Mongabay.co.id

Elon Musk, Kendaraan Listrik, Nikel, dan Batubara

 

 

Produsen raksasa mobil listrik, Tesla, tampak jadi target pemasaran nikel Indonesia. Para petinggi negeri pun turun tangan dari Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi  sampai Presiden Indonesias, Joko Widodo, mendekati si bos mobil listrik pemilik Tesla,  Elon Musk.

Industri nikel pun tampak sedang digenjot pemerintah. Nikel merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik.

Pada KTT G20 November lalu, Anindya Bakrie, anak Aburizal Bakrie sekaligus CEO Bakrie & Brothers, ikut jadi ‘marketing’ bahan baku mobil listrik ini. Dia memoderasi pembicaraan dengan Elon Musk di perhelatan itu. Untuk jualan nikel ini, sebelumnya, Anindya juga ikut rombongan Luhut ketemu Musk di Amerika.

Selain Elon Musk, pertemuan penggede di Bali ini, juga mengumpulkan pemimpin-pemimpin negara dan para pengusaha yang diharapkan jadi investor bahan tambang ini.

Musk sangat diharapkan datang pada gawe ini agar menarik pemain mobil listrik untuk ikut bersaing membeli nikel Indonesia.

Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh utama yang mengatur perhelatan ini, beberapa hari sebelum acara mengumumkan kalau Musk akan hadir. Namun, Musk batal datang ke Bali tetapi tetap hadir secara virtual dengan pemandu pertemuan Anindya Bakrie.

Balutan pemasarannya cukup elegan.  Seakan sebagai pengingat produk nikel adalah dagangan utama dalam perhelatan ini, panitia mengirim batik Bomba, buatan Sulawesi Tengah, tempat deposit dan smelter nikel terbesar di negeri ini, kepada Musk dan dia kenakan pada pertemuan virtual itu.

Anindya pun beri penekanan kaitan batik dan nikel ini. “Ini adalah tempat di mana banyak nikel yang Anda miliki sekarang, hingga Anda mungkin ingin berkunjung ke sana,” katanya.

Perusahaan Musk peroleh pasokan nikel dari Sulawesi Tengah. Dia beli dari dua perusahaan asal Tiongkok di Bahodopi, Morowali,  Zhenjiang Huayou Co. Ltd dan CNGR Anvenced Material Ltd,. Juga terhubung dengan PT Vale Indonesia, yang menambang nikel di Luwu Timur, dan membangun smelter di Pomala dan Bahodopi.  Jejak tambang nikel ini telah membuat kerusakan lingkungan hidup di sana.

 

Kendaraan listrik yang rendah karbon saat kendaraan digunakan. Bagaimana saat proses pembuatan kendaraan, atau bahan baku kendaraan listrik itu, apakah juga rendah karbon dan ramah iklim? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Melihat Anindya Bakrie mempromosikan produk nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik yang diklaim sebagai energi terbarukan muncul ingatan soal lumpur Lapindo. Tragedi di area tambang PT Lapindo Brantas, perusahaan milik Bakrie ini,  menenggelamkan puluhan desa di Sidoarjo, Jawa Timur.

Pada 2006, pengeboran gas Lapindo, menyebabkan semburan lumpur maha dahsyat. Hingga kini, lumpur belum berhenti meluap dan masih mengancam menenggelamkan desa-desa lain.

Dalam pendampingan terhadap korban Lapindo, kami juga menemukan beberapa kali keluarga kaya ini pinjam duit negara, dalam jumlah sangat besar untuk membayar tanggung jawab terhadap korban Lapindo.

Tak lupa juga tentang perusahaan-perusahaan batubara keluarga ini, seperti PT Kaltim Prima Coal sampai PT Arutmin. Perusahaan-perusahaan ini punya konsesi puluhan ribu hektar dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial masyarakat di Kalimantan.

Perusahaan-perusahaan keluarga ini juga menunggak pajak pada negara.

Pada  pertemuan macam G20 atau COP27, batubara,  minyak bumi dan gas jadi hahasan yang akan ditinggalkan. Sumber-sumber itu merupakan energi kotor dan penyumbang krisis iklim.

Omongan soal pemerintah akan ‘suntik mati’ PLTU pun terdengar. Walau kalau  dicermati lagi apakah pemerintah serius menyuntik mati perusahaan listrik tenaga batubara ini? Pesimis. Karena rencana ‘eutanasia’ ini masih ada pengecualian antara lain, PLTU-PLTU untuk operasional smelter  tetap jalan.

Bahkan PLTU dengan pengelola PT Pusaka Jawa Palu Power,  perusahaan Luhut, orang yang bicara soal suntik pembangkit batubara mati ini tak masuk kategori yang akan dimatikan.

Dalam perhelatan dunia G20 itu, bahasan ramai soal mendorong energi terbarukan. Batubara sebagai bahan baku PLTU berganti ke pembangkit panas bumi atau air dan sumber terbarukan yang lain. Sedang minyak bumi sebagai bahan bakar kendaraan bakal berganti ke kendaraan listrik, dengan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterainya.

Menariknya, pemain batubara, minyak bumi yang beralih ke panas bumi sampai kendaraan listrik maupun industri nikelnya ternyata sama saja. Orang-orang yang dulu kaya dari batubara, mau masuk juga ke bisnis nikel maupun kendaraan listrik.

Setidaknya, ada empat sosok pemain batubara, sudah menempuh jalan ini. Dari Moeldoko, Luhut Binsar Pandjaitan, Sandiaga Uno, hingga mantan presiden Jusuf Kalla.

Moeldoko, misal, mendapuk kolega purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat, yang aktif di Deputi I KA Badan Intelijen Negara (BIN), Leonard, jadi Presiden Direktur Mobil Anak Bangsa, sebuah perusahaan mobil listrik yang memproduksi sepeda listrik hingga bus. Sebelumnya, Leonard, pernah jadi komisaris perusahaan pelat merah PT Bukit Asam—perusahaan tambang batubara di Muara Enim, Sumatera Selatan—periode 2012-2017.

 

Di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kena asap dari pabrik smelter nikel dan PLTU yang dibangun di sana. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

 

Ada juga perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan, PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk,  yang punya konsesi batubara di Kalimantan Timur, ini mulai masuk bisnis mobil listrik. Akhir tahun lalu, Toba Bara, digandeng Gojek buat perusahaan patungan yang akan bikin motor listrik bernama Electrum dengan nilai investasi Rp17 triliun dalam lima tahun ke depan. Mereka akan bangun bisnis manufaktur motor listrik, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Pemain batubara  lain yang memulai bisnis nikel adalah Sandiaga Uno. Sandiaga, lewat perusahaannya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), mulai merambah ke bahan baku mobil listrik.  Dia menambahkan kepemilikan saham di PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) 1,46% jadi 18,34%–atau sekitar Rp4,42 miliar.

Rencananya, bisnis melebar ke pengembangan rantai pasok bahan baku baterai untuk kendaraan listrik. Di Morowali, perusahaan Sandiaga ini beroperasi di bawah bendera koalisi Merdeka Thingshan. Gabungan dari Merdeka Copper Gold Tbk, lewat anak usahanya, PT Batuta Pelita Investama (BPI) dan Wealthy Source Holding Limited, di bawah payung, Eternal Tsingshan Group Limited. Modal patungan sebesar US$90 juta atau Rp1,26 triliun dan akan memproduksi acid, iron, dan metal. Komposisi modal, Merdeka 80% dan Tsingshan 20%.

Mantan Presiden Jusuf Kalla pun, lewat perusahaan, Bumi Mineral Sulawesi (BMS), juga main di smelter nikel. Di BMS, Jusuf Kalla bersama adik bungsunya,  Fatimah Kalla dan putra laki-lakinya, Solihin Jusuf Kalla,  sedang merampungkan pembangunan smelter di Luwu.  Pabrik ini target mulai produksi tahun depan dengan kapasitas 60.000 ton tiap pabrik.

Perusahaan energi Kalla juga memasok listrik untuk operasi smelter-smelter lain di Sulawesi. Setidaknya dua perusahaan listrik Kalla yang sudah beroperasi, PLTA Poso dengan kapasitas 515 MW dan PLTA Malea dengan kapasitas 90 MW.

Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang meresmikan dua proyek ini Febuari lalu.

Adik terkecil Jusuf Kalla, Achmad Kalla juga ikut dalam bisnis industri nikel ini lewat perusahaan PT Mitra Karya Agung Lestari di Morowali. Dia berbisnis dengan pengusaha batubara Haji Karlan dan mulai merambah nikel.

Bisnis nikel naik, keperluan batubara pun meningkat. Karena kebutuhan batubara dari perusahaan-perusahaan nikel ini juga besar untuk pembakaran ore maupun PLTU-PLTU buat operasional smelter-smelter nikel ini.

Sementara kendaraan listrik sebagai moda ‘ramah iklim’ atau ‘rendah karbon’ pun jadi jualan laris. Promosi produsen kendaraan, Astra Honda Motor , misal, dengan target penjualan hingga 1 juta motor listrik di Indonesia, pada 2030. Juga ramai soal 6 juta mobil listrik dunia memakai baterai buatan Tiongkok,. Tentu, dari bikin baterai, produksi kendaraan sampai proses penjualan kendaraan perlu energi. Begitu juga industri nikel di hulu. Smelter nikel juga perlu pasokan istrik sampai puluhan tahun ke depan, Sebagian besar dari pembangkit batubara. Pabrikan perakitan mobil juga membutuhkan pasokan listrik.

Alhasil, pengembangan kendaraan listrik hanya melanjutkan pembongkaran mineral di perut bumi, baik nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik maupun batubara yang jadi sumber pasokan energi industri hulu hilirnya.

Kalau begitu, dari perhelatan G20 pun tak sedang jadi titik balik bagi negara-negara maju anggotanya untuk membuat kesepakatan perbaikan bagi krisis iklim. Malah bisa jadi sebaliknya,  bisa bikin perusakan baru atas ruang hidup warga maupun ancaman bagi keragaman hayati.

Jangan sampai, dengan bungkus krisis iklim, kendaraan listrik  malah   berisiko  mendorong  kerusakan lingkungan hidup lebih parah lagi alias hanya jadi ‘solusi palsu.’

 

 

*Penulis adalah Imam Shofwan  selaku peneliti di Jaringan Advokasi Tambang dan Bambang Catur Nusantara sebagai Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: Walhi.

******

Exit mobile version