Mongabay.co.id

Menyoal Putusan Kasasi Kasus Karhutla Perusahaan Sawit Samsung

 

 

 

 

Anak usaha Samsung yang bergerak dalam usaha perkebunan sawit, PT Gandaerah Hendana (Ganderah), lepas dari jerat hukum kasus kebakaran seluas 580 hektar lahan dalam hak guna usaha (HGU) seluas 6.087 hektar pada 2019. Kalangan organisasi masyarakat sipil mempertanyakan keputusan hakim dan mendorong penuntut umum ajukan peninjauan Kembali.

Mahkamah Agung menyatakan,  Ganderah tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kebakaran selama 21 hari itu. Putusan ini memperkuat putusan Pengadilan Tinggi yang juga membebaskan Ganderah.

Hakim Agung: Suhadi, Soesilo dan Suharto, menolak permohonan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu, pada 13 September 2022. Persis tiga tahun sejak peristiwa kebakaran. Majelis berpendapat, Pengadilan Tinggi Riau tidak salah menerapkan hukum, sudah sesuai hukum acara pidana dan tidak melampaui wewenangnya.

Pertimbangan hakim kasasi persis mengutip putusan pengadilan banding antara lain, lahan terbakar di Desa Seko Lubuk Tigo, Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, meski bagian HGU GH tetapi dikuasai masyarakat dengan kepemilikan surat keterangan ganti rugi (SKGR). Perusahaan sudah berupaya menguasai kembali lahan dengan pendekatan pada masyarakat hingga gugatan ke PTUN Pekanbaru. Termasuk membuat parit pemisah sebelum kebakaran. Jadi, masyarakatlah yang bertanggungjawab terhadap kebakaran itu.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Rengat sempat menjatuhkan pidana pada Ganderah yang diwakili Direktur Utama Jeong Seok Kang Rp8 miliar dan pemulihan lahan Rp208,8 miliar. Meski lokasi dikuasai masyarakat, majelis hakim tingkat pertama menyatakan Ganderah tetap bertanggungjawab terhadap lahan karena masih bagian dari HGU.

Adapun gugatan terhadap masyarakat yang okupasi lahan dilakukan setelah kebakaran atau ketika penegakan hukum tengah berlangsung. Sebelum berkas perkara limpah ke pengadilan, Ganderah juga buru-buru melepas sebagian areal termasuk yang terbakar ke Kanwil BPN Riau.

“Gugatan PTUN, pelepasan HGU terbakar hanya alasan agar perusahaan lepas dari tanggung jawab. Padahal, sejak 2005 sampai sebelum kebakaran, perusahaan berupaya mempertahankan lahan,” kata Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai.

Dia menyebut,  putusan bebas hakim banding dan kasasi jauh dari pantauan publik. Berbeda dengan persidangan di pengadilan tingkat pertama terbuka untuk umum hingga memungkinkan  masyarakat mengikuti langsung persidangan.

 

Baca juga: Upaya Perusahaan Sawit Samsung Hindari Jerat Hukum Lingkungan

embatan penghubung antar perkebuannan sawit dan perkampungan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Banyak temuan  dugaan pelanggaran

Masalahnya, berdasarkan penelusuran Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), majelis hakim banding dan kasasi yang membebaskan Ganderah tidak memiliki kompetensi atau sertifikasi hakim lingkungan.

Padahal,  berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KKMA) 134/2011, perkara lingkungan hidup harus diadili hakim bersertifikat lingkungan hidup. Apabila,  tidak terdapat hakim lingkungan hidup di wilayah itu, Ketua Mahkamah Agung dapat menunjuk hakim bersangkutan atas usulan Ketua Pengadilan Tinggi.

Dalam KKMA 36/2015 yang mengubah Pasal 27 KKMA 134/2011, ketua pengadilan masing-masing tingkat peradilan berwenang memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup karena jabatannya. Juga dapat menunjuk wakil ketua atau hakim senior.

“Sayangnya,  belum ada satu konsekuensi khusus. Kalau misal ternyata ada (hakim sertifikasi lingkungan) tapi tidak ditunjuk lalu konsekuensinya apa? Karena belum ada ketentuan khusus yang mengatur soal (pelanggaran) itu. Ini jadi catatan di Mahkamah Agung dan bahan evaluasi sistem,”  kata Difa Shafira, peneliti ICEL.

Untuk cegah dan antisipasi kejadian berulang, Difa menawarkan, model pembinaan dan mutasi promosi sebagai mekanisme kontrol.

Menyoal pertimbangan bebas terhadap Ganderah, katanya, ada hal lain yang luput dilihat hakim banding dan kasasi. Walau tidak memiliki kompetensi mengadili perkara lingkungan, hakim mestinya berpedoman pada KKMA 36/2013 tentang pemberlakuan pedoman penanganan perkara lingungan hidup.

KKMA 36/2013 bertujuan membantu para hakim mulai tingkat pertama hingga Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup. Juga memberikan informasi terkini bagi hakim dalam memahami permasalahan lingkungan hidup dan perkembangan hukum lingkungan. Terakhir melengkapi hukum acara perdata yang berlaku.

Perkara lingkungan hidup, katanya, cukup kompleks karena melibatkan banyak bukti ilmiah. Ada juga aspek ketidakpastian. Dalam beberapa kasus, kerusakan tidak bisa Kembali sedia kala.

Hakim, katanya,  harus progresif dan berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Setelah Pengadilan Negeri Rengat menyatakan Ganderah bersalah, putusan bebas di Pengadilan Tinggi Riau dan Mahkamah Agung merupakan satu kemunduran. Keberpihakan hakim pada kepentingan lingkungan, katanya,  dipertanyakan.

 

Ilustrasi. Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah  Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Riau. Foto: Wahyudi 

 

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari teringat saat penghentian penyidikan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 15 korporasi hutan tanaman industri dan sawit pada 2015 oleh Polda Riau. Salah satu alasannya,  lokasi terbakar berkonflik atau diokupasi masyarakat jadi perusahaan tak leluasa mengelola lahan. Berbagai upaya perusahaan mempertahankan areal juga jadi pertimbangan penghentian penyidikan, waktu itu.

Hasil audit investigasi Mabes Polri—setelah ada desakan masyarakat sipil yang sampai menggugat pra peradilan beberapa perusahaan agar penghentian penyidikan dibatalkan—merekomendasikan enam perusahaan agar lanjut penyidikan. Namun, katanya,  tetap tak ada tindak lanjut penegakan hukum.

“Barangkali majelis hakim di Pengadilan Tinggi Riau dan Mahkamah Agung, harus lihat perspektif penegakan hukum lingkungan hidup itu bukan hanya persoalan konflik. Tapi ada dampak dari perusakan liungkungan dan polusi udara yang sebabkan orang meninggal dunia dan lain-lain,” ujar Okto.

Pada 2019, hutan dan lahan terbakar di Riau 75.871 hektar yang salah satu sumber dari lahan Ganderah. Artinya, perusahaan ini berkontribusi terhadap karhutla dan bencana asap, tahun itu.

Sekitar 300.000 warga Riau diperkirakan terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Lalu tiga orang meninggal diduga karena terpapar asap beracun, antara lain, bayi baru beberapa hari lahir.

Tingkat polusi yang tercatat pada papan pengukur Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di beberapa titik di Pekanbaru mencapai 1.000 mikrogram per meter kubik. Padahal angka 350 sudah masuk level berbahaya.

Selain kasus kebakaran lahan, kata Okto, Ganderah juga terkait masalah perambahan kawasan hutan, merugikan negara dari sektor pajak serta dugaan korupsi pertanahan.

 

Baca juga: Putusan Hakim Atas Perusahaan Sawit Samsung di Riau Tuai Kritik Aktivis Lingkungan

 

Ihwal perambahan hutan, juga jadi temuan Pansus DPRD Riau pada 2015. Koalisi Rakyat Riau (KRR), termasuk Jikalahari, pernah melaporkan 33 perusahaan temuan pansus itu. Empat perusahaan sempat naik penyidikan, salah satu Ganderah tetapi belum ada publikasi lanjutan dari Polda Riau.

Temuan lain pansus, Ganderah juga tanam sawit di luar izin hingga menimbulkan kerugian negara Rp50 miliar lebih per tahun.

Mengenai dugaan korupsi pertanahan, dan menyoal pelepasan HGU Ganderah terbakar yang disetujui Kanwil BPN Riau dengan ‘kilat’,  Okto curiga terkait Kepala BPN Riau, M Syahrir, saat itu. Dia terlibat korupsi perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari di Kuantan Singingi. Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Syahrir karena tersandung kasus menerima Rp1,2 miliar dari permintaan Rp3 miliar.

Beberapa catatan Okto, diamini Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau, Umi Ma’rufah. Contoh, pada 5 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengeluarkan SK tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Izin pelepasan kawasan hutan Gandaerah pada 1993 seluas 14.000 hektar masuk daftar evaluasi. Ia terhampar di dua kabupaten, Pelalawan dan Indragiri Hulu.

“Akan tetapi tidak ada keterangan jelas, bentuk evaluasi oleh kementerian. Kita belum tahu tindakan KLHK dalam proses evaluasi itu,” kata Umi, saat diskusi menyoal putusan bebas Ganderah, November lalu.

Temuan koalisi jejaring Eyes on the Forest yang dipublikasi, bulan lalu, juga mendapati Ganderah menanam sawit di luar izin bahkan dalam kawasan hutan. Temuan ini sejalan bila merujuk lampiran Keputusan Menteri LHK No 1217/2021, tentang data dan informasi kegiatan usaha dalam kawasan hutan dan tak memiliki perizinan kehutanan tahap III.

Dalam SK itu dijelaskan, sebanyak 1.820 hektar kebun sawit Ganderah berada dalam hutan produksi dikonversi dan hutan produksi tetap. Skema penyelesaian sesuai UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Khusus PP 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak dari denda administratif bidang kehutanan.

Hasil investigasi Walhi Riau, menemukan Ganderah terindikasi menanam di lahan gambut fungsi lindung di dalam maupun luar HGU. Ganderah juga tanam sawit di bantaran sungai dan berdampak terhadap ekosistem sungai.

Masyarakat sipil Riau mendorong dan mendukung Penuntut Umum Kejaksaan Indragiri Hulu, mengambil langkah hukum dengan upaya peninjauan kembali. Juga mendesak penguatan lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung.

Vonis bebas Ganderah menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat di tengah situasi buruknya penegakan hukum oleh pengadilan.

 

Baca juga: Kala Pengadilan Rengat Hukum Ratusan Miliar Perusahaan Sawit Samsung di Riau

Tanaman sawit di antara lahan bekas bakar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version