Mongabay.co.id

Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Perubahan iklim masih terus menjadi isu hangat yang diperbincangkan pada setiap kesempatan formal dan non formal di seluruh dunia. Isu tersebut menjadi perhatian, karena sedang melanda seluruh negara dan sudah memicu dampak tidak baik bagi kehidupan.

Salah satu yang menyorot isu tersebut, adalah forum kerja sama negara pulau dan kepulauan di seluruh dunia atau Archipelagic and Island States Forum (AIS). Forum yang beranggotakan 47 negara itu, melihat bahwa perubahan iklim adalah persoalan yang harus bisa diselesaikan bersama.

Pada pertemuan keempat Forum AIS yang berlangsung pekan lalu di Bali, Indonesia kembali berkampanye tentang pentingnya menghadapi tantangan bersama seperti perubahan iklim. Tantangan tersebut harus bisa dilewati, karena akan berdampak buruk di masa mendatang.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengutarakan, kehadiran Forum AIS harus bisa mengubah banyak hal yang bersifat positif dan membawa perubahan bagi dunia secara luas.

Perubahan tersebut, di antaranya adalah bagaimana semua negara yang menjadi anggota untuk bisa bersama-sama mengajak dan membentuk komunitas di masyarakat masing-masing negara agar bisa menjadi lebih tangguh dan adaptif.

Pembentukan dilakukan, tak lain untuk menghadapi serangan perubahan iklim yang semakin sulit untuk dibendung oleh negara mana pun. Dengan menjadi masyarakat yang tangguh dan adaptif, maka mereka bisa melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dengan baik.

“Kami telah berkomitmen untuk menghasilkan masa depan yang lebih baik melalui kolaborasi,” ungkap dia.

baca : Bersiaga di Laut untuk Antisipasi Perubahan Iklim

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Archipelagic and Island States Forum (AIS) di Bali. Foto : Kemenko Marves

 

Membentuk masyarakat yang sadar terhadap perubahan iklim, berarti akan memahami pentingnya menjaga wilayah laut dan pesisir. Hal itu akan terjadi, karena mereka tinggal di negara pulau dan kepulauan, yang akan selalu berkaitan erat dengan wilayah laut yang luas.

Dia menyebut, lautan tak hanya menyediakan sumber pangan yang bergizi saja, namun juga menyediakan banyak sumber daya lain yang bisa dimanfaatkan. Termasuk, karbon biru yang ada di wilayah pesisir dan berfungsi untuk mengatur iklim agar tetap stabil.

“Kita sebagai negara pulau dan kepulauan harus memastikan bahwa kita sebagai penggerak untuk mempercepat pemanfaatan keberlanjutan dan perlindungan laut dunia,” tegas dia.

Isu perubahan iklim menjadi satu dari sejumlah isu yang menjadi bahasan dalam Forum AIS. Isu lainnya, adalah tentang ekonomi biru, dan berkelanjutan. Semua isu tersebut menjadi bagian dari upaya untuk menata kembali wilayah pesisir dan laut menjadi lebih baik lagi.

Luhut Binsar Pandjaitan menerangkan, Forum AIS adalah sarana untuk saling berbagai bagaimana menerapkan praktik terbaik tentang segala hal. Cara tersebut juga diyakini menjadi pelajaran terbaik bagi negara-negara yang sebelumnya tidak pernah menerapkan hal tersebut.

Selain Indonesia, Forum AIS juga beranggotakan negara seperti Antigua dan Barbuda, Bahama, Bahrain, Barbados, Belize, Cabo Verde, Komoro, Siprus, Dominika, Republik Dominika, Fiji, Mikronesia, Grenada, Guinea-Bissau, Guyana, Haiti, Irlandia, Jamaika, Jepang, dan Kiribati.

Kemudian ada juga Madagaskar, Maladewa, Malta, Kepulauan Marshall, Mauritius, Nauru, Selandia Baru, Palau, Papua Nugini, Filipina, Saint Kitts dan Nevis, Saint Vincent dan Grenadines, Samoa, Sao Tome dan Principe, Seychelles, Singapura, Kepulauan Solomon, Sri Lanka, Suriname, Timor Leste, Trinidad & Tobago, Tuvalu, Inggris Raya, dan Vanuatu.

baca juga : Peneliti : Satwa Laut Terancam Kepunahan Massal Akibat Krisis Iklim 

 

Para pimpinan delegasi Forum Archipelagic and Island States Forum (AIS) di Bali. Foto : Kemenko Marves

 

Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Cabo Verde Alexandre Dias Monteiro mengatakan kalau negaranya memiliki wilayah laut hingga 99 persen dari total luas wilayah secara keseluruhan. Dengan luas tersebut, sumber daya laut menjadi strategis untuk pembangunan ekonomi negara.

Dengan fakta tersebut, dia mengaku tidak kaget jika negaranya kemudian memilih ekonomi biru sebagai prioritas utama untuk diterapkan dalam kegiatan perekonomian. Prinsip tersebut dipilih, karena diyakini bisa merawat ekosistem laut dan pesisir, dengan tetap memberikan manfaat banyak untuk ekonomi.

“Bagi kami, merawat apa yang menjadi milik kami adalah masalah hidup dan kelangsungan hidup,” tutur dia.

Dia menyebut, ada kebutuhan mendesak untuk mempromosikan perubahan paradigma dalam kaitannya dengan laut, dan sekaligus menjadikannya sebagai salah satu titik jangkar utama untuk pengembangan, diversifikasi, dan spesialisasi ekonomi.

Tentang pengembangan prinsip ekonomi biru dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan di lingkup negara anggota AIS, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki pandangan sendiri.

Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, untuk bisa mengembangkan ekonomi biru, diperlukan pembangunan dan penguatan infrastruktur akuisisi data agar kegiatan riset dan ilmu pengetahuan bisa berjalan lancar.

Kebutuhan tersebut, utamanya adalah untuk Indonesia yang saat ini juga sedang fokus untuk mengembangkan ekonomi biru untuk menjaga keseimbangan kegiatan ekonomi dan ekologi di laut. Saat ini, BRIN tengah berupaya melakukan penguatan infrastruktur akuisisi data yang berasal dar luar.

Contoh yang sedang berjalan saat ini, adalah kegiatan mengelola armada kapal riset milik BRIN dengan tujuan untuk mengumpulkan data langsung yang berasal dari laut. Selain itu, ada juga armada pesawat observasi, pesawat konvensional, dan segera dilengkapi pesawat tak berawak.

“(Armada) itu sangat penting untuk mendapatkan data dari angkasa,” ucap dia.

baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan program satelit penginderaan jauh di AIS Forum di Bali. Foto : Kemenko Marves

 

Agar semua armada yang ada saat ini bisa mendukung kebutuhan riset untuk pengembangan ekonomi biru, maka diperlukan komputasi dengan kemampuan yang tinggi dan penyimpanan data yang jumlahnya besar untuk kebutuhan harian.

Selain data dan armada yang dinilai sangat penting untuk mendukung pengembangan ekonomi biru, Laksono Tri Handoko mengatakan kalau Indonesia juga memerlukan teknologi canggih untuk bisa menganalisis data yang ada.

Proses tersebut akan menggunakan algoritma, teknologi super komputer, dan atau menggunakan metode konvensional seperti kecerdasan buatan (AI) yang bersumber dari big data. Untuk itu, BRIN terus mendorong agar basis data baru terus tumbuh dan bermanfaat bagi kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan.

Berkaitan dengan pengelolaan data, BRIN saat ini juga sedang melaksanakan pembangunan stasiun observasi matahari dan ruang angkasa di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Fasilitas tersebut akan melengkapi lima stasiun darat yang sudah ada.

“Itu untuk mengunduh data dan mengontrol satelit, baik satelit komunikasi maupun satelit penginderaan jauh,” ungkap dia.

Untuk memenuhi kebutuhan data yang besar dan rumit, BRIN juga akan memanfaatkan semua fasilitas stasiun lapangan multiguna tak berawak yang ada di seluruh Indonesia. Fasilitas tersebut ada di hutan, perkebunan, sungai, danau, dan juga perairan laut.

baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Sebuah kapal penangkap ikan di perairan Flores, NTT. Foto : shutterstock

 

Pengumpulan Data

Menurut Laksana Tri Handoko, pengoperasian stasiun lapangan akan dilengkapi dengan multi sensor untuk iklim, keanekaragaman hayati, observasi berupa kamera, suara, rekaman, sistem monitor radioaktif, dan lain sebagainya.

Tidak cukup di situ, BRIN juga akan mempercepat program pembuatan 19 konstelasi satelit penginderaan jauh yang jumlahnya paling sedikit ada empat sensor optik, empat lainnya adalah dengan radar bukaan sintesis, dan sisanya adalah satelit Internet of Things (IoT).

“Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data berkualitas tinggi secara berkelanjutan dengan total cost benefit terbaik,” terang dia.

Dengan data yang berkualitas dan kompleks, dia yakin kalau pengembangan ekonomi biru yang sedang dilakukan Indonesia dan negara lain di dunia saat ini, bisa berjalan lebih baik dan memberikan lebih banyak manfaat untuk masyarakat.

Pengembangan ekonomi biru juga lebih detail diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves M Firman Hidayat. Dia mengatakan bahwa Indonesia saat ini sedang fokus menjalankan agenda biru.

Bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penyusunan National Blue Agenda Action Partnership (NBAAP) kini tengah dilakukan. Tujuannya, agar target pembangunan agenda biru bisa tercapai lebih cepat, sehingga keseimbangan ekonomi dan ekologi bisa terwujud sesuai rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).

Dia memaparkan, kemitraan tersebut berjalan dengan fokus pada empat pilar, yaitu blue health, blue food, blue innovation, dan blue finance. Keempat pilar disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi biru Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan.

Penyusunan NBAAP yang dilakukan dengan Indonesia, menurut Koordinator PBB untuk Indonesia Valerie Julliand adalah langkah yang tepat karena itu menjadi wujud tata kelola laut negara kepulauan. Cara tersebut juga sangat layak untuk diterapkan di seluruh negara AIS.

Sebagai negara pulau dan kepulauan, laut menjadi kawasan sangat penting karena tempat berkumpulnya sumber daya alam yang sangat dibutuhkan. Tegasnya, negara pulau sangat bergantung kepada sumber daya laut.

“Isu terkait laut, merupakan isu yang menjadi pembahasan utama banyak negara di dunia, khususnya negara-negara pulau dan kepulauan,” tutur dia.

 

Kepulauan Wayag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Dia menambahkan, dengan fokus pada penyelamatan laut melalui banyak program dengan melibatkan negara pulau dan kepulauan, maka itu berarti sudah ada langkah nyata atas nama bersama untuk menyelamatkan dunia.

Itu berarti, menyelamatkan bumi tanpa memperhatikan laut, akan tidak berarti apa-apa, karena laut menjadi bagian tak terpisahkan. Itu kenapa, PBB kemudian meluncurkan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang di dalamnya ada tentang laut.

Valeri Julliand menegaskan, terjalinnya kemitraan antara PBB dengan Indonesia, atau Forum AIS dengan dunia, maka sudah ada komitmen bersama untuk ikut menjaga laut dari kerusakan. Komitmen itu penting, karena kondisi laut saat ini bukan hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun semua pihak yang ada di dunia.

Tentang pengembangan ekonomi biru di negara AIS, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga memberikan tanggapannya. Menurut dia, ekonomi biru akan menjadi solusi bersama untuk menghadapi krisis ekonomi dan krisis iklim ada di dunia.

“Ekonomi biru yang berkelanjutan dan potensi ekonominya menjadi peluang yang harus dikerjasamakan,” ungkap dia.

Di Indonesia, pengembangan ekonomi biru dilakukan melalui lima program kebijakan yang sudah disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kelima program tersebut diharapkan bisa mewujudkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.

Kelima program tersebut, adalah perluasan kawasan konservasi dengan target 30 persen dari total wilayah perairan Indonesia; penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pembangunan perikanan budi daya berkelanjutan di wilayah pesisir, laut, dan darat.

Kemudian, pengelolaan berkelanjutan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menghindari kerusakan akibat tingginya aktivitas ekonomi; dan penanganan sampah plastik di laut melalui program Bulan Cinta Laut (BCL).

“Pengembangan ekonomi biru bukan hanya soal fisheries, tapi juga tourism salah satunya. Kebijakan ekonomi biru Indonesia yang digagas KKP juga sejalan dengan empat fokus utama pembahasan dalam pertemuan AIS,” pungkasnya.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjadi pemimpin sidang tingkat menteri (Ministerial Meeting) Archipelagic and Island States (AIS) Forum Keempat di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/12/2022). Foto : KKP

 

Perwakilan UNDP untuk Indonesia Norimasa Shimomura menyebutkan kalau Forum AIS telah mengubah ide menjadi tindakan nyata dalam mendukung pengembangan ekonomi biru. Dia yakin, forum ini akan melahirkan banyak kebijakan lain yang bermanfaat untuk penyelamatan laut di masa mendatang.

“Hanya melalui upaya bersama dan koordinasi kita dapat mempercepat penerapan solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim, polusi plastik laut, dan penggunaan sumber daya laut yang tidak berkelanjutan,” ungkapnya.

Diketahui, sebanyak 21 negara dari total 47 negara anggota AIS hadir di Bali pada pekan lalu. Mereka berdatangan ke pulau Dewata, untuk mengikuti pertemuan yang keempat forum tersebut. Ada empat topik yang menjadi bahasan utama.

Keempatnya adalah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, ekonomi berbasis laut (ekonomi biru), sampah plastik di laut, dan tata kelola laut yang baik.

 

Exit mobile version