Mongabay.co.id

Bersama-Sama Membangun Ekowisata Konservasi Pantai Pelangi (3)

 

Kegiatan konservasi penyu di Pantai Pelangi, Kabupaten Bantul, Yogyakarta saat ini berada pada jalur lepas landas. Kelompok konservasi setempat sedang merumuskan proses transisi dari pelestarian yang bergantung pada uang pribadi konservator menuju kegiatan konservasi yang berbasis ekowisata.

Bagi Kelompok Konservasi Pantai Pelangi, basis ekowisata merupakan tumpuan yang penting. Selain menjadi agen penyebar luas edukasi pelestarian penyu, aktivitas ekowisata juga mampu menjadi jantung bagi pendanaan operasional konservasi yang tidak terhitung sedikit.

Jika melihat tahun-tahun sebelumnya, total uang yang dikeluarkan untuk kegiatan konservasi Pantai Pelangi masih lebih tinggi dibandingkan dengan pemasukan. Konservator lokal telah mengorbankan lebih dari Rp41 juta dari dompet pribadinya pada rentang tahun 2019 – 2022.

Pengeluaran menjulang tinggi karena dana operasional terdistribusi merata dari awal sampai akhir tahun. Sebagai contoh, konservator perlu mengeluarkan uang sebesar Rp400 – 600 ribu setiap minggunya untuk penggalian sumur saat mengganti air bak penyu. Dalam delapan bulan, total biaya untuk penggalian sumur saja sudah melebihi Rp5 juta.

Di lain sisi, mayoritas pemasukan hanya datang di musim pendaratan penyu yang terbatas pada bulan April hingga September ketika Kelompok Konservasi Pantai Pelangi bersama komunitas pemuda 4K Yogyakarta mengadakan program konservasi dan rilis tukik.

 

Membiayai Konservasi Pantai Pelangi

Terdapat dua pihak lain yang dapat berkontribusi dalam pemasukan, yaitu badan pemerintah melalui alokasi insentif konservasi serta perusahaan melalui program coorporate social responsibily (CSR).

Di Pantai Pelangi, badan pemerintah yang mengalokasikan insentif kepada kegiatan konservasi adalah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

Pengembangan sistem insentif oleh pemerintah bagi konservasi penyu dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu periode satu (2016 – 2020) sebagai salah satu rencana aksi untuk merealisasikan sasaran “terwujudnya peran aktif masyarakat dalam perlindungan penyu di sekitar lokasi peneluran”.

baca : Sarwidi, Mantan Pemburu Jadi Juru Selamat Penyu

 

Proses penggalian sumur untuk mengganti air bak penyu. Penggalian sumur merupakan kegiatan yang menuntut biaya paling tinggi dari seluruh kegiatan konservasi. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Namun, skema pemberian insentif oleh DKP tidak dapat dilakukan dengan rutin. Saya menemui Veronica Vony Rorong, untuk bertanya perihal batasan ini.

“Kita mulai memberinya mulai tahun 2021. Itu setiap orang kita berikan 300 ribu selama kalau gak 10 bulan, 11 bulan. Tapi memang tidak bisa rutin. ,” tutur Vony ketika ditemui di kantornya pada Selasa (18/10/2022).

“Itu sebagai apresiasi yang dinas berikan pada pegiat konservasi,” lanjutnya.

Dana insentif DKP belum tercatat dalam laporan keuangan terakhir konservasi penyu Pantai Pelangi. Oleh karena itu, grafik lingkaran di atas tidak mencantumkan pemasukan ini. Namun, jika insentif dimasukkan (Rp3,3 juta), maka nominalnya berkontribusi pada 17% dari seluruh pemasukan tahun 2022.

Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY juga mengalami kesulitan untuk membantu dari segi insentif. Untung Suripto, Kepala Seksi Wilayah BKSDA DIY menekankan bahwa walaupun konservasi penyu merupakan wewenang BKSDA, namun lokasi pesisir Bantul bukan wilayah konservasi di bawah pengelolaan mereka.

“Secara administratif [Pantai Pelangi] bukan kawasan konservasi yang kami kelola. Jadi memang tidak menganggarkan untuk honor lebih karena itu tidak bisa dianggarkan,” jawab Untung ketika ditemui di kantornya pada Rabu (19/10/2022).

baca : Di Pantai Pelangi, Konservasi Penyu Berlangsung Sepanjang Hari (2)

 

Sarwidi sedang membersihkan penyu di antara bak-bak. Bak merupakan salah satu fasilitas yang diberikan kepada Kelompok Konservasi Pantai Pelangi. Foto: Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Keterbatasan untuk menganggarkan insentif bagi kegiatan konservasi penyu mendorong kedua badan pemerintah ini untuk menyediakan bantuan lewat koridor lain. Salah satunya melalui pengadaan fasilitas konservasi seperti tempat penetasan semi-alami, bak penyu dan tukik, serta ATV.

Namun, untuk biaya operasional, Kelompok Konservasi Pantai Pelangi tidak mampu mengandalkan pemasukannya hanya melalui insentif pemerintah.

 

Menuju Ekowisata Berbasis Konservasi

Kelompok Konservasi Pantai Pelangi dapat selamat dari tahun-tahun yang penuh defisit. Salah satu defisit terbesar yang mereka lalui adalah pada awal tahun 2020 saat konservator perlu merogoh kocek sebesar Rp16 juta tanpa ada pemasukan apa pun.

Mulai dari tahun 2021, pemasukan Pantai Pelangi mampu melebihi pengeluarannya. Data menunjukkan bahwa hampir 90% pemasukan berasal dari kegiatan pembersihan pantai, penanaman pandan laut (Pandanus odorifer), pelatihan membuat ecobrick dari sampah plastik, dan rilis tukik.

baca juga : Rujito, Dulu Pemburu, Kini Pelindung Penyu di Pesisir Bantul

 

Anak-anak muda mencuci sampah plastik dalam pelatihan membuat eco-brick yang diselenggarakan oleh 4K Yogyakarta. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Pembersihan pantai dan pembuatan ecobrick, misalnya, mengajak para anak muda untuk melihat realita pesisir selatan Bantul yang penuh sampah dan tidak layak untuk pendaratan penyu.

Penanaman pandan laut merupakan usaha mengembalikan kondisi pantai seperti semula. Pandan laut merupakan tanaman asli pesisir selatan Bantul yang mampu menjaga kondisi pasir agar tetap kondusif untuk peneluran penyu.

Lalu, terdapat kegiatan rilis tukik yang biasanya dilakukan menjelang petang. Setiap peserta mempunyai kesempatan untuk melepaskan penyu yang baru menetas.

Rilis tukik menjadi media edukasi di mana peserta dapat dengan langsung melihat tukik melaut. Ditambah lagi, mereka belajar mengenai tata cara pelepasan tukik yang sesuai. Di antaranya, peserta tidak boleh memegang langsung tukik dengan tangan dan tukik harus dibiarkan merayap menuju laut sendiri setelah dilepas.

Kegiatan-kegiatan di atas merupakan prototipe dari program ekowisata yang dirancang oleh Kelompok Konsevasi Pantai Pelangi beserta 4K Yogyakarta. Semuanya memiliki tujuan untuk memberikan edukasi mengenai seluk-beluk kegiatan pelestarian penyu beserta masalah-masalahnya.

baca juga : Abrasi Hingga Lahan Tambak, Ancaman Konservasi Penyu di Bantul

 

Rilis tukik merupakan bagian dari kegiatan kelas konservasi yang menjadi media edukasi bagi publik mengenai kegiatan pelestarian penyu Pantai Pelangi. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Agung Budiantoro, dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD), melihat bahwa program edukasi melalui kelas konservasi dengan rilis tukik merupakan skema ekowisata yang ideal bagi Pantai Pelangi. Agung merupakan salah satu akademisi yang aktif terjun dalam pelestarian penyu di pesisir Bantul.

“Ketika ada kelas konservasi, masalah sosialisasi tentang konservasi penyu terselesaikan, terus masalah keuangan juga [terselesaikan] karena kelas konservasi itu berbayar, peserta dapat ilmu dan juga sertifikat selain bonus rilis tukik jika pas ada tukik yang menetas,” ucap beliau ketika ditemui di ruangannya pada Senin (24/10/2022).

Agung juga berpendapat bahwa kegiatan ini memerlukan sinergi dari seluruh pihak, khususnya dinas pemerintah terkait.

“Dinas bisa kampanye ke hotel-hotel yang ada di Jogja. Siapa yang mengelola? Bisa konsevator lokal dengan akademisi, bisa juga dengan dinas terkait,” lanjutnya.

RAN Konservasi Penyu Periode 1 juga menegaskan bahwa salah satu strategi konservasi penyu yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengembangkan pola pemanfaatan penyu secara non-ekstraktif melalui ekowisata penyu berbasis konservasi.

Dalam menjalankan tugas ini, DKP sebagai pengelola KKP3K akan membuat jejaring kemitraan untuk meningkatkan relasi antara konservator lokal dan program CSR perusahaan untuk mendukung kegiatan ekowisata. Jejaring ini rencananya akan efektif pada tahun 2023.

“Jadi harapannya dia sudah jadi tempat wisata tapi minat khusus, bukan wisata massal. Kalau massal kan tidak tercapai tujuannya,” terang Vony ketika ditanya mengenai peran DKP dalam memajukan program ekowisata Pantai Pelangi.

 

Tukik yang sedang merangkak menuju laut berpapasan dengan tapak kaki wisatawan yang baru kembali dari laut. Foto : Finlan Adhitya Aldan/Mongabay Indonesia

 

Untung juga menegaskan bahwa BKSDA tetap perlu melakukan koordinasi. Walaupun pesisir selatan Bantul bukan merupakan wilayah yang dikelola BKSDA, namun penyu tetap menjadi tanggung jawab badan pemerintah tersebut.

“Yang perlu kami lakukan memang terus berkoordinasi dengan pihak-pihak di sana. Karena bahwa secara administrasi, [Pantai Pelangi] bukan wilayah kami. Tapi, di sana tetap ada hewan dilindungi,” tutur Untung.

Untung juga menjelaskan bahwa BKSDA aktif menghubungkan pengunjung hotel-hotel di sekitar pantai untuk melihat dan mendukung kegiatan konservasi penyu di pesisir Bantul.

Sebagai simpulan, Agung berpendapat bahwa kegiatan paling krusial bagi semua pihak yang berkepentingan dalam konservasi Pantai Pelangi adalah duduk bersama dan membahas jelas peran masing-masing pihak.

“Sebetulnya di Bantul itu harus duduk bersama antara DKP, BKSDA, DLH, dan konservator, serta akademisi. Untuk apa? Supaya tanggung jawab dan kewajiban masing-masing itu jelas,” tuturnya.

Masing-masing pihak, baik dinas pemerintah maupun akademisi, telah menuturkan pendapat dan usaha yang mereka kerahkan untuk melestarikan penyu di pesisir Bantul. Mendengar penuturan tersebut, saya justru teringat dengan satu kalimat sederhana yang bagi saya merangkum semua diskusi di atas.

Kalimat ini sering diucapkan oleh dua orang yang menggeluti konservasi langsung di lapangan, yaitu Sarwidi, inisiator kegiatan konservasi penyu Pantai Pelangi, dan Daru Aji Saputro, ketua 4K Yogyakarta.

“Penyu lestari, konservator sejahtera,” sahut mereka berdua.

 

*Finlan Adhitya Aldan, wartawan lepas domisili di Yogyakarta

 

Exit mobile version