Mongabay.co.id

Membaca Nilai-nilai Ekologi Peradaban Megalitikum di Bukit Barisan

 

 

Bukit Barisan merupakan dataran tinggi yang membentang di Pulau Sumatera sepanjang 1.650 kilometer.

Bukit Barisan yang ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera, bukan hanya lanskap satwa endemik Indonesia, seperti harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], dan orangutan sumatera [Pongo abelii].

Bukit Barisan juga lanskap peradaban megalitikum [Batu besar]. Mulai dari Pasemah [Sumatera Selatan], Kerinci [Jambi], Lima Puluh Koto [Sumatera Barat], dan Pulau Samosir [Sumatera Utara].

Adanya bukti peradaban megalitikum, seperti menhir, punden berundak-undak, arca statis, hingga kubur batu, dolmen, waruga, sarkofagus, arca dinamis, menunjukan Pulau Sumatera sudah didiami manusia sejak ribuan tahun lalu.

Pengetahuan apa yang didapat dari keberadaan situs-situs megalit tersebut bagi manusia yang hidup pada saat ini?

Baca: Lanskap Kopi dan Lestarinya Peradaban Megalitikum Pasemah

 

Motif pakis yang membentuk gunung di salah satu batu menhir di situs menhir, Maek, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Senin-Selasa [5-6/12/2022], saya mengunjungi situs megalitik di Nagari Maek [Mahat], Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat.

Maek adalah sebuah lembah seluas 22 hektar, dikelilingi perbukitan, yang sebagian besar dijadikan perkebunan masyarakat. Mulai dari karet, gambir, cokelat, serta durian. Dataran rendahnya menjadi persawahan padi dan permukiman masyarakat.

Sebuah sungai melintas di Maek, yakni Batang Maek.

Berbeda dengan situs megalit di wilayah Pasemah [Lahat dan Pagaralam] di Sumatera Selatan, yang umumnya berupa arca, megalit di Maek sebagian besar berupa menhir dalam berbagai bentuk dan ukuran. Tingginya dari 50 centimeter hingga empat meter, dan lebarnya kisaran 50 centimeter.

Terdapat 788 megalit yang tersebar di 18 titik. Di masa lalu, jumlah megalit ini mungkin jauh lebih banyak. Sebab, sebagian megalit sudah dihancurkan atau dijadikan bahan bangunan oleh masyarakat.

Saat ini, situs menhir terbanyak berada di Bawah Parit, sekitar 354 menhir. Kemudian di Koto Godang seratusan menhir, dan di Ronah sekitar 50-an menhir. Semua menhir menghadap Gunung Sago yang tingginya sekitar 2.271 meter dari permukaan laut [Timur Laut].

Baca: Fokus Liputan: Gurat Hitam Tambang Batubara di Wajah Peradaban Megalitikum

 

Maek, sebuah lembah di Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, dulunya merupakan permukiman manusia purba. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Pakis

Semua megalit di Maek memiliki bentuk sama. Yakni setengah pilar, yang tertinggi sekitar empat meter, berbentuk monumen andesit, dan di ujung bagian atasnya melengkung, seperti ujung pangkal keris. Bentuk melengkung ini menyerupai ujung tanaman pakis.

Motif pakis juga terukir pada batu menhir. Ada yang mengarah ke luar, dan ada yang mengarah ke dalam. Motif ini banyak ditemukan sejumlah motif kain tradisional di Indonesia.

Selain motif pakis, juga ditemukan pita anyaman, garis bergelombang, dan jalur segitiga, seperti melambangkan gunung atau gelombang air. Juga ditemukan motif serupa “Salib Malta” pada sebuah menhir.

Tanaman pakis atau paku-pakuan [Tracheophyta], cukup dikenal masyarakat di Maek. Sebagian tanaman pakis, dikonsumsi masyarakat, dimasak menggunakan santan kelapa. Tanaman yang mengandung vitamin A, B dan C serta kalium, fosfor, magnesium, kalsium dan protein, dipercaya mampu mencegah kebutaan [katarak] dan penyakit lainnya.

Baca juga: Mampukah Pesona Situs Megalitik di Lahat Bertahan dari Kepungan Tambang?

 

Motif pakis yang membentuk garis seperti hiasan pada pakaian tradisional. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Misteri

Masyarakat yang menetap di Maek saat ini, tidak terhubung dengan situs menhir.

“Kami pendatang di sini. Tapi sampai saat ini belum diketahui asal dan perginya masyarakat yang hidup pada masa megalitikum di Maek,” kata Zelpenedri, juru rawat situs menhir di Maek dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.

Jelasnya, banyak peninggalan masa purba di Maek. “Bukan hanya menhir, juga yang lain. Termasuk jejak telapak kaki [kanan] manusia ukuran besar, yang bukan hasil ukiran atau alami. Masih misteri.”

Butuh banyak penelitian dari berbagai disiplin ilmu.

“Kami percaya di Maek ini sudah ada kehidupan dari masa purba, yang terhubung dengan manusia moderen di Sumatera. Mungkin tidak terhubung dengan masyarakat di sini, tapi dapat saja di wilayah lain,” ujarnya.

Salah satu arkeolog yang meneliti keberadaan situs menhir di Maek selama beberapa tahun adalah Dominik Bonatz dari Jerman. Dia sudah menulis sebuah buku tentang megalitikum di Pulau Sumatera dengan judul “Megalithen Im Indonesischen Archipel”.

“Dominik belum dapat menyimpulkan kelompok masyarakat yang hidup di Maek di masa megalitikum,” kata Zelpenedri.

Di Sumatera Barat, selain di Maek, Dominik juga melakukan penelitian di Bukit Gombak, Tanah Datar.

 

Di atas batuan ini, dulunya masyarakat melakukan doa tolak bala, yang dilakukan setiap lima tahun. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Tradisi

Meskipun bukan keturunan dari masyarakat yang hidup dari masa megalitikum, selama puluhan tahun masyarakat di Maek merawat ratusan megalit.

Sebuah batu besar yang ditunjang batuan kecil, berada di belakang rumah Zelpenedri, dijadikan lokasi upacara adat. Yakni upacara tolak balak.

“Upacaranya berupa doa bersama. Doanya berisi permohonan kepada Tuhan agar dihindarkan dari berbagai persoalan, seperti wabah penyakit, gagal panen, dan gangguan binatang buas. Upacara ini dilakukan setiap lima tahun,” kata Arbi Tanjung, seorang pekerja budaya Sumatera Barat, yang membantu Dominik Bonatz melakukan penelitian di Maek.

Tapi tahun 1980-an, tradisi ini dihentikan atau ditiadakan oleh masyarakat. Menurut warga, alasannya tradisi ini mengandung unsur sirik.

Sejalan dengan hilangnya tradisi tersebut, banyak megalit yang dirusak atau dimanfaatkan masyarakat untuk bahan bangunan. Bahkan, hilang pula sejumlah pengetahuan yang terkait menjaga hutan, guna mencegah serangan wabah penyakit atau bencana lainnya, seperti longsor.

“Saat ini sering terjadi longsor saat musim penghujan. Waktu wabah virus Corona kemarin, sejumlah warga juga terkena,” kata seorang warga.

 

Salah satu sudut bukit yang mengurung lembah Maek. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Menjaga gunung

Jika di Maek, motif atau simbol pada megalit terkait dengan flora, sementara di berbagai megalit di Pasemah, banyak terkait fauna.

Arca-arca yang tersebar di berbagai situs megalit di Kabupaten Lahat dan Pagaralam [Pasemah], ditemukan pahatan di batu yang menggambarkan manusia berinteraksi dengan sejumlah satwa. Misalnya arca yang menggambarkan manusia memeluk gajah, menunggangi harimau, memelihara domba [anjing], memikul gajah atau memikul babi.

Sama seperti di Maek, Kerinci, Pulau Samosir, semua megalit itu menghadap ke gunung atau dataran tinggi. Semua megalit di Pasemah menghadap Gunung Dempo [3.142 mdpl].

Mengapa banyak megalit di Pulau Sumatera menghadap gunung atau dataran tinggi?

Dominik Bonatz menjelaskan bahwa megalitik adalah objek persembahan kepada kekuatan supernatural [adikodrati] yang bersemayam di gunung.

“Jika pendapat itu benar, berarti gunung merupakan wilayah yang harus dijaga. Termasuk flora dan fauna yang berada di gunung. Pemahaman ini yang mungkin membuat banyak hutan di wilayah perbukitan di Sumatera selama belasan abad terjaga,” kata Arbi.

 

Sebagian menhir ada yang dirusak atau digunakan masyarakat untuk membangun rumah. Hal ini terjadi setelah tradisi doa tolak balak menghilang. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Persoalannya, kata Arbi, kepercayaan yang melahirkan pengetahuan arif terhadap lingkungan tersebut, pada hari ini nilai-nilainya mulai terkikis. Banyak gunung dan bukit yang kehilangan hutan. Yang berdampak hilangnya kekayaan flora dan faunanya, termasuk juga terhadap manusia melalui sejumlah bencana dan perubahan iklim.

Berbagai aktivitas ekstraktif dilakukan terhadap gunung atau wilayah dataran tinggi. Mulai dari penebangan liar, perkebunan skala besar, hingga penambangan mineral seperti emas dan batubara.

Jadi, pengetahuan di balik keberadaan situs megalit di Pulau Sumatra harus digali dan disebarkan pada masyarakat yang hidup hari ini, sehingga Bukit Barisan terus terjaga.

“Bukit Barisan itu rumahnya manusia purba yang sangar arif dengan alam. Mereka menjaga gunung,” katanya.

“Saya percaya para leluhur kita, termasuk di Minangkabau ini sangat menjaga alam dan  pengetahuan tersebut. Sehingga melahirkan pepatah ‘alam takambang menjadi guru’.  Mungkin, pengetahuan luhur tersebut terus terkikis sejalan dengan hilangnya berbagai tradisi,” katanya.

Arbi juga mengajak para peneliti atau pekerja budaya di Sumatera Barat untuk melihat sejarah dan peninggalan budaya, tidak hanya dari perpektif politik identitas. Penting melihatnya dari sisi yang lain, seperti ekologi.

“Sehingga dapat memberikan jawaban atau solusi persoalan hari ini, yang umumnya disebabkan oleh kerusakan alam,” paparnya.

 

Exit mobile version