliar akan kami teruskan dalam tahap konstruksi. Total tahapan konstruksi kawasan industri ini ditargetkan selesai 10 tahun ke depan,” katanya dikutip dari Kontan.co.id.

 

Banjir di lokasi PT IWIP. Foto: dokumen warga

 

 

Data Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) di Halmahera menunjukkan,  belasan perusahaan sudah operasi produksi nikel. Antara lain, PT Weda Bay Nikel (WBN)—perusahaan tambang bagian dari IWIP–, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT First  Pacific Mining, dan PT Dharma Rosadi Internasional. Ada, PT Aneka Tambang Tbk, PT Harum Sukses Mining, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, PT Position, PT Mega Haltim Mineral, PT Wana Halmahera Barat Permai.

Data Geoportal KESDM mencatat, izin konsesi WBN terluas mencapai 45.065 hektar mencakup Halmahera Timur dan Halmahera tengah. Menyusul izin terluas kedua Aneka Tambang di Halmahera Timur sekitar 39.040 hektar.

Secara umum wilayah usaha pertambangan (WUP) di Halmahera Tengah ada dua kategori. Pertama, WUP mineral logam tersebar di seluruh Halmahera Tengah. Kedua, WUP mineral bukan logamatau WUP batuan tersebar di Halmahera Tengah dengan proporsi lebih kecil.

Setidaknya,  ada 17 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) tersebar di Halmahera Tengah. Sebagian besar berupa IUP mineral logam. Dari 17 WIUP nikel di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, hanya 10 perusahaan yang mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan dari KLHK. Yakni,  PT Anugerah Sukses Mining, PT Bati Pertiwi Nusantara, PT Elsaday Mulia, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Gebe Sentral Nickel, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Harum Sukses Mining, PT Mineral Trobos, PT Tekindo Energi, dan PT Weda Bay Nickel (WBN).

 

 

Revisi RTRW akomodir industri nikel?

Mongabay peroleh dokumen pemaparan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah 2012-2032. RTRW ini merevisi Peraturan Daerah Halmahera Tengah No. 01/2012 tentang Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah 2012-2013.

Dalam dokumen itu, ada perubahan rencana pola ruang dan luasan karena ada peruntukan baru. Khusus untuk kawasan hutan mengacu surat keputusan soal kawasan hutan terbaru hingga ada perbedaan luasan, ada kawasan hutan berubah status.

Munadi Kilkolda, anggota DPRD Halmahera Tengah  dari Fraksi Nasdem-Gerakan Rakyat punya catatan penting terhadap Ranperda RTRW Halmahera Tengah 2021-2040 terutama soal luasan kawasan industri yang membengkak.

Pemerintah daerah, katanya,  harus menjelaskan peruntukan kawasan industri yang sebelumnya hanya 538,41 hektar dalam Perda RTRW No. 1/2012 jadi 15.205 hektar.

Ranperda ini, kata Munadi,  harus sesuai asas dan tujuan penataan ruang dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Peta baru RTRW, katanya,  mengakomodasi kebijakan nasional terkait pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda yang tertera dalam RPJMN dengan usulan luasan 9.600 hektar.

Fraksi NasDem-Gerakan Rakyat, kata Munadi,  juga katakan luas kawasan industri cukup 4.000-an hektar,  sebagaimana usulan awal pemerintah daerah.

Fraksi itu setuju ranperda dan RTRW dibahas lebih lanjut pada pembicaraan tingkat II setelah melalui proses pembahasan DPRD dengan pemerintah daerah.

 

Hutan Halmahera Tengah, yang terbabat jadi tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Untuk Ranperda Perubahan Atas Perda Halmahera Tengah Nomor 8/2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Halmahera Tengah 2017-2022, Munadi juga mempertanyakan soal kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup. Dia mengacu pada perubahan RPJMD yang diajukan pemerintah daerah.

Berdasarkan penentuan deliniasi Kawasan Industri Teluk Weda usulan seluas 15.205 hektar. Usulan itu di lahan dengan status hutan produksi sekitar 11.598 hektar. Usulan deliniasi itu, katanya,  langsung bersinggungan dengan kawasan konservasi (taman nasional) dan kawasan hutan lindung. Perubahan fungsi ini, katanya, bisa berdampak pada lingkungan maupun ekosistem.

Dalam dokumen pemaparan revisi RTRW Halmahera Tengah 2012-2032, ada peta perkembangan pengukuhan kawasan hutan Maluku Utara. Ia tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK No SK 8117 tahun 2018 yang mengatur luas kawasan hutan di Halmahera Tengah. Hutan lindung 33.765 hektar, Taman Nasional Aketajawa 16.036 hektar, dan hutan produksi 158.220 hektar.

Munadi bilang, alih fungsi kawasan hutan menyebabkan  masyarakat adat seperti Orang Tobelo Dalam,  tersisih. Hewan buruan dan pangan lokal nyaris lenyap. Dalam kawasan hutan itu, ada sejumlah perusahaan raksasa yang terus menerobos wilayah Orang Tobelo Dalam, yakni WBN, PT Tekindo Energi, dan PT Position. Ketiganya setor ore nikel untuk diolah ke kawasan industri smelter IWIP.

“Ini operasi produksi wilayah yang cukup besar dan akan menggerus hutan semua. Otomatis semua makhluk hidup di dalam hutan termasuk Orang Tobelo Dalam akan habis,” kata pria yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara ini.

 

 

 

Syahril Tahir, Wakil Ketua DPRD Maluku Utara, menyesalkan izin prinsip yang kini jadi kewenangan pemerintah pusat. Menurut dia, temuan di lapangan menunjukkan masyarakat berkonflik dengan perusahaan karena lahan mereka diserobot.

“Ini problem kita, di wilayah ini kan banyak tambang,  sementara izin prinsip dari pada pertambangan atau IUP itu ada di pemerintah pusat.”

Dia sebutkan, data di KESDM ada sekitar 114 IUP logam dan non logam di Maluku Utara. Yang beroperasi saat ini, katanya,  sebanyak 11 perusahaan. Sementara smelter termasuk kontrak karya yaitu Weda Bay Nickel dan PT Nusa Halmahera Mineral.  Selebihnya,  izin produksi tetapi belum membangun smelter.  “Jadi baru beroperasi itu ada 11 perusahaan.”

DPRD Maluku Utara, kata Syahril,  terbatas dalam melakukan pengawasan. Kewenangan DPRD Maluku Utara,  hanya mengawasi beberapa bidang seperti lingkungan hidup, hak masyarakat adat, dan ketenagakerjaan. “Penugasan di bidang itu yang sekarang kita lakukan.”

Terkait pertambangan, dia berdalih sulit mencampuri karena IUP melekat pada pemerintah pusat. Dia sebutkan, UU No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara belum memiliki peraturan pemerintah secara teknis.

Pendelegasian kewenangan ke pemerintah provinsi juga belum ada sampai hari ini.  “Memang di dalam pendelegasian UU itu mencantumkan pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi tapi belum ada peraturan pemerintahnya.”

“Jadi bagaimana pelaksanaan peraturan teknis belum ada. Bagaimana kita mau maksimal dalam melakukan pengawasan?”

UU MInerba belum berubah pun, DPRD sudah kesulitan mengawasi. Apalagi kini,  semua kewenangan diambil alih pusat.

 

Jembatan roboh karena banjir bandang. Hutan di hulu sudah hilang. Foto: dokumen warga

 

Deforestasi dan bencana

Provinsi dengan julukan Kie Raha ini jadi primadona karena kekayaan alamnya. Di dalam perut bumi, terdapat berbagai kekayaan alam seperti emas, nikel, pasir besi dan lain-lain.

Data AMAN Maluku Utara menunjukkan,  konsesi pertambangan berada di kawasan hutan seluas 72.775 hektar. Kawasan itu terdiri atas hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 20.210 hektar, hutan produksi 8.886 hektar, dan hutan produksi dapat dikonversi 8.524 hektar. Di wilayah-wilayah ini  merupakan ruang hidup masyarakat adat.

Deforestasi di wilayah yang masih bertutupan hutan ini pun tak terelakkan. Deforestasi antara 2001-2020,  terlihat dalam citra satelit dari Pusat Pelayanan Data dan Informasi Auriga Nusantara. Bahkan, citra satelit itu merekam deforestasi sampai ke kawasan hutan lindung dan nyaris masuk hutan konservasi.  Dari data Auriga ini, deforestasi Halmahera Tengah, Maluku Utara dari 2001-2020, luas hutan hilang mencapai 14.876,43 hektar, atau setara 27.800 lapangan sepak bola.

 

 

Data ini memperlihatkan, Kecamatan Weda Tengah mengalami deforestasi tertinggi 7.827,60 hektar. Menyusul Kecamatan Weda Utara (2.402,40 hektar), Weda Timur (914,93 hektar), Weda (673,92 hektar) dan Weda Selatan (436,20 hektar).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan,  luas tutupan hutan di Halmahera Tengah 166.142 hektar. Berdasarkan peta MapBiomas Indonesia, tutupan hutan di sana tinggal 131.881 hektar. Senada dengan data Auriga Nusantara menunjukkan,  tutupan hutan di kabupaten itu terus berkurang.

Tutupan hutan hilang mulai berdampak. Desa-desa di Weda Tengah selalu mengalami banjir sejak 2010. Menurut warga, banjir terparah pada September 2021. Saat itu, air dari sungai besar sekitar Dusun Akelamo, Desa Lelilef Waybulen dan Desa Lelilef Sawai, meluap ke jalan nyaris menenggelamkan rumah-rumah warga.

Daerah-daerah ini kerap menjadi banjir sejak hutan tergerus dalam skala besar, terutama untuk aktivitas pertambangan dan industri. Akibatnya, sejak tahun 2020, banjir selalu terjadi akibat luapan sungai-sungai besar seperti Sungai Kobe, Sungai Ake Sake, dan Ake Wosia.

Oyop, warga Desa Lelilef Woibulen—bukan nama sebenarnya–, mengatakan,  banjir besar mengepung perkampungan sekitar akhir September 2021 dan merendam ratusan rumah, fasilitas pemerintahan, serta sekolah.

“Rumah di sini terkepung banjir dari luapan Sungai Kobe,” katanya, Januari lalu.

 

Banjir di Halmahera Tengah karena luapan sungai genangi rumah warga. Foto: AMAN Malut

 

Banjir yang melanda perkampungan mereka dalam setahun, pada 2021 terjadi sampai tiga kali. Warga kehilangan banyak harta benda dan tanaman umur pendek di kebun.

“Air masuk ke rumah-rumah kami itu satu hingga dua meter lebih,” katanya.

Dulu, katanya, banjir biasa 10 tahun sekali. Setelah hutan tergerus,  sejumlah perusahaan tambang beraktivitas, perkampungan mereka setiap tahun banjir.

Oyop bilang, pernah didatangi Dinas Pekerjaan Umum untuk melakukan pendataan dampak banjir. Setelah pendataan itu, katanya, mereka tidak mendapat kabar lagi.

Banjir terjadi, kata Oyop, karena hutan di hulu gundul terbabat perusahaan. “Itu pohon-pohon sudah di-dozing. Kalau curah hujan tinggi, langsung turun masuk ke dalam sungai atau kali.”

Warga Desa Lelilef Waibulen khawatir,  bila hujan di sekitar daerah pegunungan. “Kalau sudah awan gelap dan hitam di darat (gunung) itu torang sudah kuatir deng tako sudah. Karena pasti kampung ini banjir,” katanya.

Masri Anwar, pegiat lingkungan hidup di Malut mengatakan, pertambangan nikel beroperasi di hulu. Kondisi ini, menyebabkan tutupan hutan hiolanghilang memicu bencana di Weda Tengah.


Pada 2021, kata dosen program studi hukum Universitas Muhammadiyah Ternate ini, Gubernur Maluku Utara juga menerbitkan 27 izin usaha pertambangan (IUP). Dia bilang,  penerbitan izin pertambangan yang masif berpotensi menimbulkan kerusakan ekologi masif pula.

“Kalau melihat topografi dan Maluku Utara itu tidak pantas [jadi daerah pertambangan]. Akan berdampak pada kerusakan ekologis.”

Dia contohkan, IWIP yang mendapatkan izin luas dan masih minta perluasan lagi. “IWIP ajukan kepada pemerintah daerah perluasan lahan sekitar 15.000-20.000 hektar. Kalau itu disetujui pemerintah daerah bahkan pusat, sudah barang tentu akan habis Weda Tengah dan Weda Utara,” katanya.

Masri khawatir,  akan terjadi krisis ekologi dan perubahan iklim di Halmahera Tengah. “Karena ada pembongkaran hutan sangat masif di Halmahera.”

Selain IWIP, perusahaan tambang nikel lain seperti Tekindo juga mengeksploitasi di hulu sungai. “Sungai-sungai yang jadi sumber kehidupan masyarakat di sejumlah desa seperti Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Waibulen, dan Gemaf tidak bisa lagi dikonsumsi karena tercemar baik karena lumpur maupun aktivitas pertambangan,” katanya.

Kehadiran pertambangan ini, katanya, sangat berdampak pada berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, dan lingkungan hidup. “Itu tidak dipikirkan pemerintah pusat dan daerah.  Mereka hanya memikirkan keuntungan dan nilai ekonomis semata.”

 

Aruku Ma Ngairi, Kali yang biasa digunakan O Hongana Manyawa di Kawasan Tofubleweng. Foto: AMAN

 

Nasib hutan adat

Pembabatan hutan berarti perusakan ruang hidup masyarakat adat di Halmahera. Karena wilayah operasi perusahaan-perusahaan pemegang IUP ini tumpang tindih dengan hutan-hutan adat yang semestinya terlindungi.

Walaupun ada keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012yang menegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara tetapi di lapangan seperti tak bergigi.

Menurut AMAN Maluku Utara, putusan MK itu tidak berpengaruh banyak bagi perlindungan masyarakat adat, terutama hutan-hutan mereka.  Munadi nilai, pemerintah hanya beri angin segar bagi masyarakat adat namun tidak serius menjalankan putusan.

Putusan MK 35 yang seharusnya dijalankan pemerintah melalui peraturan daerah sengaja diperlambat dan dilemahkan oleh Pemerintah Halmahera Tengah. Pemerintah daerah, katanya, tak responsif.

Dia menyebut,  izin yang dikeluarkan pemerintah baik pusat dan daerah mengancam keberlangsungan ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, dan keberadaan masyarakat adat seperti Orang Tobelo Dalam atau Suku Togutil yang nomaden.

Hutan Ake Jira, kata Munadi,  adalah tempat tinggal Orang Tobelo Dalam. Mereka tersebar, hidup di dalam dan menjaga hutan itu.

Ake Jira adalah nama induk sungai dari puluhan sungai yang mengalir ke sejumlah desa di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.  Dalam hutan Ake Jira juga masih tinggal beberapa keluarga Togutil.

”Saat ini mereka terus berpindah-pindah, karena merasa terancam masuk tambang yang menggusur hutan sebagai tempat hidup dan mencari makan hewan buruan,” kata Munadi.

 

Aktivitas pertambangan membabat hutan. Masyarakat di Halmahera protes. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Achmad Zakih, Sekretaris Dinas Kehutanan Maluku Utara, menampik ancaman kerusakan hutan di Halmahera Tengah. Dia berdalih,  prinsip persetujuan penggunaan kawasan hutan di Halmahera Tengah adalah negara melindungi hutan serta masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan seperti orang Togutil.

“Bukan hanya pertambangan, segala aktivitas manusia di dalam kawasan hutan pastinya akan mengubah zona awal. Pemerintah telah membuat aturan main supaya dampak yang ditimbulkan bisa seminimal mungkin,” katanya beralasan.

Sementara untuk menguatkan keberadaan masyarakat adat yang turun-temurun tinggal dan hidup di dalam kawasan hutan, dia mengatakan perlu ada penetapan melalui peraturan daerah.

Menurut Zakih, peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat inilah yang jadi syarat masyarakat mengusulkan hutan adat. Dalam perda soal pengakuan masyarakat adat ini juga memberikan kepastian siapa yang akan menjadi pengelola hutan adat dan menghindari penumpang gelap.

Izin sudah keluar, untuk perusahaan tambang saja mengkaveling sekitar 60% wilayah Halmahera Tengah,  termasuk di dalam kawasan hutan. Bagaimana pemerintah bisa klaim kalau itu ‘aman’ bagi hutan, keragaman hayati dan masyarakat yang hidup di dalamnya?

 

Kawasan Industri Smelter PT IWIP di Lelilef Sawai Halmahera Tengah. Foto: dokumen PT IWIP

 

******

 

Tulisan  ini merupakan salah satu pemenang Data Journalism Hackathon 2022 yang diselenggarakan Indonesia Data Journalism Network.

Naskah : Christ Belseran

Editor: Sapariah Saturi

Ilustrasi dan Layout: Taqi

Desain Media Sosial
Dzatmiati Sari

 

Exit mobile version