Mongabay.co.id

Pudarnya Keharmonisan Suku Minangkabau dengan Gunung. Benarkah?

 

 

Gunung atau bukit bagi masyarakat di Pulau Sumatera sangatlah penting. Gunung bukan hanya sebagai pusat spiritual [pra Islam], juga sumber kehidupan; air, flora dan fauna sebagai sumber pangan dan sandang. Selama ratusan tahun gunung atau bukit di Sumatera terjaga. Terhindar dari berbagai kerusakan.

Minangkabau, salah satu suku terbesar di Pulau Sumatera. Sebagian besar masyarakat dari suku ini hidup di Sumatera Barat. Membentang dari pesisir [barat Sumatera] hingga ke Bukit Barisan.

Semua komunitas Suku Minangkabau terhubung dengan gunung atau perbukitan. Artinya wilayah sebaran Suku Minangkabau cenderung sekitar gunung atau bukit.

Misalnya Gunung Mahalintang [berbatasan dengan Tapanuli], Nan Salilik Gunuang Merapi [Daerah Luhak Nan Tigo], Saedaran Gunuang Pasaman [daerah sekitar Gunung Pasaman], Sajajaran Sago jo Singgalang [daerah sekitar Gunung Sago dan Gunung Singgalang], Seputaran Talang jo Kurinci [sekitar Gunung Talang dan Gunung Kerinci], Sipisau-pisau Hanyuik [sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, Kampar], serta Sialang Balantak Basi [sekitar Gunung Sailan dan Singingi].

“Gunung atau bukit memberikan penghidupan bagi Suku Minangkabau, sehingga mereka memiliki berbagai pengetahuan dalam menata dan melindungi gunung atau bukit. Misalnya tidak berladang padi atau berkebun [non pohon] di lereng-lereng bukit atau gunung, merusak mata air, dan hidup rukun dengan sejumlah satwa penguasa hutan seperti harimau,” kata Arbi Tanjung, pekerja budaya dari Sumatera Barat, awal Desember 2022.

Bahkan hutan, gunung, bukit, danau, dan laut, sungai, menjadi “guru” bagi masyarakat Minangkabau. Kesetaraan, keterbukaan, dan keharmonisan yang tercermin dari kehidupan di alam menjadi falsafah kehidupan orang Minangkabau.

“Alam takambang jadi guru, itu falsafah hidup orang Minangkabau,” kata Arbi, yang juga sastrawan.

Baca: Membaca Nilai-nilai Ekologi Peradaban Megalitikum di Bukit Barisan

 

Sebuah gunung menghadirkan sejumlah sungai. Sungai adalah sumber kehidupan bagi Suku Minangkabau. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Pengetahuan dan teknologi yang dibawa bangsa Eropa [Belanda, Portugis, dan Inggris] yang mengeksploitasi kekayaan alam, seperti kayu, perkebunan skala besar, dan penambangan mineral seperti emas dan batubara, secara tidak langsung mengubah cara pandang sejumlah orang Minangkabau.

Banyak tokoh Minangkabau di masa lalu yang menolak eksploitasi kekayaan alam tersebut.

“Salah satu Imam Bonjol yang menolak penambangan emas di bukit dan daerah aliran sungai di tanah Minangkabau yang dilakukan Belanda bersama sejumlah masyarakat lokal,” ujar Arbi.

“Selama pemerintahan Orde Baru, pengetahuan dari bangsa Eropa tersebut terpendam di masyarakat. Lalu, setelah reformasi 1998 pengetahuan itu meledak di masyarakat. Mereka menguras kekayaan alam yang berada di sekitar gunung, bukit, laut, danau dan sungai,” kata Arbi.

Dampaknya banyak wilayah di sekitar gunung, bukit, sungai, danau di Sumatera Barat mengalami kerusakan akibat aktivitas ekstraktif tersebut. Longsor, banjir, konflik dengan satwa seperti harimau, berulang terjadi.

Baca: Lanskap Kopi dan Lestarinya Peradaban Megalitikum Pasemah

 

Meskipun hidup di dataran tinggi atau di sekitar gunung, Suku Minangkabau banyak memanfaatkan tanah datar seperti lembah untuk menetap dan bertani. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Gunung Merapi

Berdasarkan tambo [cerita atau kisah] masyarakat Minangkabau, leluhur mereka berasal dari lereng Gunung Merapi. Nagari Pariangan merupakan nagari tertua Minangkabau, yang berada di Kabupaten Tanah Datar.

Gunung Merapi yang tingginya sekitar 2.891,3 meter dari permukaan laut [mdpl], dari akhir abad ke-18 tahun 2000-an sudah meletus ratusan kali. Sekitar 50 dalam skala besar.

“Gunung Merapi terus terjaga. Sebab ada inyiak [nenek, penyebutan untuk harimau] yang menjaganya. Warna tubuhnya bukan belang, tapi hitam,” kata Datuk Sati dari Nagari Kubu Gadang, Panjang Panjang, Sumatera Barat.

Masyarakat Nagari Kubu Gadang yang berasal dari Nagari Pariangan, sangat menghormati dan menjaga keberadaan Gung Merapi. “Kami dilarang untuk merusak atau mengganggu Merapi,” katanya.

Masyarakat di Nagari Kubu Gadang yang umumnya petani. Mereka menanam padi, palawija, dan karet. Mereka terus menjaga hutan ulayatnya.

“Hutan ulayat kami jaga. Kami hanya mengakses hutan ulayat untuk sejumlah kebutuhan, tapi bukan ekonomi,” kata Datuk Sati.

Kehidupan masyarakat Kubu Gadang yang masih harmonis dengan alam, membuat wilayah ini dijadikan Desa Wisata Kubu Gadang.

Baca juga: Mampukah Pesona Situs Megalitik di Lahat Bertahan dari Kepungan Tambang?

 

Sapi atau kerbau selalu ditemukan pada setiap komunitas Suku Minangkabau. Rendang merupakan kuliner dari daging sapi atau kerbau. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Merapi dalam puisi

Pada 30 November-3 Desember 2022 lalu, sekitar 100-an penyair Indonesia dan sejumlah penyair dari negara-negara di Asia Tenggara menggelar kegiatan di Kubu Gadang. Mereka menginap, diskusi, dan membaca puisi di sekitar persawahan di Kubu Gadang.

“Saya senang sekali berada di sini. Pagi dan sore saya dapat menikmati Gunung Merapi yang disakralkan orang Minangkabau ini. Banyak penyair dan sastrawan yang mendapatkan inspirasi dari Gunung Merapi,” kata Budi P Hutasuhut, penyair Padang Sidempuan, Sumatera Utara.

“Saya percaya Gunung Merapi ini banyak memberikan pengetahuan bagi orang Minangkabau. Sudah kewajibannya orang Minangkabau menjaga Gunung Merapi dan gunung-gunung lainnya di Bukit Barisan, seperti Gunung Singgalang, Gunung Sago, Gunung Pasaman, Gunung Kerinci, dan lainnya.”

Sejumlah penyair yang terlibat dalam temu Penyair Asia Tenggara itu menulis sejumlah puisi bertemakan Gunung Merapi, yang terkumpul dalam buku “Kabut, Hujan, dan Segala yang Dikenang”.

Misalnya puisi “Kau, Aku, dan Balutan Kisah di Pintu Angin Gunung Marapi” yang ditulis Rabiatul Hasanah Daulay:

..Tepat di pintu angin Gunung Marapi kita berdiri. Menatap pepohonan yang menjadi saksi pertemuan akhir. Melihat dedaunan yang menyimpan cerita di setiap tangkainya…

Raflis Chaniago dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menulis puisi “Padang Panjang dalam Lipatan Sejarah”:

Aku dan anakku seorang putri, bersama rombongan, menancapkan kaki di puncak Gunung Marapi.”

 

Maek, sebuah lembah di Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, dulunya merupakan permukiman manusia purba. Foto: Aurelly Nada Salsabilla

 

Hilangnya keharmonisan

Wengky Purwanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Barat mengatakan, “Secara umum ada perubahan perilaku masyarakat terhadap gunung di Sumatera Barat.”

Indikatornya, kata Wengky, selama 25 tahun terakhir sering terjadi longsor, banjir bandang, atau konflik manusia dengan harimau pada wilayah di sekitar gunung di Sumatera Barat. Misalnya di sekitar Gunung Sago, Gunung Merapi, Gunung Talang, atau Gunung Pasaman.

“Kita juga mendapatkan data soal pembalakan kayu, penambangan, dan pembukaan kebun di lereng bukit atau di kaki gunung, sehingga sering terjadi longsor atau banjir badang.”

Misalnya banjir badang badang atau disebut “galodo” pada 2010 lalu. Air dan lumpur menghantam ratusan rumah di empat nagari [Lima Puluh Koto] yang berada di kaki Gunung Sago.

Pada 2018, banjir dan longsor melanda sejumlah nagari. Misalnya Nagari Situjuah Limo, Nagari Banda Dalam, Nagari Situjuah Batur, Nagari Situah Tungka, dan Nagari Situjuah Ladang Laweh.

Banjir badang dan longsor juga sering terjadi di sekitar Gunung Pasaman. Terakhir, pada November 2022 lalu, sekitar 8,6 hektar persawahan terendam banjir.

“Konflik manusia dengan harimau dan bencana banjir dan longsor merupakan penanda kuat gunung-gunung di Sumatera Barat kondisinya tidak lagi terjaga,” kata Wengky.

Arbi Tanjung menilai berbagai bencana tersebut menandakan bahwa hubungan harmonis masyarakat Minangkabau dengan gunung pada saat ini mulai terkikis.

“Para tokoh adat, para datuk di berbagai nagari untuk mengingatkan kembali nilai-nilai luhur orang Minangkabau dengan alam, khususnya dengan gunung.”

Harus disadari bersama, jika gunung-gunung tidak lagi terjaga, alam rusak, maka terancam pula keberadaan Suku Minangkabau. “Suku Minangkabau itu ruhnya adalah alam,” paparnya.

 

Exit mobile version