Mongabay.co.id

Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Dampak Perubahan Iklim di Pesisir Lombok (2)

 

Hujan datang terlalu cepat. Biasanya pada Oktober kondisi cuaca selalu panas terik. Sejak September hingga Desember menjadi bulan mencari ikan sebanyak-banyaknya bagi nelayan pesisir Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Empat bulan ini sedang banyak ikan. Terutama tongkol. Penghasilan selama empat bulan ini menjadi tabungan kala kondisi cuaca buruk. Biasanya di awal tahun,berlanjut hingga Maret. Pada bulan inilah terjadi paceklik. Para nelayan yang tahu siklus ini, berusaha menabung di kala cuaca bagus.

Menurut Hunaini, nelayan dari Pondok Perasi, Ampenan, musim paceklik nelayan biasa datang pada awal tahun hingga Maret. Itu sebab, sebelum paceklik muncul, mereka membiasakan diri menabung hasil tangkapan di musim panen.

“Tapi sekarang cuaca tidak bagus, tidak tiap hari saya turun,’’ kata Hunaini.

Biasanya pada musim ikan tongkol, dia akan melaut hingga perairan Bangko-Bangko, Sekotong, Lombok Barat. Tangkapan ikan tongkol di Bangko-Bangko berlimpah hingga diserbu nelayan dari berbagai daerah. Ratusan nelayan termasuk Hunaini kadang menginap Pendapatan memanen ikan tongkol selama empat bulan itu bisa menjadi sandaran selama cuaca buruk berlangsung.

“Sekarang ini cuaca belum bagus, ini ombak besar kesulitan kita ke tengah,’’ kata Hunaini yang sudah seminggu tidak melaut pada pertengahan Oktober.

Cerita lain juga datang dari Salib, nelayan dari kampung Bekicot, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram. Di usia yang sudah tidak muda, penglihatan dan tenaga yang sudah berkurang membuat dia selalu was-was jika melaut jauh. Kondisinya tak memungkinkan untuk melaut, apalagi untuk menghadapi cuaca buruk dan gelombang tinggi. Sebab itu, sekarang dia lebih sering meminjamkan perahunya ke nelayan lain dengan sistem bagi hasil.

“Sudah tidak kuat, saya mau pensiun,’’ kata Salib. Dua anaknya laki-laki meneruskan profesinya sebagai nelayan tangkap.

baca : Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Perubahan Iklim dan Kerentanan Pangan Masyarakat Pesisir Lombok (1)

 

Bahri nelayan di Desa Pemenang Barat, Kabupaten Lombok Utara merapikan jaring miliknya. Dia kembali melaut setelah pariwisata terpuruk akibat pandemi Covid-19. Ketika kembali melaut sudah banyak berubah, dan semakin sulit mencari ikan di sekitar tempat tinggalnya. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, tinggal di kampung Bekicot semakin sulit. Menurut Salib bukan perkara permukiman mereka yang semakin kumuh, tapi karena gangguan bencana alam yang makin sering menghantam mereka. Salib adalah saksi mata perubahan pesisir kampung Bekicot.

Di kampungnya dulu banyak tumbuh pohon pandan di kawasan pesisir kampung Bekicot. Tempat parkir perahu cukup jauh dari rumah. Di areal hunian juga masih ada tanah lapang tempat tempat anak-anak biasa bermain. Tapi sekarang, perahu diparkir di halaman rumah. Bahkan setiap tahun, saat rob tiba, nelayan mengikat perahu di rumahnya. Air masuk ke dalam rumah. Perlahan pasir yang dibawa air laut mulai menutupi rumah warga.

Rumah Salib misalnya. Dulu tembok rumahnaya cukup tinggi. Seiring seringnya terjadi rob yang membawa pasir, sedikit demi sedikit tembok rumahnya pun tertimbun. Bahkan rumah salah seoarang putranya, sudah terkubur setinggi lutut orang dewasa. Untuk masuk ke dalam rumah harus menuruni pintu. Tumpukan pasir juga menyebabkan halaman rumah semakin tinggi,. Posisi rumahnya kini lebih rendah dari halaman rumahnya.

Dengan situasi semacam itu, Sebagian warga di kampung Bekicot memutuskan untuk hengkang, tapi sebagian besar memaksakan diri untuk bertahan. Selain rob dan abrasi, bertambahnya jumlah penduduk di Kampung Bekicot juga memicu persoalan baru. Saat ini, bertambahnya jumlah penduduk tak sebanding dengan ketersediaan lahan yang ada. Hal itu yang mendorong warga untuk membangun rumah di tempat-tempat yang kosong. Salah satunya di kompleks kuburan China. Salib sendiri bertetangga dengan salah satu kuburan. Begitu juga dua putranya yang sudah bekeluarga, membangun rumah di sela-sela kuburan.

“Kami tidak punya pilihan, semakin sulit jadi nelayan sekarang,’’ katanya.

baca juga : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Warga kampung Bekicot, Kelurahan Bintaro membangun rumah di dekat kuburan. Mereka langganan terendam rob dan sudah pasrah jika harus direlokasi. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Dulu Salib rutin menangkap ikan, istrinya setiap hari jualan ikan di pasar Kebon Roek Ampenan, sekitar 3 km dari rumahnya. Seiring usia mereka semakin tua, melaut semakin berat. Dengan kondisi cuaca yang sering berubah, melaut mempertaruhkan nyawa. Apalagi dengan kondisi pesisir pantai yang semakin sempit, mendekati rumah, semakin kesulitan nelayan parkir perahu.

“Syukur pemerintah berikan beasiswa ke anak saya, saya harap mereka tidak jadi nelayan,’’ katanya menuturkan salah satu putrinya sedang kuliah, dan satu orang duduk di bangku SMA.

Nasib tidak jauh berbeda dihadapi nelayan di kampung Jor, Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Air laut sudah mendekati jalan raya. Saat air laut pasang, bisa menggenangi jalan, dan rumah nelayan yang berada di pesisir. Pemerintah membangun tanggul di beberapa lokasi di Desa Jerowaru. Mampu mengurangi genangan air laut saat pasang, tapi jika hujan, air dari daratan yang menggenangi rumah warga. Pilihan yang berat bagi warga yang tinggal di pesisir mulai dari kampung Jor hingga Poton Bako.

“Sudah ada rencana mau dipindah rumah-rumah yang di pinggir laut,’’ kata Amaq Nori, salah seorang nelayan yang ditemui pertengahan Oktober.

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI membangun tanggul bambu di Jor dan Poton Bako. Fungsi tanggul itu untuk menahan lumpur yang dibawa dari daratan. Selain itu dinding bambu juga mengurangi kekuatan ombak saat kondisi pasang. Tapi dinding bambu itu tidak bertahan lama. Saat ini kondisinya semakin rapuh. Membangun dinding bambu itu bukan solusi jangka panjang.

Kehidupan nelayan di pesisir Jor banyak berubah. Amaq Nori menuturkan, dulunya di tahun 80-an menangkap ini cukup mudah. Berbekal perahu kecil, jaring dan pancing mereka cukup melaut sekitar perairan Teluk Jukung. Hanya sekitar 10 menit dari daratan sudah bisa menangkap ikan. Tapi sekarang semakin jauh para nelayan melaut.

“Sekarang dua kali lipat biaya, minyak naik lagi. Kalau tidak rugi saja sudah syukur, kadang keluar modal tidak kembali,’’ katanya.

baca juga : Krisis Iklim, Warga Dompu Bentengi Kampung dengan Mangrove

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI membangun tanggul bambu di pesisir Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Menurut para nelayan, tanggul ini tidak efektif dan kini sudah keropos. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pesisir Yang Berubah, Masyarakat Yang Cemas

Bahri terpaksa kembali menjadi nelayan. Pandemi Covid-19 mengantam sektor pariwisata di Kabupaten Lombok Utara. Bertahun-tahun Bahri bekerja di sektor pariwisata. Dia membawa perahu mengangkut penumpang ke Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno. Kadang menjadi buruh harian. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika dibandingan menjadi nelayan, pendapatan menjadi buruh di sektor pariwisata ini lebih pasti. Risiko juga lebih kecil. Dia juga memiliki banyak kenalan yang sewaktu-waktu memakai jasanya. Menjadi buruh atau menjadi asisten yang membawa perahu wisata.

“Dibandingkan gempa (gempa Lombok 2018), pandemi Covid ini lebih parah. Sepi tamu,’’kata Bahri saat ditemui di kampung halamannya di Teluk Kombal, Desa Pemenang Barat, Kabupaten Lombok Utara pada akhir Oktober.

Awal pandemi di masih mengandalkan tabungannya. Setahun pandemi keadaan ekonomi keluarga semakin sulit. Pilihan satu-satunya kembali melaut. Bahri tidak memiliki perahu, dia kerja sama bagi hasil dengan pemilik perahu. Bertahun-tahun meninggalkan profesi nelayan, Bahri kembali melaut di tengah kondisi laut yang berubah.

Abrasi menggerus kampung Teluk Kombal. Sebagian warga sudah pindah. Bahri termasuk yang bertahan. Tidak memiliki lahan di tempat lain untuk membangun rumah baru. Bahri kembali melaut saat laut tidak bersahabat.

“Semakin sulit jadi nelayan sekarang. Semua bahan mahal, hasilnya sedikit,’’ kata Bahri.

baca juga : Efektifkah Dinding Bambu Pelindung Pantai di Jerowaru ?

 

Dengan kondisi laut yang tidak menentu, para nelayan di Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur memilih untuk mengembangkan budidaya lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Beradaptasi dengan Pesisir yang Berubah

Senam alias Amaq Sahni, nelayan Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur mengawasi ibu-ibu yang sedang mengikat bibit rumput laut. Sesekali dia memeriksa ikatan. Jika ada yang longgar dia berinisiatif memperbaiki. Setiap ikatan harus dipastikan kuat agar tidak terlepas. Jika sudah ditanam ikatan lepas bisa menyebabkan kerugian bagi nelayan.

Senam memiliki 150 tali nilon. Penanaman rumput laut dengan cara mengikat di tali nilon yang kemudian dibuat mengapung dengan menaruh botol air mineral sebagai pelampung dikenal dengan sistem long line. Dengan 150 tali itu, Senam mampu panen 5 kwintal kering dalam sekali panen. Dengan harga Rp8.000 – Rp10.000/kg, Senam bisa mengantongi Rp5 juta/bulan. Angka itu sudah bersih, sudah dipotong dengan modal bibit, upah pengikatan bibit, upah melepas ikatan saat panen, dan penjemuran.

“Modal besar di awal saja,’’ katanya.

Sebagai nelayan senior di pesisir selatan Lombok Timur ini, Senam sudah kenyang pengalaman budidaya rumput laut. Dia juga sudah banyak mengembara di tengah laut mencari ikan. Senam merasa pendapatan dari budidaya rumput laut ini lebih pasti, lebih kurang risiko dibandingkan menangkap ikan, sebagaimana dilakoninya ketika masih muda.

Senam menjadi saksi perubahan di kampung pesisir yang tidak memiliki sumber air tawar itu. Budidaya rumput laut sudah lama dilakukan masyarakat, tapi saat itu hanya sebagai sampingan. Modal juga tidak sedikit karena saat itu masih menggunakan rakit. Aktivitas budidaya rumput laut menjadi pengisi waktu luang setelah menangkap ikan. Bagi nelayan Seriwe saat itu, hasil tangkapan laut cukup menghidupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Pesisir berubah, daerah mencari ikan semakin jauh, di saat yang sama permintaan rumput laut meningkat. Tahun 1990-an sudah ramai nelayan Seriwe budidaya rumput laut. Tahun 2000-an semakin banyak, dan sepanjang tahun 2008-2014 mencapai kejayaan sebagai salah satu sentra budidaya rumput laut terbesar di Pulau Lombok. Sejak saat itulah berbagai inovasi budidaya rumput laut digalakkan. Sejak saat itu juga nelayan Seriwe mulai melihat budidaya sebagai sumber utama penghasilan mereka. Nelayan yang lebih muda, Hasyim menjadikan budidaya rumput laut sebagai sumber penghasilan utama.

“Kalau lagi musim ikan, pergi juga menangkap,’’ katanya.

 

Hasyim (kiri), nelayan di Seriwe, Kabupaten Lombok Timur membudidayakan rumput laut. Sekarang kegiatan ini menjadi pekerjaan pokoknya, sesekali pergi menangkap ikan. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Budidaya rumput laut juga berisiko gagal. Bukan sekali dua terjadi kegagalan, ditambah harga yang turun membuat nelayan memutuskan berhenti budidaya. Tapi nelayan mempelajari kondisi air laut. Mereka membaca perubahan, tahu siklus tanam yang bagus, termasuk juga menghindari ketika musim pemupukan jagung. Selain dari laut, bahan kimia yang terbawa air hujan menjadi ancaman budidaya rumput laut.

“Kalau lagi memupuk jagung, ditunggu hujan sekali baru tanam (rumput laut) banyak. Kalau menanam saat baru memupuk dan hujan, air hujan itu banyak pupuk. Tidak bagus hasilnya (rumput laut),’’ kata Hasyim.

Nelayan juga tahu musim yang cocok untuk menanam rumput laut. Pada musim hujan, nelayan menanam rumput laut berwarna hijau, dan saat musim angin menanam rumput laut yang kecoklatan.

“Sekarang sedang banyak coklat butuh diayun-ayun yang coklat,’’ kata Hasyim. (*)

 

 

Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.

 

Exit mobile version